Guinea - Afrika Barat

Cermin Buram Kekuasaan dan Luka Rakyat

| dilihat 735

F. Tique dan Haedar Mohammad

GUINEA memang bukan negara besar. Sebagai suatu negara dengan batas wilayah sendiri, seperti yang kita kenal saat ini, Guinea berproses sejak antara masa 1895-1911.

Guinea, seperti bayangan Jared Diamond tentang negara-negara multi etnis yang gagal, yang mengalami proses penjajahan baru untuk dan atas nama ekonomi.

Kaya sumberdaya alam, tetapi tetap merupakan negara miskin dan terbelakang.

Rakyatnya miskin persisten dan konsisten, baik secara struktural melalui pemiskinan maupun secara kultural - miskin kesadaran untuk mengatasi kesenjangan.

Negara diatur oleh sistem politik pragmatis dengan politik transaksional di bawah kontrol kuat oligarki. Korupsi merebak dan menjalar ke mana-mana. Friksi dan konflik sosial antar etnis dan antar umat beragama berlangsung terus menerus.

Kondisi demikian memang disukai oleh kolonialis dan imperialis baru yang menggabungkan kapitalisme dengan sosialisme atau sebaliknya, sosialisme dan kapitalisme. Bahkan komunisme kapitalistik, yang sedang menguasai dunia.

Tak hanya dengan terminologi-terminologi pilantropi politik, yang didorong George Soros selepas robohnya tembok Berlin dekade 1980-an, sebagai pintu masuk kapitalisme global atau globalisme kapitalistik. Termasuk penetrasi glokalisasi yang didorong oleh Philip Kotler di awal abad 21.

Terminologi-terminologi pengkelasan yang dipergunakan lembaga keuangan dunia (khasnya World Bank dan International Monetery Fund), seperti small medium enterprises - UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) - UKM (Usaha Kecil Menengah) - adalah bagian dari keseluruhan siasat memelihara kondisi supaya rakyat tetap miskin, dan negara tetap berada dalam kendali oligarki - pengusaha penguasa.

Guinea yang pemerintahannya (pimpinan Presiden Alpha Condé yang memenangkan pemilihan umum 2015 dengan meraih 57% suara, lawan Cellou Dalein Diallo) dikudeta oleh pasukan khas militer, pimpinan Kolonel Mamady Doumbouya.

Presiden Alpha Condé (83) ditangkap di istananya dan ditahan di salah satu kamp militer (Ahad, 5 September 2021), di poinggiran ibukota Conakry.

Dengan kudeta itu, Alpha Condé, terbukti makan omongannya sendiri  kepada wartawan, beberapa bulan lalu, bahwa dialah satu-satunya yang bisa memimpin negara itu, dan tak akan digulingkan militer.

Kolonel Mamady Doumbouya mengumumkan kudeta yang dipimpinnya melalui Radio Televisi Guineenne, dan memperkenalkan dirinya sebagai pemimpin baru negara penghasil alumunium itu. Kudeta yang dipimpin Doumbouya merupakan kudeta yang keempat kalinya terjadi di Afrika Barat.

Alpha Condé yang mengundang masuk investasi dan menyerahkan tambang bauksit terbesar di dunia, itu kepada investor dan buruh-buruh dari China.

Ketidakmampuan pemerintahan Condé mengendalikan investasi yang disertai dengan penggunaan buruh (sampai buruh kasar) dari China, itu yang membuat pamornya terus merosot. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Condé mengatur siasat mengubah konstitusi, mengubah masa jabatan Presiden. Termasuk memilih solusi moderat, memperpanjang masa jabatan. 

Condé terpilih kembali untuk masa jabatan kedua pada tahun 2015. Tetapi dia menjadi tidak disukai rakyat, ketika dia mendorong melalui referendum konstitusional, yang didukung oleh Rusia dan China, yang memungkinkannya dia meraih masa jabatan ketiga yang kontroversial dalam referendum Oktober 2020, yang dia menangkan.

Cellou Dalein Diallo dan rakyat menentangnya, sampai akhirnya Doumbouya beraksi. Karenanya, kudeta tak berdarah itu, disambut sukacita oleh rakyat, yang sudah lelah miskin, ditokoh-tokohi, dan dibodoh-bodohi. 

Tapi, para pemimpin daerah di seluruh Guinea, yang rata-rata dari kalangan partai dan koalisi partai pemerintah pendukung Condé, mengutuk perebutan kekuasaan, itu.

Mereka mendesak Doumbouya  dan para pemimpin kudeta untuk segera memulihkan ketertiban konstitusional dan membebaskan Condé. Tapi, yang dilakukan Mamady adalah  mencoba meyakinkan aktor politik dan ekonomi tentang niat baik mereka.

Senin (13/09) Doumbouya menyatakan, segera akan membentuk pemerintah persatuan nasional untuk memimpin transisi ke pemerintahan sipil. Meski tak akan melibatkan sepenuhnya kalangan partai pendukung Condé,  Doumbouya akan melakukan pemulihan cepat.

Pasalnya, sejak kudeta berlangsung, seluruh aktivitas pertambangan nyaris terhenti, dan berpengaruh pada kehidupan ekonomi di tengah coronastrope. Tak hanya dalam konteks nasional domestik Guinea. Bahkan memengaruhi perekonomian regional Afrika Barat. Bahkan kudeta berpengaruh langsung pada fluktuasi harga alumunium di pasar internasional.

Doumbouya berusaha menenangkan. Ia menyatakan, kelak kepemimpinan baru Guinea akan menghormati kontrak pertambangan. Dia juga mendesak perusahaan pertambangan melanjutkan operasi. Termasuk mengakomodasi tuntutan rakyat untuk memperoleh pekerjaan lebih luas di perusahaan-perusahaan tambang, itu.

Perbatasan darat dan laut Guinea, yang ditutup selama pengambilalihan, dibuka kembali dalam waktu kurang dari 24 jam. Meskipun upaya itu, tidak meyakinkan blok regional Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) yang menangguhkan keterlibatan Guinea dari semua badan pengambil keputusan organisasi, itu. Sikap ECOWAS, diikuti oleh Uni Afrika beberapa hari kemudian.

Peran Condé se kawasan Afrika Barat dan Afrika dianggap penting, termasuk dalam membuka pintu masuk investasi asing. Sejak terpilih pertama kali secara demokratis sebagai Presiden Guinea (2010), Condé tak hanya dianggap sebagai kemenangan kaum demokrat yang mengakhiri dekade pemerintahan otoriter dua presiden negara itu (sebelumnya), Sekou Toure dan Lansana Conté, yang masing-masing menjabat selama 26 dan 24 tahun.

Doumbouya konsisten dengan sikapnya, saat berpidato resmi pada Ahad (12/09), dia menyatakan,  pemecatan Condé diperlukan. Pertimbangannya? Supaya penyalahgunaan hukum, pengangguran, kemiskinan, dan korupsi bisa terus diperangi, dan pembangunan yang mendahulukan kepentingan rakyat Guinea dapat dilakukan. Doumbouya menyebut, transformasi sistem dan institusi yang berkuasa di negara itu sangat diperlukan.

Doumbouya seolah berseru kepada masyarakat internasional, “Jika Anda melihat kondisi infrastruktur jalan kami, rumah sakit kami, sekolah kami, pengagguran dan kemiskinan di negeri kami, Anda menyadari bahwa sudah waktunya bagi kami untuk bangkit..”

Rakyat masih bersukacita dengan aksi kudeta Doumbouya. Pasukan khas dan pasukan militer lainnya, masih disambut dengan  sorak gembira saat mereka melintas di jalan-jalan Conakry hingga pekan ini.

Sally Bilaly Sow, seorang blogger dan aktivis berusia 29 tahun, menulis dalam blognya, kudeta bisa menjadi kesempatan untuk melakukan transformasi sistem dan merestrukturisasi lembaga negara. “Yang penting sekarang adalah tidak terburu-buru. Untuk memberikan waktu yang cukup bagi kepemimpinan sementara untuk reformasi dan mempersiapkan pemilihan umum baru,” kata Sow kepada Al Jazeera, melalui telepon dari Conakry.

Cellou Dalein Diallo, satu-satunya tokoh oposisi penantang Conde dalam referendum 2020 yang selama ini diboikot Condé, mengatakan dia terbuka untuk berpartisipasi, tetapi tidak akan menetapkan tanggal akhir untuk transisi dan kembali ke pemerintahan sipil.

Delegasi ECOWAS mengunjungi Conakry pada hari Jumat  (17/09), dan mengatakan pertemuan pertamanya dengan para pemimpin kudeta itu "positif." Pernyataan yang dikemukakan Jean Claude Kassi Brou, Presiden ECOWAS, itu menunjukkan pemikiran dan sikap Doumbouya mulai diterima baik. Apalagi, Brou juga menyatakan, Condé adalah "mantan presiden," dan ECOWAS sebagai organisasi antara bangsa Afrika Barat,  tidak akan meminta dia untuk diangkat kembali.

RAKYAT Guinea termasuk pemimpin oposisi Diallo, memandang kudeta yang dilakukan Doumbouya mesti dipandang sebagai kick off transformasi Guinea. Sesuatu yang tidak mudah, namun bisa dilakukan. Terutama, ketika para intelektual, politisi, kalangan terdidik perempuan dan pemuda mengambil partisipasi aktif dan tidak bertumpu pada orientasi kekuasaan semata.

Diallo mengingatkan, sejarah tua Guinea yang dipengaruhi oleh berjaya dan jatuhnya kerajaan besar di wilayah itu dan kejahatan kolonial memilah-milah bangsa Guinea dalam pengelompokan etnis, merupakan tantangan besar untuk bersatu.

Guinea dimulai dengan keberadaan kerajaan Nalou dan Baga di abad ke 8, yang kemudian menjadi taklukan Kerajaan Mandingo, bawahan kekaisaran Ghana, menetap dari Senegal atas hingga Niger, antara abad ke 9 sampai abad ke 11 ketika Guinea bergabung dengan  Jalonké asal Mande.

Soundiata Keita yang legendaris membentuk kerajaan besar dengan Niani sebagai ibu kotanya (sekarang desa kecil di Guinea) di abad ke 13. Abad ke 14, menjadi bagian dari Kerajaan Mali yang berada pada puncak kejayaannya, membentang dari utara dan timur Guinea ke Timbuktu. Kekaisaran Mali surut pada abad ke 15.

Pada abad ke 15 - 16, Fulani dan Mandingo membawa pengaruh Islam. Mandingo berhasil mensyahadatkan para petinggi, sehingga Islam meluas ke seluruh Guinea, ditopang klan Torobde. Akan halnya pendakwah Fulani menetap di Fouta-Djalon, dan mendirikan negara teokratis di dataran tinggi itu pada awal abad ke-18.

Kecuali wilayah Kerajaan Mossi yang konsisten dengan sistem kepercayaan tradisional mereka, pada pertengahan abad ke 19, sebagian besar penduduk Guinea beragama Islam.

Pada penghujung abad ke 19, Mandingo Samory Touré, dengan sistem yang terorganisir secara efisien, mengambil alih wilayah pedalaman negara. Dia, kemudian, diakui sebagai sebgi salah satu pahlawan terakhir dalam sejarah pra-kolonial negara itu.

Penghujung abad ke-19 itu pula, Prancis, menggunakan kekuatan dan diplomasi secara bergantian, merebut Timbuktu, dan menempati pantai Guinea. Prancis, lantas, mendeklarasikan Guinea (1891) sebagai koloni Prancis.

Samory Touré memimpin perang terorganisir melawan pendudukan Prancis di pantai dan di pegunungan di Tenggara. 

1898, Samory Touré dikalahkan. Perjuangannya kemudian dilanjutkan oleh pasukan gerilya para pengikutnya. Setahun kemudian, Prancis melakukan aneksasi ke wilayah Upper Niger.

1906, Guinea menjadi bagian integral dari Afrika Barat Prancis (A.O.F.), dikelola oleh sebuah kegubernuran umum. Guinea di bawah penjajahan Prancis

Prancis memberlakukan sistem administrasi kolonial. Di bawah otoritas seorang gubernur jenderal, negara ini dibagi menjadi dua puluh sembilan sub wilayah, yang masing-masing dipimpin oleh seorang komandan. Sistem kolonial ini, mengganggu Chiefdom tradisional sering berubah dan terganggu sistem kendalinya. Prancis, kemudian, secara bertahap memanfaatkan mereka sebagai instrumen yang efektif dari dominasi kolonial Prancis.

Dengan memberlakukan bahasa Prancis sebagai basa komunikasi sosial, sistem ini memainkan peran penting dalam penyatuan artifisial sebuah negara yang dibuat oleh kekuatan kolonial selama penaklukan.

Prancis menguasai sumberdaya alam dan membangun kota-kota. Penguasaan sumber daya alam itu diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kota, sehingga membuat rakyat di rural zone atau buffer zone tetap miskin.

Tak hanya itu, untuk keperluan konsumsi pangan rakyatnya, Prancis memberikan monopoli kepada perusahaan-perusan Prancis untuk menguasai dan mengelola sumberdaya alam. Tak terkecuali tanaman pangan menjadi tanaman ekspor dengan keuntungan berlipat ganda. Mata uang dan pajak juga digeneralisasi selama periode ini.

Namun, kesadaran politik anti-kolonial secara bertahap berkembang, untuk menegaskan dirinya setelah Perang Dunia Kedua. Conakry yang menjadi pelabuhan penting, dan sentra  kehidupan orang Guinea, menjadi basis perlawanan. Dimulai dengan membentuk berbagai persyarikatan untuk kalangan sendiri. Inilah yang menjadi motor pergerakan aksi protes dan perlawanan terhadap kolonial Prancis.

Sekou Touré, cicit Samory Touré, memimpin Serikat Buruh Afrika Hitam, dan memimpin aksi untuk mendapatkan lebih banyak perwakilan orang Afrika Hitam di pemerintahan lokal.

Konstitusi Prancis Oktober 1946, yang lebih liberal dalam kaitannya dengan negara-negara terjajah, memungkinkan pembentukan partai politik, di mana Sekou Touré menjadi tokoh terpenting.

Selama referendum September 1958, Guinea adalah satu-satunya negara di Afrika berbahasa Prancis yang menolak proposal Jenderal de Gaulle mengenai integrasi koloni-koloni A.O.F. dalam Komunitas Prancis, yang menyebabkan putusnya hubungan politik dan ekonomi Guinea dengan Prancis.

Guinea merdeka pada 2 Oktober 1958. Sekou Touré, yang saat itu sangat populer di negaranya dan di semua negara Afrika, menjadi Presiden. Dia,  kemudian menggagas Pan-Afrikaisme, "Dekolonisasi integral dari semua struktur negara," lalu membentuk pembentukan "masyarakat sosialis." 

Setelah kemerdekaan, negara itu mencari bantuan dari negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet. Sekou Touré membentuk rezim satu partai dan sistem sosialis yang ketat, lalu tergelincir menjadi rezim diktator.

1961, Guinea bergabung, dengan Mali dan Ghana, Persatuan Negara-negara Afrika, sebuah federasi yang hanya hidup selama dua tahun. Ia menjadi target dari beberapa upaya pembunuhan, Sekou Touré menuduh Prancis merencanakan aksi untuk menggulingkan rezimnya. November 1965, dia memutuskan  hubungan dengan Prancis. Dampaknya, hubungan Guinea dengan jirannya, Pantai Gading, Niger, Senegal dan Burkina Faso, bergejolak terus menerus sampai tahun 1978.

Guinea terisolasi, berbagai negara melakukan pemutusan hubungan diplomatik negara itu, disertai dengan embargo ekonomi dan militer, sehingga menyebabkan Guinea bangkrut dan memaksa presidennya melunakkan rezim.

Dia kemudian melakukan banyak perjalanan diplomatik untuk menjalin hubungan dengan negara lain dan untuk mencari investor untuk mengeksploitasi kekayaan mineral yang cukup besar dari Guinea. Tahun 1982, konstitusi baru Guinea diumumkan, dan memperkuat hak prerogatif Presiden.

1984, Sekou Touré wafat. Pemerintahan sementara dibentuk, namun segera digulingkan oleh Kolonel Lansana Conté, yang memimpin Komite Revolusioner untuk Pemulihan Nasional (CMRN) dan kemudian menjadi Presiden Republik.

Dia memberi amnesti kepada selurujh tahanan politik, dan berusaha untuk membongkar sistem sosialis, mengurangi kekuatan tentara dan menjalin kembali hubungan dengan Prancis dan negara-negara jirannya. Upaya kudeta atas pemerintahannya, dapat dibekuk oleh Conté.

Akhir dekade 1980-an, Guinea membuka diri terhadap kapitalisme Barat dengan menderegulasi investasi. Negara ini agak bernafas dari sektor ekonomi. Desember 1993, digelar Pemilihan umum multi-partai pertama yang mengukuhkan Lansana Conté sebagai Presiden. Namun, kerusuhan yang disertai kekerasan mengiringi pemilu dalam proses demokrasi yang rapuh itu. 

Juni 1995, digelar pemilihan umum untuk anggota legislatif, yang diperebutkan oleh oposisi, namun kembali menegaskan hegemoni partai pendukung presiden. Setahun kemudian, meletup pemberontakan yang beririsan dengan kudeta, yang mengungkapkan demoralisasi tentara.

Presiden mengubah siasat, dengan menunjuk ekonom Sydia Touré, sebagai Perdana Menteri, dan berhasil meyakinkan organisasi keuangan internasional, tetapi tidak berhasil melemahkan oposisi dari dua komunitas besar, Peul dan Malinké.

Pemilihan Umum Desember 1998, kembali mengukuhkan Lansana Conté terpilih kembali sebagai presiden dengan beroleh 56%. Pemilihan ini ditentang keras oleh oposisi. 

Pemimpin karismatiknya, Alpha Condé  ditempatkan di bawah tahanan rumah. Masa itu, juga terjadi pengungsian besar dari Sierra Leone, jirannya.

Guinea menampung banyak pengungsi dari negara jiran yang dilanda perang saudara, dan terkadang menderita serangan pemberontak. Pada masa bersamaan, Alpha Condé mulai diadili di Conakry - 12 April 2000.

Presiden Conté yang menua dan sakit parah, melalui revisi Konstitusi dapat mencalonkan diri untuk ketiga kalinya pada bulan Desember 2003. Dia terpilih kembang dengan 95,63 persen suara melawan kandidat dari partai sekutu. Partai oposisi tidak mengikuti pemilihan umum dan para anggotanya tidak mengikuti pemungutan suara yang telah ditentukan sebelumnya.

Conté mengangkat François Lonsény Fall sebagai Perdana Menteri, dan memanfaatkan perjalanan ke luar negeri untuk berhenti dari jabatannya. Alasannya, "Presiden menghalangi segalanya."

Jabatan itu tetap kosong selama beberapa bulan sampai kemudian diberikan kepada Cellou Dalein Diallo, yang kemudian diberhentikan dari jabatannya pada April 2006. Kekuasaan presiden, di bawah pengaruh pengusaha seperti Mamadou Sylla, semakin diperebutkan. Rakyat bereaksi keras dan melakukan pemogokan massal berdarah pada awal  2007.

Lansana Conté tak berkutik melawan leukemia dan diabetes akut, dan meninggal dunia pada tanggal 22 Desember 2008, pada usia 74 tahun.

Pada pagi hari, 23 Desember 2008, setelah pengumuman kematian Lansana Conté, pejabat militer secara sepihak mengumumkan pembubaran pemerintah serta pembekuan konstitusi. Peristiwa ini meragukan efektivitas kudeta baru. Pada hari yang sama, Kapten Moussa Dadis Camara diangkat menjadi Kepala Dewan Nasional untuk Demokrasi dan Pembangunan (CNDD) dan menjadi Presiden ketiga Republik Guinea pada hari berikutnya.

Kapten Camara menjelaskan bahwa rezim baru  yang dipimpinnya itu bersifat sementara dan tidak ada anggota junta yang akan mencalonkan diri dalam pemilihan presiden yang dijadwalkan pada 2010.

Pada tanggal 28 September 2009, berlangsung gerakan sipil melalui demonstrasi damai untuk meminta Dadis Camara menghormati kata-katanya dan tidak mencalonkan diri sebagai presiden.

Kerumunan puluhan ribu orang, itu disalurkan oleh tentara ke stadion 28 September 2009 di Conakry, setelah itu semua tentara menembaki para demonstran, sehingga terdampar di stadion tanpa kemungkinan untuk lolos. Pembantaian yang disengaja dan jelas direncanakan ini menewaskan ratusan orang.

Dunia internasional mengecam peristiwa pembantaian ini. Pertikaian terpercik di dalam CNDD, dan pada tanggal 3 Desember 2009, Presiden Camara terluka parah ditembak oleh ajudannya Aboubacar Sidiki Diakité - yang secara eksplisit dipertanyakan oleh diplomat asing atas perannya dalam pembantaian 28 September.

Dadis Camara dirawat pada sebuah rumah sakit di Maroko (4/12), dan Sekouba Konaté yang sedang bepergian ke Libya, kembali ke negara itu untuk mengambil alih sementara kekuasaan.

Maroko mengirim Dadis Camara ke Burkina Faso  untuk melanjutkan pemulihannya di sana. 15 Januari 2010, terjadi kesepakatan antara Dadis dan Sekouba, dan Sekouba diakui sebagai Presiden transisi. Juga, ditetapkan, tidak ada anggota pemerintah persatuan nasional, junta, Dewan Nasional Transisi dan Pasukan Pertahanan dan Keamanan yang akan memiliki hak untuk mencalonkan diri sebagai kandidat dalam periode pemilihan berikutnya.

Pada 16 Januari 2010, Camara, dalam pidato dari istana kepresidenan Burkinabé, mengatakan bahwa pertanyaan pencalonannya telah diselesaikan secara definitif, begitu juga dengan anggota junta lainnya.

Jean-Marie Doré, pemimpin oposisi, ditunjuk sebagai Perdana Menteri, Kepala Pemerintah Persatuan Nasional yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemilihan presiden di masa depan.

Peristiwa pembantian 28 September 2009, mulai diadili (8/02/10), di pengadilan Guinea - Conakry.  Pada tanggal 7 Maret 2010, Sekouba Konaté menetapkan putaran pertama pemilihan presiden sebagai 27 Juni 2010. Dia menepati janjinya dan untuk pertama kalinya pemilihan presiden di Guinea berlangsung tanpa ada tentara yang menjadi kandidat. Putaran kedua pemilihan presiden dijadwalkan akan diadakan pada 19 September 2010 tetapi ditunda ke kemudian hari. Pada tanggal 28 September 2010, setahun setelah pembantaian, para korban dan LSM hak asasi manusia menuntut penghakiman terhadap para tersangka pelaku.

Pada tanggal 7 November 2010, Alpha Condé, terpilih sebagai Presiden Guinea yang baru untuk masa jabatan lima tahun. Dia terpilih secara demokratis dalam program modernisasi dan rekonstruksi progresif Guinea, dengan memperoleh 52,5 persen suara melawan Cellou Dalein Diallo. 

Pada 19 Juli 2011, tentara menyerang kediaman pribadi Alpha Condé di Conakry, yang sebagian diledakkan oleh roket. Alpha Condé keluar tanpa cedera, tetapi seorang anggota pengawal presiden terbunuh. Beberapa hari kemudian, pada 28 Juli, LSM Reporters Without Borders menerbitkan sebuah laporan di mana mereka meminta Alpha Condé "untuk secara terbuka menegaskan keterikatannya pada kebebasan pers dan menghormati pluralisme media," akan halnya Prancis memintanya untuk tidak menghalangi kebebasan pers dan segera menyelenggarakan pemilihan legislatif .

Pemilihan legislatif yang semula dijadwalkan pada 29 Desember 2011, ditunda hingga 2012 menyusul keputusan Komisi Pemilihan Nasional Independen (CéNI). Pemilihan anggota legislatif, kemudian berlangsung pada 28 September 2013.

Sering ditunda, dan karena pembentukan pemerintahan yang stabil dan demokratis setelah kudeta Desember 2008,  merupakan "konsultasi bebas pertama yang diselenggarakan di Guinea sejak kemerdekaannya pada tahun 1958." Tetapi didahului oleh "kekerasan politik dan etnis" yang menyebabkan sekitar lima puluh kematian.

Pada akhir Oktober, oposisi mengecam penipuan besar-besaran, memutuskan untuk mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Ini mengesahkan hasil pemilihan pada November 2013, mengkonfirmasikan kemenangan partai Alpha Condé, Rassemblement du peuple de Guinée (RPG). Desember 2013, negeri ini dihantam epidemi Ebola muncul di Guinea yang memakan banyak korban.

2015, Condé menggelar pemilihan umum Presiden dan memenangkan kompetisi dari Cellou Dalein Diallo dengan memperoleh  57 persen suara.  Pemerintahannya mesti berakhir 2020. Tapi dia main 'sulap kuasa' dengan parlemen, hingga mendapat persetujuan untuk menambah satu periode (ketiga) lagi masa jabatan. Investasi China dan asing lainnya kian merajalela, dengan membawa tenaga kerja dari negrinya. Rakyat tetap miskin. Pengangguran kian meruyak. Pendidikan terhambat. Korupsi tetap menjadi-jadi. Dan, Ahad (5/9/21) militer, di bawah komando Kolonel Doumbouya mengkudetanya. Sampai hari ini, Guinea masih dilamun ketidak-pastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan. Rakyat Guinea.. menderita berkepanjangan |

Editor : eCatri | Sumber : AlJazeera, Africa24, AfricaNews, France24, Monde
 
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 274
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 137
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 167
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 338
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 333
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya