Pembangkang dalam Pusaran Transformasi Politik Malaysia

| dilihat 518

Haèdar MOHAMMAD

Era gerakan oposisi melakukan gerakan perlawanan sporadis terhadap penguasa, sudah berakhir, sejak Presiden Hugo Chávez, terpilih sebagai Presiden Venezuela pertama kali (1998).

Begitu pandangan Barry Cannon, dalam artikelnya,  As Clear as MUD: Characteristics, Objectives, and Strategies of the Opposition in Bolivarian Venezuela,  dalam jurnal Latin American Politics and Society, terbitan Cambridge University Press, musim dingin 2014.

Oposisi Venezuela melakukan beragam perubahan strategi, termasuk strategi kekuatan institusional dan ekstra-institusional pada titik yang berbeda.

Canon membangun kerangka teori baru tentang oposisi Venezuela. Antara lain dengan menggunakan perspektif strategi sebagai suatu dialektika.

Oposisi melakukan transformasi aksi yang lebih komprehensif, menuju pelembagaan dalam komposisinya, penekanan diskursif, dan arah strategis, termasuk dalam mengelola narasi dan diksi, juga statemen tokoh-tokoh oposisi melalui media (termasuk media sosial) dengan mempertimbangkan secara kritis demonstrasi jalanan untuk memelihara kontinuitas gerakan sebelumnya.

 Kata kuncinya adalah oposisi punya visi yang jelas.

Boleh jadi, cara ini yang dipilih tokoh opisisi Anwar Ibrahim, Mat Sabu dan Lim Guan Eng dalam arah perubahan politik Malaysia, setelah gagal mempertahankan kemenangan politik yang diperolehnya pada Pilihan Raya Umum (PRU) Malaysia, 9 Mei 2018.

Suatu kemenangan rapuh yang mudah dirobohkan hanya karena persoalan internal Partai Bersatu, antyara Tun Dr. Mahathir Mohammad versus Muhyiddin Yassin, plus perlawanan  Azmin Ali kepada Anwar Ibrahim dalam Partai Keadilan Rakyat (PKR).

 Karenanya, langkah yang ditempuh Perdana Menteri ke 9 Malaysia, Ismail Sabri Yakin dengan para pemimpin pembangkang (Anwar Ibrahim, Lim Guan Eng, Mat Sabu), untuk dan atas nama kepatuhan pada titah Yang Dipertuan Agong, Sultan Abdullah yang meminta politisi Malaysia fokus menangani coronastrope dan perekonomian dalam konteks memulihkan negara.

Setarikan nafas, Anwar Ibrahim menguatkan jejaring dengan Eropa plus Turki, Hishamuddin Hussein meninggalkan legasi penguatan jejaring dengan Turki plus Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab (sebelum kembali ke posisi semula selaku Menteri Pertahanan), dan Presiden PAS (Partai al Islam se Malaysia) Hadi Awang menguatkan jejaring dengan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Ismail Sabri mengambil inisiatif untuk memastikan pemerinthannya, merupakan pemerintahan yang iltizam (komitmen) politik untuk melaksanakan agenda transformasi, dengn titik berat pada kesefahaman antara pemerintah dengan oposan (pembangkang), menyusul pertemuan pemimpin mereka dengan Perdana Menteri Ismail Sabri Yakoob di Putra Perdana, Putrajaya (25/821) sebagai ekspresi spirit 'Keluarga Malaysia.'

Meskipun Anwar Ibrahim menyatakan, pembangkang tidak akan mengubah sikap mereka dalam memainkan peran semak dan imbang (check and balances) di parlemen, tapi terasa Anwar cum suis sedang memainkan siasat-siasat kecil, guna mendulang simpati Raja dan rakyat.

Siasat-siasat itu terasa di persidangan parlemen. Hanya Tun Mahathir yang masih bertegak dengan prinsip-prinsip dasar yang dipegangnya dan kini menafasi sikap partai Pejuang, wadah perjuangan kaum profesional di lapangan politik. Akan halnya Tengku Razaleigh (kuli) masih hanyut dalam fantasinya mempersoalkan partai UMNO (United Malay Nations Organization) di bawah kepemimpinan Zahid Hamidi.

Dibandingkan dengan Venezuela, proses perlembagaan pembangkang di Malaysia, relatif lebih rapi, meski belum sepenuhnya menampakkan kemampuan mengelola integrasi ideologi nasionalisme dan sosialisme, termasuk sosialisme religius. Kendati demikian, mereka mulai menampakkan wajah baru fatsoen politik di parlemen. Anwar Ibrahim,  yang sangat lama menjadi 'Prime Minister in Waiting,' nampak ambil masa mengendalikan diri dan menyiapkan daya untuk bertarung dalam PRU ke 15 mendatang, yang entah bila akan berlangsung.

Naskah "Memorandum Persefahaman Transformasi dan Kestabilan Politik,"  yang ditanda-tangani di Parlemen, Ahad - 13 September 2021 (sesuai pameo, "politik tak mengenal hari libur"), memilih terminologi 'transformasi' katimbang 'reformasi.' Memilih perubahan dramatik yang terukur, katimbang perubahan yang melelahkan dan sulit merumuskan parameter pencapaia dan aksinya.

Dengan terminologi 'transformasi,' itu pembangkang memainkan peran, hak dan tanggungjawabnya untuk melakukan peran check and balances, mengawasi, meneliti, dan memastikan pemerintah bertanggungjawab terhadap parlemen, termasuk memastikan kesungguhan, integritas,  dan efektivitas pemerintah dalam mengendalikan isu-isu rakyat.

Perubahan strategi dalam siasat-siasat semasa, terasa dalam kesepahaman dalam melihat proses institusionalisasi yang mempertemukan pemerintah dengan pembangkang dalam Majelis Pemulihan Negara (MPN) yang dipimpin Muhyiddin Yassin, yang mereka serang habis-habisan ketika menjabat Perdana Menteri tersingkat dalam sejarah Malaysia.

Pembangkang dan pemerintah sepakat, MPN terdiri dari 50 persen pakar-pakar kalangan sektor khalayak sipil dan swasta yang dilantik oleh pemerintah sebagai penasihat. Sisanya masing-masing 25 persen dari pihak anggota parlemen dari partai-partai koalisi pembangkang dan partai-partai koalisi pemerintah. Di dalam MPN tidak terakomodasi anggota parlemen dari kalangan independen (bebas) dan partai-partai non koalisi.

Selebihnya, memorandum kesefahaman itu, selain mengurai ihwal penanganan coronastrope berikut belanja (anggaran) yang menyertainya,  lebih banyak mengurai iltizam teknis politik - political practice. Mulai dari Transformasi Administrasi terkait rancangan undang-undang lompat partai, kepastian Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) -- di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum -- mempercepat aksi pendaftaran pemilih usia 18 tahun sebagai pemilih, masa jabatan PM tak lebih dari 10 tahun, pembaruan parlemen (Dewan Negara dan Dewan Rakyat), keseimbangan jumlah anggota parlemen dalam komisi-komisi khas yang dipimpin secara setara oleh pihak koalisi partai pembangkang dan koalisi partai berkuasa, dan independensi kehakiman, serta Perjanjian Malaysia 1963.

Perubahan sikap pembangkang (oposan) seperti yang tercermin dalam memorandum kesefahaman, itu menunjukan perubahan proses institusionalisasi oposisi. Walaupun belum menunjukkan perubahan substantif, nampak lebih dinamis, dibandingkan dengan Indonesia kini,  yang hanya menyisakan dua partai non pemerintah (Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat).

Partai-partai non koalisi dan anggora parlemen bebas (non partisan), berpeluang memainkan peran  oposisi cerdas. Di sisi lain, dalam konteks transformasi politik sebagai bagian dari perubahan sikap pembangkang, ada ruang bagi formasi politisi perpaduan Malaysia. Sejauh para politisi senior pemburu kursi kekuasaan yang sudah out of date, tahu diri.

Peluang itu tertampak pada Mukhriz Mahathir, Khairi Jamaluddin Abubakar, Azalina Othman Said, Nurul Izzah, Rafizi Ramli, Nik Mohammad Nik Azis, Mazlee Malik, Ahmad Fahmi M. Fadzil, dan Syed Sadiq.

Dalam konteks ini, Ismail Sabri - PM Malaysia pertama yang bukan presiden partai, bersama Hishamuddin Hussein dan sejumlah politisi yang berorientasi ke dalam gerakan transformasi politik, perlu memandu arah.  |

Editor : eCatri
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 220
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 314
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 234
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 457
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 449
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 417
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya