Rizal Ramli Kepret Ahok

Keppres Reklamasi Sudah Basi

| dilihat 3092

AKARPADINEWS.COM | NADA bicara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meninggi. Dia tak sudi disebut gubernur cengeng oleh Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman Rizal Ramli. Dia pun menuding Rizal hanya omong doang alias Omdo. Ahok berang lantaran Rizal membatalkan reklamasi Pulau G di Pantai Utara Jakarta.

Lelaki yang karib disapa Ahok itu lalu menantang Rizal menunjukan pembatalan secara tertulis perihal reklamasi Pulau G. Baginya, realisasi reklamasi di pulau itu mengacu pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantau Utara Jakarta, bukan berdasarkan peraturan menteri. Dengan demikian, yang berwenang membatalkan izin reklamasi hanya Presiden.

"Anda (Rizal Ramli) kalau cuma ngomong di media, memutuskan, membatalkan sebuah izin, ya harus tertulis dong. Karena tafsiran beliau, Keppres kalah dengan Permen (Peraturan Menteri) tiga menteri, ya saya harus tanya presiden," cetus Ahok kepada wartawan di Jakarta, Kamis (14/7).

Ahok pun melapor ke Istana untuk memastikan sikap Presiden terkait pembatalan reklamasi Pulau G itu. "Saya mesti tanya sama Presiden, apa benar nih Menko lu ngomong Keppres kamu kalah sama Menko?" imbuh Ahok.

Rizal, sebelumnya memperingatkan Ahok untuk tidak menjadi gubernur cengeng. Dia tak habis pikir dengan cara yang dilakukan Ahok yang mengadu ke Presiden. "Jangan cenganglah. Masak, segala macam diaduin ke Presiden," ujarnya usai rapat koodinasi lintas kementerian di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Rabu (16/7).

Rizal yang dikenal dengan julukan Rajawali si jurus kepret itu pun bersikukuh, kementeriannya berwenang membatalkan reklamasi Pulau G karena melanggar peraturan perundang-undangan. Rizal menganggap proyek reklamasi Pulau G melabrak UU No 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang kemudian diatur lebih rinci di Peraturan Presiden (Perpres) No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Keputusan untuk membatalkan reklamasi Pulau G juga ditetapkan bersama KKP, Kementerian Perhubungan (Kemhub) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dalam rapat koordinasi itu dinyatakan, reklamasi Pulau G, yang dilakukan anak perusahaan Agung Podomoro Land, PT Muara Wisesa Samudera, terindikasi melakukan pelanggaran berat karena membangun di atas jaringan kabel listrik milik PT PLN (Persero).

Reklamasi di pulau itu juga mengganggu lalu lintas kapal nelayan di Muara Angke. Dari analisa Komite Gabungan, reklamasi Pulau G dilakukan secara sembarangan sehingga merusak lingkungan dan membunuh biota laut.

Selain Pulau G, beberapa pulau yang direklamasi juga terindikasi melakukan pelanggaran sedang dan ringan. Pulau C, D dan N dinilai melakukan pelanggaran sedang. Pihak pengembang diminta melakukan perbaikan dan pembongkaran.

Sementara Pulau C dan D yang saat ini disatukan, diminta untuk dipisah dengan kanal selebar 100 meter dan sedalam delapan meter agar bisa dilalui lalu lintas kapal dan tidak meningkatkan risiko banjir. Sedangkan Pulau N yang merupakan bagian dari proyek pembangunan Pelabuhan Kalibaru (New Priok Container Terminal I) milik Pelindo II dinilai melakukan pelanggaran teknis dan lingkungan hidup.

Bagi Rizal, Ahok tidak bisa mengacu pada Keppres yang sudah kadaluarsa sebagai dasar hukum melakukan reklamasi. Ahok harus mengacu pada UU yang baru. "Jangan kuno berpandangan," sindir Rizal.

******

Reklamasi pantai utara Jakarta direalisasikan dengan mengacu pada Keppres Nomor 52 Tahun 1995. Keppres itu menyatakan, tujuan reklamasi adalah untuk menata ruang daratan dan pantai agar menjadi kawasan andalan.

Namun, di tahun 2003, Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Dari hasil studi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), kegiatan reklamasi juga merusak lingkungan pesisir.

Namun, surat keputusan menteri itu digugat oleh enam perusahaan pengembang, antara lain PT Bakti Bangun Era Mulia, PT Taman Harapan Indah, PT Manggala Krida Yudha, PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol, dan PT Jakarta Propertindo. Gugatan itu lalu dikabulkan pengadilan. Namun, di tingkat kasasi, hakim Mahkamah Agung (MA) memenangkan Menteri Lingkungan Hidup. Kemudian, di tingkat peninjauan kembali (PK), MA memenangkan para penggugat. Reklamasi pun akhirnya dilanjutkan.

Lalu, diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Perpres itu mencabut Keppres No 52 Tahun 1995.

Selanjutnya, di tahun 2012, Pemerintah Propinsi dan DPRD DKI Jakarta, mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Perda itu menjadi acuan jika kawasan tengah pantai utara Jakarta akan dijadikan kawasan pengembangan baru untuk kegiatan berskala internasional. Di tahun 2015, pembangunan di Teluk Jakarta makin diperluas, dengan dikeluarkannya izin reklamasi Pulau G, Pulau F, Pulau I, dan Pulau K.

Mengutip pendapat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD, dalam tulisannya berjudul Masih Soal Hukum Reklamasi (Koran Sindo, 16/4/2016), maka berlaku asas lex posterior derogat legi prior, peraturan yang datang belakangan menghapus peraturan yang sejajar yang telah ada lebih dulu. Menurut Mahfud, berdasarkan hal tersebut, setelah tahun 2004, tidak boleh lagi menggunakan Keppres No 52 Tahun 1995 untuk proyek-proyek reklamasi yang baru. Memang produk izin dan pekerjaan proyek yang telah ada berdasar Keppres No 52 Tahun 1995 itu tidak bisa dibatalkan, tetapi mengembangkan izin proyek baru tidak bisa lagi menggunakan Keppres tersebut.  

Reklamasi memang menjadi pilihan paling simpel untuk memanfaatkan kawasan pesisir Jakarta. Namun, reklamasi cenderung merusak lingkungan pesisir. Cara-cara menimbun pantai menyebabkan kerusakan terumbu karang yang pada akhirnya membunuh biota laut sehingga menurunkan produktifitas nelayan yang menggantungkan hidupnya dari laut. Dan, tak mudah merehabilitasi kerusakan ekosistem tersebut. Butuh waktu yang lama dan hampir pasti tidak dapat mengembalikan komposisi spesies aslinya.

Kawasan pesisir, apalagi di daerah perkotaan, sebenarnya memiliki nilai strategis, baik ekonomi, sosial maupun ekologi. Namun, ketidakmampuan dalam mengapresiasi lingkungan, menyebabkan makin rendahnya nilai ekonomi kawasan pesisir. Karena berdampak serius bagi lingkungan pesisir, maka reklamasi tidak cukup mengantongi Keppres. Namun, harus mengacu pada UU lain, khususnya untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan dan mencegah terjadinya marginalisasi sosial.

Beberapa peraturan perundangan yang harus dijadikan acuan reklamasi antara lain UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 32 tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 27 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil, UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan sebagainya.

Reklamasi juga harus mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, PP No 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut, PP No 27 tahun 1999 tentang AMDAL, PP No 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, Keppres No 33 tahun 2002 tentang Pengendalian dan Penguasaan Pasir Laut, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Reklamasi Pantai, dan sebagainya.

Pelaksanaannya pun harus terpadu dan lintas sektoral. Tidak sekadar dilakoni Pemerintah Propinsi DKI Jakarta bersama swasta saja. Rencana yang disusun juga mempertimbangkan potensi, kendala, dan dampak yang akan dihadapi, dengan model perencanaan yang komprehensif dan multidisiplin.

Dari aspek sosial, reklamasi di Pantai Utara Jakarta telah membatasi publik mengakses pantai. Pantai sebagai ruang publik, kini tidak bisa diakses dengan cuma-cuma oleh masyarakat. Idealnya, wilayah pesisir, dapat dinikmati semua pihak, dengan disertai kewajiban menjaga eksistensi pesisir yang multifungsi. Dengan begitu, keberlanjutan fungsi lingkungan di kawasan pesisir akan lebih terjaga karena semua pihak bertanggungjawab mempertahankannya. 

Realitas menunjukan, masalah di kawasan pesisir pantai utara Jakarta sangat kompleks, di antaranya terjadi degradasi lingkungan, konflik pemanfaatan lahan yang meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk, hasil tangkapan ikan yang berkurang lantaran rusaknya lingkungan pesisir dan pencemaran oleh limbah rumah tangga dan industri, marginalisasi masyarakat nelayan, dan dominasi swasta dalam pemanfaatan kawasan pesisir.

Silang pendapat antara Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan pemerintah pusat juga menunjukan adanya ketidakjelasan penerapan perundang-undangan, serta tidak adanya koordinasi antarinstitusi. Pencemaran lingkungan dan cara-cara reklamasi yang tidak sesuai aturan juga menunjukan lemahnya penegakan hukum.   

Upaya pemanfaatan kawasan pesisir sejak tahun 1980-an juga cenderung didominasi swasta. Sementara masyarakat kurang dilibatkan. Mengutip data Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, ada sembilan pengembang yang terlibat dalam proyek reklamasi antara lain: PT Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda, PT Pelindo II, PT Manggala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu Grup), PT Jaladri Eka Pasti, PT Taman Harapan Indah, PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan Agung Podomoro Land), dan PT Jakarta Propertindo.

Di antara perusahaan-perusahaan itu, baru dua yang mendapat izin pelaksanaan yaitu PT Kapuk Naga Indah yang mendapat jatah reklamasi lima pulau dengan luas 1.329 hektar. Izin reklamasi pulau C, D, dan E kepada PT Kapuk Naga Indah itu, diterbitkan pada tahun 2012 di era gubernur Fauzi Bowo.

Sementara PT Muara Wisesa Samudera mendapat jatah reklamasi satu pulau dengan luas 161 hektar. Anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk yang salah satu bosnya tengah dibidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu mendapat izin dari Ahok seperti dijelaskan dalam SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G (Pluit City).

Lantaran masyarakat diabaikan, praktik pemanfaatan kawasan pantai memunculkan resistensi sosial. Seharusnya, sebagai proyek tata ruang skala besar, pemanfaatan reklamasi tidak hanya mempertimbangkan aspek fisik semata. Namun, juga harus mempertimbangkan suara-suara masyarakat yang menghuni kawasan pesisir.

Pengembangan kawasan pesisir juga harusnya bekerjasama antarpemangku kepentingan, baik antarinstitusi pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dan swasta. Pemerintah bertugas menyusun dan melaksanakan perencanaan, mengawasi, koordinasi, menciptakan stabilitas sosial, yang dapat menunjang bagi swasta untuk berperan serta dalam pengembangan wilayah.

Sementara masyarakat berperan dalam dalam menyampaikan aspirasi. Dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat, maka masyarakat dapat diberdayakan sebagai penyedia sumberdaya dan pengawas penataan dan pemanfaatan kawasan pesisir. Dengan begitu, masyarakat sebagai penerima manfaat akan bersedia mengeluarkan tenaga dan biaya, memberikan kepercayaan kepada pemerintah dan swasta dalam mengembangkan wilayah pesisir.

Sementara swasta atau pemilik modal dapat berperan sebagai pemasok jasa, keahlian, dana, material yang diperlukan dan sebagainya. Kemudian, mendapatkan lahan dan peluang usaha, tanpa harus menutup akses masyarakat.

Reklamasi memang memungkinkan sebagai cara yang paling praktis dalam mengubah kawasan pesisir untuk dikapitalisasikan demi kepentingan bisnis, menjadi tempat rekreasi, kawasan hunian, perkantoran, hotel, apartemen, tempat hiburan dan sebagainya. Dengan mengubah wajah pesisir menjadi lebih komersil, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta akan mendapatkan keuntungan ekonomi yang menambah pendapatan daerah.

Otonomi daerah memang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengkapitalisasikan potensi pesisir. Namun, harus disertai upaya konservasi, memperhatikan tata ruang, dan mempertimbangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat sekitar pesisir.

Sementara kenyataan menunjukan, reklamasi di Pantai Utara Jakarta lebih berorientasi pada kepentingan investor dan memarginalisasikan masyarakat nelayan. Pemerintah mengundang swasta untuk mengelola dan memanfaatkan potensi kawasan pesisir. Izin yang diberikan menjadikan swasta memiliki hak ekslusif dalam mengakses, mengambil, bahkan melarang pihak lain memanfaatkan sumber daya pesisir yang dikelolanya.

Memang, di UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan diberikan kebebasan menangkap ikan di seluruh wilayah perairan di Indonesia. Ketentuan tersebut seakan membuka akses kepada nelayan dalam memanfaatkan sumber daya laut. Namun, sebagian besar nelayan adalah nelayan tradisional yang kurang dilengkapi peralatan modern, sehingga tidak dapat memaksimalkan penangkapan ikan di laut lepas pantai. Artinya, mereka amat menggantungkan nasibnya dengan sumber daya alam di kawasan sekitar pantai.

Pemerintah Propinsi DKI Jakarta boleh saja mengklaim jika reklamasi sebagai upaya menata pesisir untuk menjadi kawasan andalan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menangkap peluang dan menciptakan wajah baru kawasan pesisir yang ekspresif sebagai service city yang memiliki competitive advantage berskala global. Namun, tidak sekadar berorientasi ekonomi. Pemanfaatan kawasan pesisir juga harus mempertimbangkan dimensi sosial dan lingkungan.

Jangan sampai, meminjam istilah Ostrom dan Schlager dalam Satria (2009), rezim kepemilikan sumber daya pesisir telah berubah dari rezim akses terbuka (open access), menjadi rezim negara (state property) dan rezim swasta (private property). Kawasan pesisir yang tadinya merupakan sumberdaya milik bersama (common pool resources), berubah menjadi private property. Konsekwensi dari perubahan itu tidak hanya mengubah hak kepemilikan saja. Namun juga memarginalisasikan masyarakat sekitar pantai.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya