Mengulang Ingat Gerakan Aksi Umat Islam 411 dan 212

| dilihat 1461

Catatan N. Syamsuddin Ch. Haesy

AKSI massa ummat Islam, 4 November 2016 yang disusul dengan gerakan aksi massa 2 Desember 2016 adalah gerakan unjuk rasa yang bermartabat. Gerakan itu kemudian melahirkan ikon sosiopolitik Gerakan 411 dan 212.

Aksi yang diklaim diikuti jutaan orang dan beroleh perhatian para analis politik internasional, itu karena melibatkan tak kurang dari 200 ribu kaum militan.

Olivia Scieur Aparicio, seorang analis pada École de politique appliquée - Faculté des lettres et sciences humaines, Université de Sherbrooke, menggambarkan aksi massa yang berlangsung tertib, tapi berujung bentrok dengan petugas keamanan, itu menunjukkan kemampuan organisasi massa Islam - seperti Front Pembela Islam (FPI) dan lainnya, menggalang umat secara tak terbayangkan. Padahal inti persoalannya -- di mata analis Barat -- itu sangat terang benderang : pemerintah lamban merespon tuntutan mereka untuk menindak Gubernur DKI Jakarta - Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang dinilai melakukan blaspheme, penistaan agama.

Gerakan itu, tak melibatkan dua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah).

Catatan Olivia -- sebagaimana umumnya analis Barat yang beroleh informasi tangan kedua dan ketiga, melalui pemberitaan dan penyiaran media yang tak sepenuhnya obyektif -- bagi saya memang catatan dari melihat persoalan dari lubang kunci.

Sebagai orang yang berada di tengah aksi massa tersebut, saya memandang catatan Olivia, dan catatan Ali Munhanif dari McGill University merupakan analisis sumir, langsung berkesimpulan ampang (sepah), sekadar melihat korelasi peristiwa dengan teori secara text book.

Karenanya Munhanif menyebut proses aksi dan esensi protes yang disuarakan, merupakan instrumentalisasi agama untuk melayani retorika politik.

Olivia dan Munhanif tidak melihat ada hal lain yang menjadi energi gerakan itu, yakni : Disparitas sosial ekonomi yang menjauhkan rakyat (sebagian terbesar adalah umat Islam) dari kemakmuran dan perlakuan adil pemerintah; Jauhnya jarak komunikasi politik pemerintah dengan rakyat; Perlawanan simultan rakyat sebagai kaum yang termarginalisasi terhadap tirani minoritas yang memaksakan kehendak memaksakan ekuitas dan ekualitas dan mengabaikan proporsionalisme; dan, Resistensi simultan atas aksi dan model gerakan neo communisme akibat pembiaran yang dilakukan pemerintah dan para petinggi politik.

Menilai aksi gerakan itu hanya sebatas analisis tentang formasi dan konstelasi politik mutakhir antara pemerintah yang berkuasa versus kekuatan opisisi yang banyak dikemukakan analis domestik, terlihat sebagai sikap yang cenderung mereduksi persoalan.

Akibat melihat aksi 411 dan 212 hanya dari sisi elementer suatu gerakan aksi massa dalam mereaktualisasi aksi demokrasi menyebabkan disharmoni paradoks yang bersifat diametral. Bahkan berlanjut hingga kini (simak lebih dalam kasus pembakaran bendera bertuliskan kalimah syahadah), seperti terlihat dan terasakan dalam aksi 2 November 2018, berselang.

Akibat analisis yang keliru dan pola baca intelijen yang sumir, gerakan aksi 411 dan 212, akan terus menjadi model gerakan, dan menjauhkan bangsa ini dari praktik demokrasi sebagai cara mencapai harmoni kebangsaan (musyawarah dan mufakat).

Pembiaran atas aksi berbagai pihak (pro pemerintah) yang memainkan isu SARA, kebhinnekaan, dan NKRI (kesatuan - integralisme) tanpa peduli dengan Persatuan Indonesia (keragaman - pluralisme), sebagai esensi sila ketiga Pancasila, serta klaim ke-Indonesia-an dalam diksi narrow nationalism akan terus menimbulkan letupan-letupan friksi yang dapat memicu konflik horisontal. Berbagai letupan peristiwa friksional antara Banser versus muballigh, adalah realitas yang tak dapat diabaikan.

Sepanjang prinsip-prinsip dasar tentang demokrasi sebagai cara mencapai harmoni kebangsaan dan bukan sebagai alasan mempertahankan kekuasaan, tidak termanifestasikan, Gerakan Aksi 411 dan 212 akan terus terulang dan berulang.

Menyongsong Pemilihan Umum serentak 2019, mestinya pemerintah mempunyai policy design yang berbuah cara mengatasi masalah dan menciptakan kondisi stabilitas sosial - ekonomi - politik. Antara lain dengan mengedepankan jalan budaya berbasis komunikasi - musyawarah - muzakarah dan dialog yang melibatkan semua kalangan.

Dalam satu tarikan nafas, para pemilik dan pengendali media massa (khususnya pengendali newsroom) juga mempunyai editorial politic (bukan editorial politicking) untuk kembali ke track-nya sebagai institusi pers perjuangan yang berani memposisikan diri secara independent. Menghidupkan kembali kemerdekaan pers (berbasis transparansi, verifikasi, konfirmasi, responsibilitas, dan obyektivitas) secara fungsional dan profesional.

Seirama dengan hal itu, juga berani dari lingkungan sendiri, menghapuskan seluruh instrumen pemicu friksi dan konflik, yaitu cyber troopers team. Termasuk menghadirkan kalangan cendekia yang matang - cendekia dan arief sebagai juru bicara, atau speaker mereka.

Sekaligus, membuang pola pikir lama abad ke 19 (dekade 1870-1880) dan abad ke 20 (dekade 1940-1950-1960-an) yang berfikir, bahwa kekuatan gerakan kontemporer merupakan kekuatan pendorong bagi sosok yang difigurkan dan dikemas sebagai pemimpin.

Keadaan sudah berubah. Kita sudah berada di abad ke 21 dengan segala fenomena dengan beragam fakta-fakta brutal perubahan dunia, yang menuntut cara lain. Jadi, jangan pernah berkhayal, akan ada gerakan aksi massa dalam jumlah sangat besar militan yang secara terbuka menyatakan dukungan kepada pemerintah.

Terutama, ketika -- apapun alasannya -- institusi dan ekstensi negara sedang mengalami persoalan asasi, ketidakpercayaan rakyat. Dan, kinerja pemerintah tak nampak cerlangnya dalam mengatasi masalah-masalah asasi sosial ekonomi (rendahnya nilai tukar mata uang, tak berkembangnya lapangan kerja, lemahnya akses rakyat terhadap modal dan pasar, dan belum baiknya kualitas layanan sosial - layanan publik). Suatu kondisi yang serta-merta merefleksikan kelemahan pemerintah, kurang bersihnya hati nurani, dan inisiatif para petinggi yang tak nampak kreatif dan inovatif.

Gerakan aksi umat Islam Indonesia 411 dan 212 menjadi penting dan bersejarah, karena lahir dari kesadaran kolektif rakyat secara spontanitas, menjadi katarsis bagi seluruh rakyat yang sedang terkepung arus besar perubahan yang merampas hak - hak dasar dan sekunder mereka.

Apa yang terasa di tengah gerakan aksi massa saat ini jauh melebihi kemampuan empirisma para analis politik, terutama yang masih sibuk bermain-main dengan retorika, menyoal, bersentak-sengor ihwal pragmatisme politik.

Gerakan aksi 411 dan 212 itu jauh meninggalkan gerakan unjuk-rasa apapun, apalagi sekadar unjuk rasa menuntut masalah reguler, seperti perbaikan gaji, jaminan sosial, pengakhiran tol bagi infrastruktur rakyat, dan sejenisnya. Gerakan aksi 411 dan 212 sudah berproses menjadi gerakan ideologis meluruskan secara fundamental arus reformasi 1998 yang sudah berubah menjadi deformasi.

Gerakan yang senyatanya mengembalikan gerak perubahan bangsa ini -- ibarat pesawat terbang -- ke garis adzimuth - jalan yang benar sesuai konstitusi UUD1945 (yang disahkan 18 Agustus 1945), yang sepenuhnya tak terpisahkan dengan Pancasila dan sesanti bhinneka tunggal ika yang murni - tak terkontaminasi oleh beragam tafsir.

Aspirasi gerakan aksi massa 411 dan 212 tak berhenti hanya pada penghukuman dan pemenjaraan penista agama, karena bukan hal itu yang esensial. Bukan pula perubahan prinsip dan sistem penyelenggaraan negara yang diusung sekelompok umat. Melainkan, kembalinya Indonesia Raya sesuai dengan nafas perjuangan panjang berabad sebelumnya, dan berabad ke depan. Yakni daulat rakyat yang makmur berkeadilan, dan unggul dalam peradaban di tahun 2045 (1 Abad kemerdekaan Negara Republik Indonesia). |

Editor : sem haesy
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1505
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 246
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 425
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 318
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 274
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya