Renungan Demokrasi Reybrouck

Nasib Rakyat Tidak Ditentukan di Bilik Suara

| dilihat 2290

David Grégoire Van Reybrouck 'meradang' dari formalisma demokrasi praktikal yang terjebak demokrasi administratif antara kata dan angka-angka.

Sejarawan budaya, arkeolog, dan penulis Belgia penerima hadiah sastra Belanda, AKO Literature Prize, dan Libris History Prize itu melihat ketidak-mampuan para penyelenggara negara dan politisi selalu cenderung mereduksi hakekat demokrasi dalam proses dan praktik pemilihan umum.

Dia menyatakan, sistem pemungutan suara yang baik dan telah berlangsung beberapa dekade, kini sudah rusak, diganti oleh cara yang tak lebih baik, meskipun para politisi menyatakannya sebagai cara yang lebih baik bagi rakyat untuk memberikan suara mereka.

Reybrouck menilai, referendum atau pemilihan umum reguler yang berlangsung di banyak negara selama ini, di negaranya, tak menjamin kedaulatan rakyat yang sesungguhnya mewujud.

Proses pemilihan umum reguler dan referendum, akhirnya hanya bermuara pada kalkulasi dan rekapitulasi angka-angka, tanpa pernah menyoal berbagai kejanggalan dan tipu daya terdapat di dalamnya.

Pandangannya yang terungkap dalam Against Elections: The Case for Democracy,  Reybrouck menunjuk kasus Brexit sebagai contoh. Dia katakan, Brexit adalah titik balik dalam sejarah demokrasi barat. Belum pernah keputusan drastis seperti ini diambil melalui prosedur yang sangat primitif - pemungutan suara satu putaran berdasarkan mayoritas sederhana.

Tidak pernah sebelumnya nasib sebuah negara - dari seluruh benua, pada kenyataannya - telah diubah oleh ayunan tunggal dari kapak tumpul seperti itu, dipegang oleh warga yang kecewa dan kurang informasi.

Tetapi, ungkapnya, ini adalah yang realitas aktual dari serangkaian pukulan yang mengkhawatirkan terhadap demokrasi yang sehat.

Di permukaan, semuanya masih tampak baik-baik saja.

Beberapa tahun yang lalu, World Values ??Survey, proyek penelitian internasional berskala besar, bertanya kepada lebih dari 73.000 orang di 57 negara, apakah mereka percaya bahwa demokrasi adalah cara yang baik untuk memerintah suatu negara - dan hampir 92 persen mengatakan ya.

Tetapi survei yang sama menemukan bahwa dalam satu dasawarsa terakhir, di seluruh dunia, ada peningkatan yang cukup besar, 'panggilan rakyat' untuk pemimpin yang kuat, yang mereka percaya. Pemimpin, yang sesungguhnya tidak perlu repot dengan parlemen dan pemilihan umum. Terutama, ketika kepercayaan pada pemerintah dan partai politik telah mencapai titik terendah dalam sejarah. Karena tampaknya, rakyat kebanyakan lebih menyukai gagasan demokrasi, tetapi tidak menyukai kenyataan.

Reybrouck menyebut, kepercayaan pada institusi demokrasi (semacam lembaga penyelenggara pemilihan umum yang berdampak pada kepercayaan terhadap pemerintah dan parlemen) juga tampak menurun. Dalam satu dasawarsa terakhir, biro penelitian resmi Uni Eropa menemukan, bahwa kurang dari 30 persen orang Eropa percaya pada parlemen dan pemerintah nasional mereka - beberapa angka terendah dalam bertahun-tahun, dan indikasi bahwa hampir tiga perempat orang tidak mempercayai pemerintah dan parlemen mereka sebagai 'lembaga politik paling penting.'

Di mana-mana di Barat, partai politik - pemain kunci dalam demokrasi kita - adalah salah lembaga yang paling tidak dipercaya di masyarakat.

Meskipun skeptisisme tertentu merupakan komponen penting dari kewarganegaraan dalam masyarakat bebas, dapat dibenarkan pertanyaan ihwal seberapa luas ketidakpercayaan ini. Termasuk, pertanyaan pada titik mana skeptisisme yang sehat mengarah ke kebencian secara langsung.

Mengacu pada pandangan Reybrouck, inilah kita menyaksikan di banyak negara, bagaimana proses reguler pemilihan umum melakukan berbagai alasan untuk melakukan kecurangan, yang melalui mekanisme administratif konstitusional tak akan pernah bisa dibuktikan secara formal.

Sama dengan tidak bisa dibuktikan secara formal, adanya angin busuk di lingkungan sosial sangat terbatas, tetapi semua orang dapat mencium baunya.

Proses dan prosedur pembuktian kecurangan dalam pemilihan umum reguler, akhirnya menghadirkan realitas lain yang pilu.

Ada sesuatu yang meledak, tentang suatu era di mana minat dalam politik tumbuh, sementara kepercayaan rakyat dalam politik menurun.

Reybrouck bertanya: Apa artinya bagi stabilitas suatu negara, jika semakin banyak orang dengan berhati-hati melacak kegiatan otoritas yang semakin mereka tidak percayai?

Berapa banyak ejekan yang dapat ditanggung suatu sistem, terutama sekarang, karena setiap orang dapat membagikan pendapat atas apa yang mereka rasakan secara online?

Enam puluh tahun yang lalu, kita hidup di dunia apatis politik yang lebih besar, tetapi dengan tingkat kepercayaan yang lebih besar dalam politik. Sekarang gairah dan ketidakpercayaan itu berlomba dalam pikiran rakyat.

Raybrouck menyebut, ini adalah saat-saat yang penuh gejolak, karena peristiwa-peristiwa dalam semua turbulensi politik hanya sedikit menjadi refleksi politisi dan partai politik yang menggerakkan demokrasi kita.

Masih merupakan bidat untuk bertanya: Apakah pemilu (langsung), dalam bentuknya saat ini, adalah instrumen yang sudah ketinggalan zaman untuk mengubah kehendak kolektif rakyat menjadi sesuatu yang nyata, yang mewujud dalam pemerintahan dan semua kebijakannya.

Jean-Jacques Rousseau pada abad ke 18 sudah mengamati bahwa pemilihan saja tidak menjamin kemerdekaan (kebebasan dan kedaulatan).

Kala itu, Rousseau menyebut, “Orang-orang Inggris menipu diri mereka sendiri ketika mereka ingin bebas; mereka begitu. Pada kenyataannya, hanya selama pemilihan anggota parlemen (dan Perdana Menteri) mereka merasa merdeka, karena, segera setelah pemerintahan yang baru terpilih, mereka kembali dirantai, dan rakyat kembali pada keadaannya (sebagai bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa). ”

Pemilihan Umum, ungkap Reybrouck, adalah instrumen misterius dari musyawarah publik. Jika kita menolak memperbarui cara kita berdemokrasi, kita mungkin menemukan sistem yang tidak enggan diperbaiki; 2016 sudah berisiko menjadi tahun terburuk bagi demokrasi sejak 1933.

Kita mungkin menemukan, setelah kebodohan referendum Brexit, bahwa Donald Trump memenangkan pemilihan Presiden Amerika Amerika Serikat. Tetapi, hal ini mungkin kurang berkaitan dengan Trump sendiri, atau keanehan sistem politik Amerika, dibandingkan dengan jalan berbahaya yang telah diambil semua negara yang menerapkan sistem demokrasi Barat.

Mereduksi demokrasi hanya menjadi pemungutan suara reguler yang bermuara pada kalkulasi dan rekapitulasi angka-angka. Meski menghasilkan mayoritas lemah perolehan suara rakyat.

Karenanya, menjadi aneh bahwa rakyat memilih sebagai tugas (sesuai hak konstitusional) kewarganegaraan tertinggi,  tetapi proses pemilihan umum reguler itu, disangka bermuara pada tindakan individu yang dilakukan dalam keheningan bilik suara. Padahal, bukan di balik suara itu, hasil pemilihan umum ditentukan.

Dan,.. Reybrouck bertanya: Apakah bilik suara benar-benar merupakan tempat di mana kita mengubah perasaan individu menjadi prioritas bersama? Apakah ini sungguh di mana kebaikan bersama dan jangka panjang paling baik dilayani?

Dengan membiarkan pemerintah dan partai politik menolak untuk mengubah prosedur, kita telah ambil bagian, membuat kekacauan politik dan ketidakstabilan mendefinisikan fitur demokrasi. Muaranya adalah kelelahan demokrasi.

Masyarakat Barat (dan negara-negara lain yang menerapkan sistem demokrasi Barat) yang tak terhitung jumlahnya saat ini menderita oleh apa disebut "sindroma kelelahan demokratis."

Gejalanya dapat termasuk demam pemilu, kualitas kepemimpinan dan keanggotaan partai menurun, dan jumlah pemilih anggota legislatif yang rendah. Atau impotensi pemerintah dan kelumpuhan politik, interdependensi media arus utama dalam keberpihakan politik kepentingan, dan pengawasan media sosial tanpa henti yang menguat, ketidakpercayaan publik yang luas, dan pergolakan populis.

Tetapi sindrom kelelahan demokratis tidak begitu banyak disebabkan oleh rakyat, para politisi atau pihak-pihak yang -- akhirnya hanya menjadi aksesoris demokrasi --, melainkan disebabkan oleh prosedur dan penyelenggaraan pemilihan umum yang sangat administratif.

Menurut Reybrouck, demokrasi bukan masalah. Pemungutan dan penghitungan suara lah  masalahnya.

Dia bertanya dan menjawabnya sendiri: Di mana suara rakyat yang memilih di bilik-bilik suara? Di mana warga negara mendapat kesempatan untuk mendapatkan informasi sebaik mungkin, dan memungkinkan terlibat satu sama lain, serta memutuskan secara kolektif masa depan mereka? Di mana warga negara mendapat kesempatan untuk membentuk nasib mereka? Tidak di bilik suara, pasti. | bangsém

Editor : Web Administrator | Sumber : The Bodley Head 2016
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 522
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1612
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1393
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 239
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 463
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 454
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 424
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya