Kekerasan Menghancurkan Cinta dan Kemanusiaan

| dilihat 669

Bang Sém

Kekerasan (siapapun yang melakukannya) adalah aksi paling buruk manusia yang merampas hak dasar kemanusiaan secara personal dan sosial, menghancurkan cinta secara luas.

Kekerasan, dengan sendirinya menghancurkan estetika dan etika kehidupan insani, membuang simpati, empati, apresiasi, dan respek sebagai nilai dasar kemanusiaan.

Siapapun insan yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip budaya yang mengharmonisasi nalar, naluri, rasa, dan dria tidak dapat menerima kekerasan dengan dalih apapun dan untuk kepentingan apapun.

Berbagai kalangan, baik perseorangan atau kelembagaan yang menjunjung dan memperjuangkan nilai kemanusiaan berbasis keadilan dan keadaban, di dunia, sepakat untuk menegaskan: " Kekerasan adalah bentuk tidak terhormat yang paling dikenal, indikator rusaknya rasa hormat dan kesaling-pengertian antar manusia."  

Maknanya, kekerasan merendahkan martabat manusia dari insan mulia menjadi lebih rendah dari 'hewan yang berakal.'

Setiap manusia menolak kekerasan, baik kekerasan yang dilakukan dalam konteks kejahatan literal untuk keuntungan pribadi (seperti perampokan, kekerasan bersenjata, persekusi, ontrog dan sejenisnya), maupun kekerasan politik (termasuk kekerasan verbal yang menunjukkan abuse of power).

Kekerasan literal atau kekerasan biasa dan kekerasan politik dapat saling berkaitan satu dengan lainnya, yang mengekspresikan rasa tidak hormat, dan karenanya dapat dikategorikan sebagai kejahaatan kemanusiaan yang berat, against crime humanity.

Kekerasan literal dan kekerasan politis, terhubung dengan patron yang menginisasi kekerasan, meski kekerasan itu dilakukan oleh client (anak buah, pengikut, atau orang bayaran) yang dapat bertindak dengan campuran motif pribadi (keuntungan sosial -- rasa hormat, ekonomi dan politik) yang mendorong tindakan kekejaman secara sistemik dan teorganisir.

Di dalam kekerasan, menyatu dan terhimpun segala sifat buruk manusia yang berpuncak pada ujub, takabur, pongah, jumawa.

Sifat-sifat yang sekaligus dapat dimaknai sebagai pengingkaran dan pengabaian atas kewajibannya menebar cinta dan kasih sayang antar sesama, sebagai wujud dedikasi kepada Tuhan Maha Pencipta yang absolut, distinct, dan unique. Tuhan Maha Pencipta yang wilayah otoritas-Nya meliputi seluruh jagad - semesta (langit dan bumi).

Kekerasan bisa terjadi karena banyak hal, tetapi yang paling kongkret adalah lemahnya pengendalian diri dalam mengelola keseimbangan nalar, naluri, rasa dan indria, disertai hilangnya kemampuan untuk menggunakan cara baik dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu masalah di tengah fenomena hidup. Khasnya, dalam berinteraksi secara personal dan sosial, karena kuatnya kecenderungan untuk menolak perbedaan. Padahal, setiap manusia, berbeda antara yang satu dengan lainnya.

Robin Fox dari Social Issues Research Centre, mengisyaratkan, kekerasan kerap terjadi, karena setiap kali kita mencari penyebabnya, yang dikehendaki hanyalah penyebab yang sudah tersedia di benak. Selalu cenderung menghindari penyebab yang tak tersedia atau tidak kita sukai.

Kita kerap sibuk mencari penyebab terjadinya perceraian dan tak pernah mengulik penyebab terjadinya pernikahan. Mengerahkan segala teori untuk menganalisis sebab musabab terjadinya perang, dan cenderung malas mengulik penyebab terjadinya perdamaian.

Ironisnya, berangkat dari segala analisis itu, senjata secara tanpa henti diproduksi sesuai perkembangan pemikiran dan strategi bagaimana memenangkan peperangan, bukan strategi bagaimana menciptakan perdamaian dan menghantarkan para pihak yang berperang beroleh kembali harkat martabat kemanusiaannya.

Kita sering disibukkan bagaimana mencari penyebab tindak kekerasan dan selalu abai mencari cara menebar cinta dan kelembutan insaniah.

Menurut Fox, salah satu versi penyebab kekerasan yang paling umum dan paling populer adalah 'hipotesis agresi frustrasi,' yang lagi-lagi menganggap keadaan 'tidak agresif' sebagai normal, tetapi digagalkan oleh frustrasi.

Dari perspektif lain, pandangan Fox, tersebut dapat dipahami sebagai tercerabutnya manusia dari akar kemanusiaannya, yang dipandu Tuhan dan rasul-Nya untuk menggunakan cara bijak dan komunikasi baik (bil hikmah wal mauidzah hasanah).

Hal ini terjadi, karena kita seringkali menggunakan cara formal dalam menegakkan hukum -- apalagi ketika dasar hukumnya samar-samar dan multi tafsir -- sambil mengabaikan keadilan, yang bisa dicapai dengan cara hikmah dan komunikasi baik (dialog).

Kita seringkali mendahulukan kecurigaan dalam mendekati suatu persoalan, sehingga kewaspadaan berkurang nilainya. Syahwat menempatkan siapa saja yang dipandang sebagai musuh, lebih menguasai diri, sehingga tak melihat celah atau ruang yang memungkinkan siapa saja menjadi teman. Terutama dalam konteks kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

Bagi saya, kekerasan adalah ekspresi kegagalan atau ketidak-mampuan menempatkan diri sebagai manusia, yang dicipta Tuhan untuk saling berinteraksi menebar cinta dan kasih sayang, menempatkan diri dalam kesetaraan berkeadilan dalam berbagai konstelasi personal dan sosial.

Ekspresi kegagalan outward karena kegagalan mengelola sisi inward ke dalam diri kita. Akibatnya selalu cenderung memberi harga eksistensi diri, kelompok, organisasi (instansi dan institusi) sebagai suatu supreme organism yang harus mendominasi orang, kelompok, atau organisasi lain.

Kita cenderung menghendaki siapa saja di luar diri dan lingkungan sosial kita menjadi client dan kita menjadi patron yang menguasai sumberdaya.

Kita lebih suka hanyut dalam budaya tanding karena berimbal kalah - menang, dan tak berusaha merenangi budaya sanding karena memberi manfaat saling memenangkan dan saling memuliakan.

Kita abai pada realitas kemanusiaan, bahwa manusia berada dalam jagad relativitas, tak ada superioritas, sehingga tak harus terjebak pada ekstrimitas.

Dalam konteks itu, untuk mencegah terjadinya kekerasan yang selalu berulang, kita mesti sadar untuk selalu pulang ke kesadaran diri sebagai manusia. Lantas secara entusias mewujudkannya dalam menghidupkan simpati, empati, apresiasi, respek dan cinta.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, amalkan saja Pancasila secara sebagai dasar moral kebangsaan secara benar, konsisten dan konsekuen !

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya