Menimbang Biden Melihat Hubungan AS dengan Asia Tenggara

| dilihat 604

Jeehan

Kemenangan Joe Biden atas Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2020, sudah di ambang.

Hillary Clinton, pesaing Trump dalam pemilihan 2016 di akun twitter-nya mencuit, "Orang Amerika berhak mendapatkan presiden akan mengelola krisis COVID-19 dengan kasih sayang, kompetensi, dan rasa hormat terhadap sains yang kita butuhkan untuk menyelamatkan nyawa dan menghidupkan kembali ekonomi."

Cuitan Hillary, seolah mencerminkan separuh lebih rakyat Amerika Serikat yang menggunakan hak pilihnya dan rindu kehidupan sehari-hari dari bayang-bayang ngeri nanomonster Covid-19.

Biden yang konsisten mengikuti standar kesehatan selama kampanyer, memang mencitrakan dirinya sebagai sosok pemimpin yang sangat ambil peduli padakeselamatan rakyat.

Bertolak belakang dengan Trump, yang di penghujung putaran kampanye, bersama isterinya, Melani justru dimangsa oleh nanomonster yang oleh Trump, secara aksentuatif disebut  sebagai Virus China, itu.

Biden memang lebih dipandang sebagai pemimpin yang lebih bijak dan kalem, meski dibaling isu ihwal pelecehan seksual oleh sejumlah perempuan pendukung Trump, termasuk Alexandra Tara Reade, mantan staf Biden.

Reade menuduh Biden yang punya 'pesona persona khas,' itu  kala masih menjabat wakil presiden melakukan pelecehan seksual terhadapnya di ruang bawah tanah kantor Capitol Hill pada musim semi 1993. Tudingan Reade itu didukung oleh rekannya, Lynda LaCasse.

Tapi, bagaimanakah Biden akan memperlakukan Asia Tenggara bila kelak dia sungguh menjabat Presiden Amerika Serikat. Akankah dia melakukan 'aksi pelecehan' terhadap negara-negara yang dianggap mempesona di era baru orientasi dari Barat ke Asia Pasifik kelak?

Akankah Biden mengubah secara drastis sikap Trump yang bersikap head to head dengan China, sambil memainkan taktik 'elang terbang rendah,' menguatkan hubungan dengan Korea Utara dan Vietnam?

Atau sebaliknya, seperti yang pernah dikemukakan James Crabtree pembuat opini regional, bahwa Biden akan mengembalikan sikap Amerika Serikat ke jalan kebijakan seperti yang pernah diterapkan Barack Obama, alias Obama Way yang terkesan lembut menghadapi China?

Boleh jadi, Biden tidak akan kembali menerapkan  'Obama Way,' tapi juga tidak sesangar Trump, yang meminjam analis Fluornoy, "menenggelamkan semua kapal militer, kapal selam, dan kapal dagang China di Laut China Selatan dalam waktu 72 jam."

Artinya, Biden akan memilih jalannya sendiri dengan 'pesona kebijakan' yang sesuai dengan wataknya yang tidak berangasan, tetapi tetap tegas, menunjukkan integritas kaum demokrat.

Soal bagaimana Biden memperlakukan Asia dan Asia Tenggara khususnya, memang belum menjadi isu yang utama dibandingkan dengan persoalan domestik, menyelamatkan rakyat Amerika Serikat dari ancaman kematian, karena buruknya kebijakan memerangi pandemi berbahaya yang berasal dari Wuhan.

Agaknya boleh disimak komentar Sebastian Strangio yang dipublikasi The Diplomat, Selasa - 3 November 2020. Ia memberi signal kepada pendukung dan tim pemenangan Biden, untuk memainkan peran penting dalam kebijakan yang terkait dengan keterlibatan Amerika di Asia, via Asia Tenggara, untuk mengimbangi kebangkitan kekuatan China di rantau ini.

Di sisi lain, yang jauh lebih penting adalah bagai Biden memberi arti penting kebijakan kepresidenannya bagi Asia Tenggara, yang sangat strategis di wilayah "Indo Pacific."  Karena kawasan ini, dipandang paling klasik di dunia. Paling tidak sejak era ekspedisi samudera dari berbagai negara di Eropa dan Timur Tengah memburu potensi sumberdaya alam.

Tak ada yang bisa memastikan apa yang bakal terjadi, kecuali perubahan orientasi dan cara Amerika Serikat merespon dinamika Asia, khasnya di kawasan Asia Tenggara yang dinamis dengan beberapa persoalan domestik yang terjadi di Thailand, Myanmar, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina dan Indonesia yang akan banyak mempengaruhi dinamika di Kamboja, Laos, Timor Leste, Fiji, Papua Niugini, dan negara-negara pasifik. Termasuk dinamika perubahan yang terjadi di Australia dan New Zealand. Khasnya, ketika Presiden Perancis Macron memantik permainan bara api konflik antara Uni Eropa dengan negara-negara Islam, seperti Turki, Pakistan, Kuwait, dan lain-lain. Termasuk memantik friksi dan konflik dengan negara-negara Eropa Timur dalam naungan Rusia.

Intinya adalah, kebijakan luar negeri Biden yang lebih koheren dalam mendekati Asia Tenggara, lewat pintu masuk zona konflik Laut China Selatan yang menjadi lokasi pergumulan China dengan Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Malaysia. Bukan lagi dalam konteks perang ideologis -- karena transformasi China sudah bergerak dengan format kapitalisme yang mengubah wajah komunisme dengan wajah komunisme baru. Kendati bayang-bayang pertarungan pengaruh antara otoriterianisma versus kebebasan, narrow nationalisme versus nasionalisme religius tetap akan menjadi awan mendung di atas Asia Tenggara. Terutama, karena kemesraan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, kian nyata tertampak.

Trump gagal 'masuk' meredupkan kemesraan Duterte - Putin, meski dia memuji kebijakan tangan besi Duterte dalam menghadapi "perang narkoba" dan uang haram. Termasuk pendekatan awal Trump untuk menyiasati kemesraan hubungan Indonesia - China.

Tak mustahil, Biden akan mendulang manfaat atas apa yang sudah dan baru dilakukan Amerika Serikat dengan kebijakan luar negerinya di penghujung pemerintahan Trump. Antara lain kebijakan politik AS di Asia Tenggara yang menjanjikan dukungan kuat kepada mitra dan sekutu di Asia Tenggara. Terutama  untuk mengimbangi pengaruh China yang terus berkembang.

Kendati dengan cara melontarkan gangguan-gangguan di lapak perdagangan kecil dan menengah. Biden, sesuai dengan karakternya, boleh diduga akan menempuh pengambilan keputusan yang lincah dan tidak berliku-liku seperti yang berlaku di era Trump.

Biden boleh diduga akan mengubah pola diplomasi untuk Asia Tenggara sesuai dengan nilai-nilai Amerika kepada dunia, termasuk mengurangi intervensi dalam kebijakan diplomasi pemerintahan. Kebijakan yang fokus pada strategi 'bebas dan terbuka' untuk mendahulukan langkah di Indo-Pasifik.

Biden boleh diharap, memberikan kembali rasa hormat sebagai nilai diplomasi utama kepada negara-negara Asia Tenggara, yang terkesan, sudah dilucuti oleh Trump. Sungguh memberikan ruang diplomasi 'Bebas' dan 'Terbuka' dalam hubungan Amerika Serikat - Asia Tenggara. Dan lebih banyak mengedepankan soft power, melalui pemahaman budaya yang sungguh matang.

Kita berharap, kelak pemerintahan Biden, sungguh mampu memainkan peran Amerika Serikat sebagai penyeimbang kekuatan China, yang secara historikal telah lebih dulu mengakar.

Belajar dari pengalaman Trump dan letupan mutakhir konflik Barat versus Islam yang dilakukan Macron, Biden mesti memainkan peran strategisnya untuk tidak mengusik dimensi religi yang sangat sensitif, dengan menghentikan isu-isu lokalisasi atau domestikasi religi dan sikap serampangan tentang stigma radikalisme, sparatisme religi dan lain-lain.

Sebaliknya, isu-isu tentang bagaimana merenangi transhumanisma dalam merancang peradaban baru yang lebih adil, beradab dan manusiawi, bisa menjadi tema penting untuk mengimbangi kepentingan politik dan ekonomi, dan bisa dimulai dari Asia Tenggara.

Kita tunggu manifestasi pandangan Penasihat Senior Biden, Anthony Blinken, bahwa "Presiden Biden akan muncul dan melibatkan ASEAN dalam masalah kritis." |

Editor : Sem Haesy | Sumber : Thinks, NBC, PBS, Diplomat
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 708
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 867
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 819
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 420
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 993
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 228
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 706
Momentum Cinta
Selanjutnya