Kebenaran - Keraguan dan Pilpres

| dilihat 1351

Sem Haesy

"Seberapa jarak kebenaran dan keraguan?" tanya seorang tua kepada anaknya, suatu malam.

Sang anak merenung.

"Bagaimana mungkin kita mengukur jarak kebenaran dan keraguan?" katanya.

Sang ayah tersenyum. Dia pandang anaknya. Lalu meletakkan empat jari tegak lurus di pipinya sebelah kanan. Sang anak memperhatikan, sambil bertanya-tanya, apa yang dimaksudkan sang ayah.

"Empat jari ini berada di antara mata dan telinga. Sejauh empat jari itulah jarak kebenaran dan keraguan," kata sang ayah.

"Maksudnya?"

"Semua yang kau dengar, bukanlah fakta dan jauh dari kebenaran. Kau harus memverifikasi sumber informasi yang kau dengar, lalu mengkonfirmasi kebenaran isi informasi atau datanya," ujar sang ayah.

"Jadi, mata sebagai simbol kebenaran?" desak sang anak.

"Mata hanya melihat fakta dan memandumu mencapai kebenaran lebih cepat. Semua fakta yang kau lihat, mesti kau uji nilai kebenarannya," ungkap sang ayah.

"Caranya?" kejar sang anak.

"Pergunakan nalar dan nalurimu. Di situ ada keyakinan dan dawai kebenaran, yang akan membuat sense dan feel-mu merasakan kebenaran," ungkap sang ayah, sambil menegaskan, dalam memburu kebenaran, manusia dengan perangkat nalar (akal sehat), naluri, perasaan dan dria menjadi subyek. Dia tidak bergantung kepada perkakas (seperti komputer, sistem information technology, dan sejenisnya).

"Bagaimana dengan hasil Pemilihan Presiden-Wakil Presiden 2019?" desak sang anak.

"Manusialah yang menjadi subyek," jelas sang ayah, sambil menghirup kopi panas yang disiapkan anaknya. "Manusia yang menentukan subyektivitas dan obyektivitas, kejujuran dan kebohongan, human error dan equipment error, human need dan human interest, bahkan untuk menentukan reason dan way tentang keterpilihan yang biasa direduksi menjadi hanya sekadar menang dan kalah," lanjut sang ayah.

Anak itu memandang wajah ayahnya yang meski telah berusia lebih separuh baya, namun masih nampak segar. Ia menyaksikan sang ayah menggunakan jemarinya, menyisir rambutnya yang gondrong.

Election results instrument yang belakangan populer dikenal dengan lembaran C1 mesti dipegang erat-erat sebagai salah satu instrumen kebenaran untuk menguji proses tabulasi dan melacak kebenaran yang bisa saja disembunyikan, khasnya tentang jumlah atau kumulasi ballot (suara) kandidat yang berkontestasi.

Tak hanya itu. "Sistem teknologi informasi telah memberikan kemungkinan untuk mengikuti pergerakan suara dari seluruh pelosok, tempat pemungutan suara (TPS) berada, yang tak mungkin terjangkau oleh satupun lembaga survey," ujar sang ayah. Sistem yang kemudian dikenali sebagai Big Data, akan sangat membantu kandidat untuk mengetahui sebaran pemilih, sekaligus menguji kesahihan perolehan suara dengan daftar pemilih tetap (DPT), termasuk mendeteksi berbagai kemungkinan kesalahan dalam tabulasi.

Dalam praktik pemilihan umum yang bebas, umum, rahasia, jujur, dan adil, C1 sebagai instrumen dan Big Data sebagai bagian dari sistem pantau koleksi ballot, sebagai sesuatu yang terlihat sebagai fakta (termasuk mengenali surat suara yang dicoblos sendiri oleh panitia pemungutan suara termasuk surat suara yang terbakar -- dan ini sering terjadi dalam praktik demokrasi di negara yang masih terjerat kemiskinan) sebagai pegangan kandidat sangat bermakna. Terutama, ketika proses tabulasi suara harus diselidiki melalui audit forensik, ketika tingkat kecurigaan terjadi kecurangan sangat tinggi.

Sang anak menghela nafas. Dia tersentak, ketika sang ayah mengatakan, untuk memburu kebenaran, setiap orang harus menjadi fact chekker (penguji fakta). Melelahkan jiwa raga, memang. Tapi, hal ini harus dilakukan, terutama, ketika quick qount (hitung cepat) bukanlah pedoman kebenaran, dan semua orang bergantung kepada real qount (hitung nyata). Terutama ketika count down, hitung mundur penghitungan final lembaga resmi penyelenggara pemilihan umum (di Indonesia bernama Komisi Pemilihan Umum) sebelum tiba hari pengumuman resmi tabulasi suara.

Sang ayah memandang tajam anaknya. Lalu bicara, "Instrumen C1, big data dan audit forensik -- sesuai sistem perundang-undangan yang mengaturnya -- akan sangat menentukan banyak hal. Tak hanya rekapitulasi dari tabulasi ballot untuk menentukan siapa kandidat yang menang dalam kontestasi, jauh dari itu juga merespon dini reaksi rakyat untuk mengetahui sejauhmana suaranya aman."

Ingat, katanya, "setiap ballot, suara pilihan rakyat adalah tanda kedaulatan." Sang anak memandang sang ayah yang mereguk kopi panasnya. "Rakyat akan marah ketika tahu, kedaulatannya yang melekat dalam ballot dicuri, direduksi, apalagi dimanipulasi," lanjutnya.

Untuk mengamankan pemilihan umum, yang diperlukan bukan panser, baracuda atau alat utama sistem senjata tentara dan polisi untuk menghalau rakyat yang marah. Melainkan kejernihan nalar, kejujuran naluri, keutamaan rasa, dan ketegasan dria untuk memelihara kebenaran. Semua ini, ungkap sang ayah, akan memperpendek jarak kebenaran dan keraguan.

"Jangan pernah lelah menjadi pemburu kebenaran, nak!" kata sang ayah, sambil memperhatikan empat jari kanannya. Seolah menghitung empat kemungkinan yang selalu membayang-bayangi peristiwa politik pemilihan umum : was-was, overconfident, ragu, dan naif ! |

Bintaro, 240419 

Editor : Web Administrator
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 201
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 376
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 222
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 431
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 430
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 400
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya