Jalan Cinta Anies Rasyid Baswedan

| dilihat 643

Bang Sém

Mengikuti perkembangan informasi media beberapa hari terakhir saya senyam-senyum sendiri. Tak hanya gelihati mengikuti opini pandir sejumlah orang yang tak pernah henti 'menggonggong' Anies Rasyid Baswedan, sejak dilantik sebagai Gubernur Jakarta di oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara (Senin, 16/10/2017).

Melihat isu dan konten opini yang mereka lontarkan, nampak sekali ekspresi kebencian dan tidak kreatif. Bukan kritik, tapi sudah cenderung sentak sengor alias makian tak berujung dan tak berpangkal, yang biasanya dilakukan oleh mereka yang patah hati berkepanjangan, dan malu jatuh hati dengan orang yang dibencinya.

Beberapa hari belakangan (6-7 Mei 2020) di berbagai WAG (whatsapp group) - fitur media sosial yang sudah jauh berubah menjadi pasar kombur, tempat orang mengekspresikan kejengkelan, muncul berbagai rekaman video bagaimana sejumlah menteri melontarkan aneka pernyataan yang crowded, alias ulukuteuk dan menggelikan. Termasuk video seorang menteri yang membagi-bagikan sembako dengan goodybag bercap Istana Kepresidenan, berdialog dengan Ketua Rukun Warga dan warganya di suatu kampung.

Mungkin ingin mengesankan dirinya sebagai sosok populis, sang menteri menggunakan bahasa Betawi pasar yang sudah menjadi idiom bahasa populer. Terdengar janggal, karena kaum Betawi sendiri ketika menggunakan beberapa aksen dan dialek yang dipakai sang menteri, melihat-lihat situasi. Terutama karena ada adab berkomunikasi, yang meskipun tak tertulis, telah menjadi semacam code of conduct.

Lantas merebaklah kabar, tiga menteri sekaligus seperti yang tertulis dalam berita, 'menyerang' Anies Baswedan - Gubernur Jakarta, ihwal distribusi bantuan sosial yang mesti disalurkan di Jakarta. Terkesan, mereka mem-fait-accomply Anies menyajikan data yang tak valid, sehingga di lapangan terjadi persoalan.

Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang menyandang jabatan akademik Professor juga menyentak soal data, bahkan menyatakan, dia sudah menegur Gubernur Jakarta dengan keras. Dua menteri lain (Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Sosial -- yang saya tak hafal namanya) bicara seirama.

Semula saya ingin ragu dengan berita yang dilansir, tapi ketika membaca informasi yang sama di beberapa media mainstream, saya percaya dengan informasi itu. Makanya saya tersenyum. Pasalnya, ketika Wakil Presiden RI KH Ma'ruf Amien melakukan komunikasi virtual dengan Gubernur Jakarta, beberapa waktu lalu -- yang sempat saya ikuti, Anies sudah berjelas-jelas mengatakan, data orang miskin warga Jakarta yang selama ini memang sudah ditangani Pemprov Jakarta, sudah valid. Jumlahnya 1 juta jiwa.

Karena serangan nanomonster Covid-19, diperkirakan akan ada tambahan jumlah orang miskin sekitar 2 juta orang, termasuk mereka yang rentan miskin. Karenanya, diperkirakan akan ada 3,7 juta jiwa penduduk warga Jakarta yang miskin, termasuk yang tidak ber-KTP Jakarta. Anies mengatakan,  jumlah 2 orang yang masuk kategori miskin dan rentan miskin, itu sedang disigi untuk memperoleh data yang valid.

Pernyataan Gubernur Jakarta, itu jelas, terang benderang, dan clear. Sebagai pemimpin yang datang dari dunia akademik, tentu Anies paham betul bagaimana membedakan data primer, data sekunder, dan data tertier. Anies juga amat paham, bagaimana harus melakukan proses penyigian data supaya tidak terjadi duplikasi.

Apa pasal kemudian? Terjadi silang pendapat. Para menteri -- yang diberitakan 'menyerang' Anies, itu nampak mendekati persoalan dengan jurus presumsi dan kemudian meyakini presumsi mereka sebagai kebenaran. Anies, sesuai mekanisme internal Pemprov Jakarta, punya sudut pandang dan perspektif lain untuk memperoleh asumsi. Terutama, karena sejak awal isu tentang virus corona ini merebak, memang sudah terjadi perbedaan logika, sikap dan tindakan.

Saya melihat perbedaan Gubernur Jakarta (yang dipilih langsung oleh rakyat) dan sejumlah menteri (yang diangkat oleh Presiden Jokowi - dengan pendekatan political appointee) bukan perbedaan pendapat biasa. Perbedaan yang sangat substantif dalam memandang masalah.

Para menteri berfikir, bersikap, dan bertindak mengikuti fenomena, sehingga cenderung program oriented. Tiba masa tiba akal.

Gubernur Jakarta Anies Rasyid Baswedan berfikir, bersikap, dan bertindak paradimatik. Dia mengatur speed berpacu dengan arus penyebaran virus yang berlari menjumpai siapa saja yang bakal jadi korbannya. Anies melakukan reposisi dari program centric ke peoples centric. Anies memburu persoalan ke muara: memutus matarantai penyebaran virus (sangat seirama dan se-visi dengan  Doni Monardo - Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan  Covid-19) dengan sikap tegas melaksanakan PSBB (pembatasan sosial berskala bvesar) dan sungguh berperang melawan virus; dan pengamanan jaring sosial masyarakat - karena petaka ini tiba bertepatan dengan masuknya bulan Ramadan. Fokusnya: menyelamatkan jiwa rakyat.

Anies mengambil reposisi orientasi dengan langkah-langkah yang jelas dan terang benderang.

Pertama, pengenalan dan pengetahuan Anies tentang formasi, karakter, substansi, dan kecenderungan kondisi warganya -- secara demografis, geografis, sosiologis, dan psikografis -- jenih dan fokus;

Kedua, pemahaman Anies tentang realitas sosial ekonomi, psikologis, masalah primer dan masalah sekunder sangat mendalam, terutama karena dia sering berinteraksi dengan warganya, dan sesuai dengan intelektual sejati: selalu memverifikasi dan melakukan konfirmasi data secara proporsional dan akurat;

Ketiga, program aksi yang ditempuh Anies dan Pemprov Jakarta berbasis perencanaan yang disusun berdasarkan kondisi obyektif di lapangan. Informasi yang disampaikan Anies kepada Wakil Presiden H. Ma'ruf Amien dan informasi yang disampaikan Anies kepoada siapa saja sama, kecuali terkait dengan dinamika perkembangan masalah, karena mesti selalu update dengan perkembangan mutakhir;

Keempat, Anies dan Pemprov Jakarta melaksanakan program aksinya secara terintegrasi dan progressif. Terlihat dan terasa, dia melakukan sesuatu berdasarkan policy design (rancang kebijakan) yang matang. Anies tidak meluncurkan dan memulai program aksi, bila daya dukungnya belum siap;

Kelima, Anies dan Pemprov Jakarta memilih jalan melayani warga secara optimal karena sangat cinta dan bertanggungjawab, karena gagal atau berhasilnya menangani wabah akan bertalian dengan sejarah, serta kemampuan bangsa ini kelak di masa depan.

Anies memilih jalan, yang saya sebut jalan cinta dalam menangani petaka nanomonster Covid-19. Ia mulai dengan kesadaran, memelihara kepekaan atas isu ancaman virus ini ketika berlangsung pertama kali di Wuhan, China. Kesadaran untuk mencegah jangan sampai virus masuk tidak terdeteksi.

Keterbukaan informasi yang disampaikan Anies untuk membangun kesadaran kolektif warga menghadapi situasi terburuk, bukan memperoleh dukungan dari para petinggi di lingkungan pemerintah pusat, bahkan direspon dengan olok-olok  dan gurauan pandir yang tak patut dilakukan petinggi. Bahkan sejumlah kaum pandir menyerangnya dengan berbagai tudingan dan cara pandir yang hanya menyenangkan tuan mereka. Kaum pandir berlabel buzzer, terus menyalak dan menggonggong dari mana saja kandang mereka berada.

Anies tak hirau. Bersama stafnya di lingkungan Pemprov Jakarta, Anies menyiapkan policy design, bagaimana mengantisipasi dan merespon keadaan, ketika terbukti ditemukan dua orang terpapar pertama kalinya di Depok. Langkah cepat Anies melawan virus di wilayah Jakarta yang menjadi wilayah otoritasnya, pun direspon pandir dengan pendekatan politis dan birokratis, sementara virus bergerak melampaui bilangan matematis. Jakarta kemudian menjadi episentra.

Ini catatan penting buat saya: ketika Anies dan Pemprov Jakarta menggerakkan entusiasme di lingkungan Pemprov, petugas kesehatan di lapangan, dan masyarakat dengan orientasi penyelamatan nyawa manusia, sejumlah petinggi justru bermain-main dengan berbagai pernyataan seputar kebijakan yang membuat rakyat - warga Jakarta dihadapkan oleh situasi harap-harap cemas. Dan itu mereka lakukan, ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) baru diperpanjang Anies, saat tren penduduk yang terpapar mulai melandai. Kebimbangan warga yang dipicu oleh pernyataan orang-orang tak berakalbudi yang kadung beroleh posisi, itu membuat kurva mereka yang terpapar kembali dinamis dan cenderung naik.

Lalu rakyat menyaksikan adegan-adegan konyol dengan dramaturgi yang lemah. Ketika Anies membangun simpati dan empati kepada nasib rakyat, mereka mempermainkannya dengan pernyataan-pernyataan yang confused dan cenderung dubeius.

Ketika Anies memberikan apresiasi kepada petugas kesehatan yang memerlukan kewajaran perlakuan secara manusiawi, kaum pandir mengolok-olok dengan caranya, melalui berbagai opini di media sosial yang nampak sudah terancang.

Ketika Anies membangun respek dengan menghidupkan KSBB (Kontribusi Sosial Berskala Besar) termasuk kebijakan sangat manusiawi bagi keluarga petugas kesehatan yang gugur sebagai pahlawan kemanusiaan, mereka hadapkan Anies dengan sikap 'lempar kambing' a la penguasa yang tak paham harus berbuat apa dan bagaimana di tengah aksi Covid-19 yang terus bergerak berderap. Dan Anies, konsisten berada di jalan cinta rakyat, cinta kemanusiaan, dan cinta bangsanya.

Anies seolah sedang menyampaikan pesan budaya dari Mandar, "Mua’ cappu’ di sayammu siri’mu mbei, mua’ siri’ balala tomi diang dua-a rakke’mu lao di Puang." (Andaikan kasih sayang telah kering dan habis, tolong jemput rasa malu. Bila rasa malu pun telah tiada, mudah-mudahan anda masih punya rasa takut kepada Allah.).

Hanya orang pandir dan hatinya membatu yang mengabaikan pesan ini. |

---

[Teruslah sehat dan tangkas di usia berkah, Gubernur Anies Rasyid Baswedan)./ #stayathome

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya