Menjadi Wakil Rakyat

| dilihat 1271

Bang Sem

MENYONGSONG tiba Pemilihan Umum serentak 2019, banyak kolega, sahabat, dan kerabat, termasuk adik-adik dalam organisasi kemasyarakatan saya, yang ikut kontestasi merebut amanah rakyat.

Mereka tersebar di seluruh daerah pemilihan, mulai dari Aceh sampai Papua. Usia mereka beragam, mulai dari 21 sampai 62 tahun.

Mereka berkontestasi melalui beragam partai, kecuali PDIP dan PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Level lembaga perwakilan rakyat yang mereka juga beragam. Ada yang memusatkan perhatian di DPRD kabupaten dan kota, DPRD Provinsi, dan DPR RI.

Sebagian mereka hanyut dalam pengelompokan 'koalisi' pendukung Joko Widodo & Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto & Sandiaga Uno. Sebagian terbesar masih konsisten menggunakan akal sehat dan akal budi, memadu padan nalar dan naluri politik, dan menyerap aspirasi dengan pendekatan insaniah.

Mereka bisa duduk dalam satu meja untuk berdiskusi tentang tantangan di daerah pemilihannya masing-masing. Mereka membaca dengan seksama, siapa sungguh yang mereka hadapi dan bagaimana mesti memilih cara terbaik meyakinkan rakyat.

Saya dan beberapa teman, memantau aksi lapangan mereka. Termasuk cara yang mereka tempuh untuk masuk dan semayam di hatisanubari rakyat.

Ada yang menggunakan cara-cara konvensional karena memang mempunyai ikatan emosional secara sosiologis dengan para konstituen.

Satu dua ada yang menggunakan pendekatan baru, membayar lembaga survey untuk membaca medan. Saya katakan kepada mereka yang memilih cara ini, bahwa hasil survey itu bukan merupakan data kepastian. Melainkan informasi dasar untuk menemukan cara terbaik masuk ke dalam sanubari rakyat.

Beberapa kali saya terjun ke lapangan. Mengunjungi daerah pemilihan mereka. Berinteraksi langsung dengan konstituen. Kemudian mengingatkan mereka untuk menempuh cara yang paling sesuai.

Ada yang menarik dari kunjungan saya ke lapangan, hampir seluruh partai -- hanya satu dua saja yang tidak -- menghadapi problem yang sama. Yakni, mesin partai tidak bergerak sampai ke level konstituen real.

Organ-organ partai, pada umumnya hanya aktif sampai di level cabang, selebihnya, lemah. Artinya, para calon anggota legislatif harus membangun jaringan sendiri.

Mengapa? Karena pola kompetisi terbuka. Bahkan kompetisi internal dalam satu partai sangat tinggi dan ketat. Nyaris hilang kesadaran kolektif untuk berkompetisi dengan calon anggota legislatif dari partai lain. Waktu nyaris habis hanya untuk mengatasi kompetisi internal. Selebihnya, mereka juga mesti berhadapan dengan 'ballot trader,' yang sering membuat para caleg terkecoh.

Ironisnya para pemimpin nasional partai yang terjun ke daerah lebih sibuk dengan aksi politik selebrasi dan tak menyelesaikan masalah di lapangan. Terutama, karena mereka menganggap punya pengaruh dan pendukung tradisional, padahal tidak. Apalagi pendukung dari kalangan generasi millenial.

Dalam suatu kesempatan bertemu beberapa hari di Jakarta dan di daerah pemilihan, saya mengingatkan mereka untuk hanya menghadapi satu tantangan paling besar yang mereka hadapi. Yakni, karakter pribadi yang mendua. Sedangkan konstituen menuntut hal lain, karakter utuh dengan melihat integritas pribadi, yang mereka uji dari hal-hal kecil dan sederhana.

Saya temukan di berbagai daerah pemilihan, jarak fisik caleg dengan konstituen sangat dekat, tetapi jarak pikiran dan hati begitu jauh.

Seringkali para caleg lupa, saat berbicara di hadapan konstituen seolah-olah merasa sudah diterima sebagai sosok yang dianggap pantas dan patut menerima amanah. Padahal, ketika itu, konstituen sedang mulai menilai dan menguji keberadaan dirinya.

Di lapangan juga saya temukan, pendekatan yang digunakan para caleg seolah-olah petinggi yang sedang mengunjungi rakyatnya. Tak jarang, bahkan dengan 'tim sukses' yang lebih sibuk berfikir tentang kesuksesan dirinya sendiri. Mereka lupa, rakyat - konstituen, terdidik secara penetratif - hipodermis oleh siaran televisi dan media sosial, yang banyak sekali menebar informasi kelam ihwal wakil rakyat dan pemerintah.

Bersama kolega, kerabat, sahabat, dan adik-adik dari satu latar organisasi kami melakukan uji fakta di lapangan. Hasilnya? Konstituen hanya percaya kepada caleg yang mereka kenal betul dirinya dan lingkungan sosialnya.

Lantas, apa solusinya? Perpendek jarak hati sedekat jarak fisik, ubah karakter. Rakyat bukan ember yang harus diisi air terus menerus, dan seolah-olah tidak paham apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Rakyat tidak peduli dengan janji, karena yang mereka perlu hanya bukti sederhana, bagaimana caleg mau dan mampu bersama mereka mengatasi masalah primer dan mendesak.

Para tokoh nasional, pimpinan partai, yang kerap datang dengan rombongan 'dayang-dayang,' senang selebrasi, dan dielu-elukan oleh pengumpulan massa yang besar, hanya bagai gelombang buih. Ketika mereka pergi, tak meninggalkan apa-apa, tanpa caleg itu sendiri rajin memelihara hubungan dengan konstituennya.

Dari banyak hal yang saya temukan di lapangan, saya beritahu mereka, sekarang rakyat sedang ingin bicara dan mereka ingin caleg lebih banyak mendengar aspirasi mereka. Lantas secara interaktif menyelesaikan persoalan hari ini.

Jangan salahduga, rakyat tak selalu bisa diukur dengan uang, meski mereka tak punya uang. Setarikan nafas, yang diperlukan kini adalah bagaimana memastikan seluruh proses demokrasi melalui pemilihan umum, sungguh berlangsung secara benar, jujur, adil, dan nyata. Untuk itu, kontrol terhadap seluruh penyelenggara pemilihan umum menjadi sama pentingnya dengan meyakinkan konstituen datang ke tempat pemungutan suara (TPS), menunaikan hak konstitusinya, dan suara mereka tak dicuri siapapun di penghitungan akhir.

Kata kuncinya adalah tempatkan diri sungguh sebagai calon wakil rakyat yang dapat dipercaya, dan bukan mempercayakan kepada siapa saja pendekatan kepada konstituen. Di sini, yang paling utama adalah diri sendiri, lalu figur calon presiden dan wakil presiden, selebihnya baru partai dan lain-lain.

Menjadi wakil rakyat harus sungguh mampu merasa apa yang dirasakan rakyat, sehingga mereka mau menyerahkan suaranya di kotak suara untuk para calon yang dianggapnya paling pas. |

 

Editor : Web Administrator
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 338
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 333
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya