Pelajaran Pertama Berdemokrasi dari Gubernur Anies Baswedan

| dilihat 1617

Catatan Bang Sèm

Akhirnya proses demokrasi Indonesia menapak ke proses transformasi demokrasi on the right track. Ketika daulat rakyat dipahami secara benar dan posisi rakyat menjadi subyek dalam keseluruhan konteks penyelenggaraan negara.

Bukan proses Pemilihan Umum Serentak 2019 yang membawa kita ke arah itu. Tapi, pelajaran pertama tentang demokrasi yang langsung dipraktikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Demokrasi yang tak sebatas teori trias politika Montesquieu, terkait ruas kekuasaan berbasis fungsi: legislatif, eksekutif, yudikatif. Terutama ketika kepemimpinan eksekutif dipilih langsung oleh rakyat, sehingga terjadi ekuitas dan ekualitas kekuasaan dalam memanifestasikan kedaulatan rakyat (souverignity).

Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta dipilih oleh rakyat. Perjuangannya adalah mewujudkan keadilan sosial yang mesti mewujud nyata dalam realitas kesejahteraan (dan kebahagiaan), yang sesuai dengan dimensi Ketuhanan Yang Mahaesa (spiritualitas religius) dan kemanusiaan yang adil dan beradab yang bisa dipahami sebagai keadaban untuk menjaga dan memelihara kualitas insaniah secara nyata. Karenanya antar ruas fungsi demokrasi wajib bermusyawarah dan bermufakat. Karena permusyawaratan dan perwakilan ada dalam satu kalimat naratif satu nafas.

Selaku Gubernur DKI Jakarta, Anies selaku eksekutif akan menjual saham Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di PT Delta Djakarta, yang memproduksi bir. Ini sesuai dengan janji kampanye yang disampaikannya bersama Sandiaga Uno (selaku calon Wakil Gubernur DKI Jakarta) - kala itu.

Dengan menjual sahamnya di perusahaan produsen bir, itu Pemprov DKI Jakarta bisa memanfaatkan dana hasil penjualan saham untuk membiayai aktivitas masyarakat yang lebih menyehatkan, menyejahterakan, dan membahagiakan sebagian terbesar warganya.

Rencana baik Pemprov DKI Jakarta, itu disampaikan kepada Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi (dari PDIP). Dan, Ketua DPRD itu mengabaikannya, karena tak setuju Pemprov DKI Jakarta menjual saham. Alasannya, perolehan deviden dari perusahaan itu (sebesar Rp50 miliar), terus mengalir. Artinya, perusahaan tidak dalam merugi.

Gubernur Anies berpandangan, dibandingkan dengan besaran jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), deviden itu tak seberapa. Tapi, kemungkinan mudharatnya lebih besar. Dan, satu hal, salah satu alasan rakyat memiliki Anies sebagai Gubernur pada Pilkada DKI Jakarta, adalah janjinya menjual saham Pemprov DKI Jakarta di perusahaan pabrik bir itu.

Selaku eksekutif Gubernur sudah menjalani prosedur untuk bermusyawarah, meminta persetujuan. Pengabaian Ketua DPRD atas surat itu, karena tidak setuju, tidak serta-merta merepresentasikan aspirasi rakyatnya.

Dialektika legitimasi kekuasaan yang berbeda pandangan, dengan pola praktikal 'perwakilan' tentu akan menemui jalan buntu. Gubernur tak kan bisa memenuhi janji politiknya dan Pemprov DKI Jakarta terhambat rencana strategisnya, ketika Ketua DPRD bertahan dengan sikapnya, dengan berbagai alasan yang ditampakkan atau alasan yang tak nampak.

Anies menggeser dialektika ke ranah lain, kekuasaan versus kedaulatan, dan pemilik kedaulatan itu adalah rakyat. Gubernur hanya akan patuh kepada rakyat, karena rakyatlah yang memberinya kekuasaan. Ketika azas musyawarah dan mufakat secara proseduran melalui lembaga perwakilan buntu, maka kepada rakyat pemberi kekuasaanlah Gubernur harus melapor.

Pelajaran pertama berdemokrasi dari teori Bodin yang pernah saya pelajari adalah ihwal relasi orang-orang dengan otoritas tinggi dengan hukum dan praktik politik yang akhirnya berhadapan dengan pemilik kedaulatan yang sesungguhnya, rakyat! Gagasan ruas kekuasaan, khasnya eksekutif dan legislatif yang diberikan legitimasi melalui pemilihan langsung, tak serta-merta merengkuh seluruh kedaulatan yang dimiliki rakyat.

Sebagian besar politisi, tak mendalami teori Austin, tentang kekuasaan, yang hanya bisa dipahami oleh penguasa dengan logika dan instink yang luas. Anies memilih konsep Austin,  "Jika seorang penentu otoritas, tidak terbiasa mematuhi kepentingan rakyat yang lebih besar, maka rakyatlah (selaku pemilik kedaulatan) yang harus menentukan. Bukan komunitas politik (partai) dan wakil-wakilnya di lembaga perwakilan.

Mekanisme pemberian kekuasaan - otoritas melalui mekanisme pemilihan eksekutif dan legislatif secara langsung dengan jalur yang berbeda, memungkinkan kedaulatan ditentukan oleh aksesi rakyat (untuk kepentingannya yang luas) kepada pemerintahnya. Dan rakyat adalah yang utama,  karenanya, kepentingan rakyat harus didahulukan. Rakyat akan memberikan dukungan kepada penerima kuasa (eksekutif atau legislatif) yang secara faktual, patuh atau tunduk kepadanya (facit imperantem oboedientia).

Menurut Austin, kedaulatan hanya pantas diberikan kepada orang yang dipercaya memegang amanah, kekuasaan tertinggi, mandiri, bertanggungjawab, akuntabel, dan fair. Dia patuh kepada undang-undang, taat dan setia kepada rakyat pemilik sah kedaulatan, termasuk (dalam teori kuno, Hobbes) dia taat dengan kontrak politiknya kepada rakyat.

Karena kepatuhan pengemban amanah itulah, menurut Austin, rakyat memenuhi kewajibannya, antara lain, membayar pajak untuk membiayai pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan, dan pemuliaan rakyat itu sendiri.

Josiane Boulad-Ayoub dalam pandangannya tentang kedaulatan rakyat dari Rousseau ke sampai The Rights of Bill, mengungkapkan, konsep politik kedaulatan rakyat akan bersesuaian dengan moral, dengan superioritas amanah yang diberikan dan dituntut pertanggungjawabannya oleh rakyat. Penegasannya adalah pada keputusan pemegang amanah yang lebih mengutamakan gagasan tentang kepentingan umum yang lebih prioritas dibandingkan dengan kepentingan kelompok, apalagi pribadi.

Pemerintah, kudu mengarahkan hasrat keputusannya kepada kebijakan-kebijakan yang lebih bermanfaat bagi kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan rakyat. Karenanya, kebijakan pemerintah, mesti mengandung nilai utama pendidikan, untuk mengangkat jiwa dan derajat rakyat, melalui praktik kebajikan pemerintahan yang benar, berani, dan tulus yang akan berbuah kebajikan sipil yang tidak terpisahkan dari itu.

Kata kuncinya, kebijakan pemerintah atau seorang pemimpin dengan otoritas tinggi melalui amanah rakyat, mesti menghormati martabat manusia yang dalam, sehingga akan terjadi ketaatan pada aturan dan hukum yang baik , untuk membangun harmoni sebagai cara mewujudkan rakyat yang bahagia ini.

Itulah sebabnya, seseorang akan menggairahkan kepercayaan yang diterimanya dari rakyat, pada prinsip-prinsip agama.

Pelajaran pertama cara berdemokrasi dari Anies, ketika dia melapor kepada rakyat Jakarta yang memilihnya, memang mengharuskan siapa saja, khasnya politisi, mesti banyak belajar tentang dimensi agama dalam peran politik, seperti yang diisyaratkan Robespierre. Sekaligus perlu lebih intens membaca pemikiran Montesquieu dengan pendekatan Rousseau, tentang hakikat dukungan moral dalam kedaulatan rakyat untuk berkontribusi optimum dan patuh terhadap perintah Tuhan kepada manusia oleh Tuhan sebagai pemberi kekuasaan yang sesungguhnya, melalui rakyat (vox populi vox dei).

Kebahagiaan dan kebebasan individu dan masyarakat bergantung pada penerapan prinsip-prinsip ini. Keselamatan rakyat akan datang dari kesadaran moral dan kualitas intelektual penerima kekuasaan dari rakyat, yang diakui dan dilindungi oleh konstitusi. Anies memang Gubernur yang good bener! |
 

Editor : Web Administrator
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 104
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 520
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 529
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 447
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Energi & Tambang