Perlawanan dari Kampung Pulo

| dilihat 2227

AKAPADINEWS.COM | GUBERNUR DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tak lagi bersedia kompromi. Dia sepertinya sudah kehabisan cara membujuk warga yang tinggal di sekitar bantaran Sungai Ciliwung, Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, agar bersedia direlokasi ke rumah susun.

Mantan Bupati Belitung Timur itu pun terpaksa memilih cara represif: menggusur rumah warga. Ratusan Polisi Pamong Praja (PP) dan personil kepolisian dari Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya dikerahkan. Kamis (20/8), eksekusi dilakukan.

Bentrokan tak bisa dihindarkan. Warga menyerang aparat dengan batu. Aparat tak gentar. Hujan batu tak menghentikan langkah aparat merengsek masuk ke pemukiman, sambil menyemburkan gas air mata ke arah warga. Untuk menghalau aparat, warga membangun pagar betis dan menutup portal masuk ke pemukiman. Mereka tidak rela rumahnya digusur. Amarah warga juga dilampiaskan dengan membakar alat berat (backhoe) yang digunakan aparat untuk menghancurkan rumah warga. Korban pun berjatuhan. 12 orang dilaporkan mengalami luka-luka.  

Perlawanan warga tak digubris Ahok, sapaan Basuki. "Kita kirim pasukan lebih banyak," tantangnya. "Kampung Pulo tetap digusur." Ahok berdalih, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berwenang menggusur rumah warga karena berdiri di lahan milik negara sejak puluhan tahun silam.

Warga juga dinilai Ahok tidak berhak mendapatkan ganti rugi karena Pemprov sudah menawarkan rumah susun (Rusun) di Jatinegara yang layak huni. Rusun yang ditawarkan Pemprov itu terdiri dua kamar, ruang tamu, kamar mandi, dan dapur. Rusun dengan 16 lantai itu juga dilengkapi lima lift, dua tower, CCTV, dan sebagainya. Disediakan pula ruang untuk pertemuan, ruang kesehatan, sekolah PAUD, toko sembako, dan sebagainya.

Penggusuran terpaksa dilakukan Pemprov sebagai langkah terakhir setelah proses negosiasi mentok. Pemprov harus mensterilisasikan kawasan bantaran Sungai Ciliwung untuk mencegah banjir yang selalu mengepung ibukota tatkala memasuki musim hujan. Penggusuran tersebut merupakan bagian dari upaya Pemprov melanjutkan program normalisasi Sungai Ciliwung. "Penertiban warga Kampung Pulo akan terus kita lakukan sampai semua warga direlokasi," ucap Ahok.

Kampung Pulo, terletak di Kampung Melayu, Jatinegara, merupakan kawasan padat penduduk. Wilayah itu seringkali terendam banjir akibat air sungai yang meluap. Banjir tak bisa dicegah lantaran bantaran sungai yang seharusnya terbebas dari aktivitas manusia justru disesaki penduduk. Kawasan itu memang seharusnya steril dan menjadi ruang publik yang harus terawat dan hijau, bukan menjadi tempat pemukiman warga. Lantaran dipadati penduduk, kawasan itu kehilangan fungsi ekologisnya dan terjadi penyempitan serta pendangkalan sungai akibat timbunan sampah atau limbah dari industri dan domestik.

Aliran air juga tersendat dan kemudian menguap, menenggelamkan rumah warga. Kawasan itu tak elok dipandang mata. "Makanya, kami minta kepada warga supaya bersedia direlokasi. Kami ingin warga memiliki hunian yang lebih layak, kami berikan satu unit rusun," imbuh Ahok.

Banjir merupakan bencana tahunan yang kerap mendera warga Jakarta, meski  intensitas hujan tidak tinggi. Pasalnya, Jakarta sudah kehilangan daya lingkungannya. Namun, banjir di Jakarta bukan hanya karena padatnya warga yang menempati bataran Sungai Ciliwung. Namun, Jakarta kerap dilanda banjir lantaran tanah serapan sudah tertutup semen dan beton. Ruang hijau makin menyempit lantaran beralih fungsi menjadi tempat-tempat keramaian.

Banjir yang melanda Jakarta juga tidak lagi disebabkan curah hujan, namun juga akibat pengaruh pasangan surut air laut. Sekitar 40 persen wilayah di Jakarta berada di bawah permukaan muka laut. Dan, dari waktu ke waktu terjadi penurunan. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) memperkirakan, saat ini, permukaan tanah mengalami penurunan sekitar 10-12 sentimeter per tahun. Diperkirakan, 15 tahun yang akan datang, Jakarta sudah tenggalam.

Selama ini, pemerintah tidak optimal melakukan upaya untuk mencegah banjir. Upaya yang dilakukan baru sebatas mencegah jatuhnya korban jiwa akibat bencana banjir. Rencana relokasi sudah lama didengungkan. Upaya normalisasi tak juga rampung. Warga pun enggan direlokasi karena kompensasi yang ditawarkan pemerintah tidak wajar.

Mengajak warga agar menjadikan kawasan bantaran sungai menjadi ruang hijau bukan perkara mudah. Apalagi, mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta. Sempitnya lahan menyebabkan mereka terpaksa tinggal di kawasan kumuh dan tak layak huni tersebut.  

Bentrokan di Kampung Pulo terjadi lantaran warga menolak relokasi. Warga menganggap rusun yang disediakan Pemprov tidak sebanding dengan nilai lahan dan bangunan yang mereka bangun di Kampung Pulo. Warga ingin ganti untung, bukan ganti rugi. Warga juga menagih janji Presiden Joko Widodo, saat masih menjabat gubernur DKI Jakarta, yang akan membayar kerugian, termasuk kandang ayam warga yang kena gusur.

Saat menjabat gubernur, Jokowi memang berupaya merelokasi warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung dan di sekitar waduk ke rusun. Karenanya, Pemprov pun membangun  sejumlah rusun di antaranya Rusun Pinus Elok, Cakung, Rusun Marunda untuk warga Pluit dan Muara Baru, Rusun Daan Mogot untuk warga yang tinggal di sepanjang Kali Mookervart dan Grogol, Rusun Komarudin, Rusun Jatinegara, Rusun Cipinang Besar Selatan dan Rusun Pulogebang.  Namun, tidak semua warga bersedia direlokasi.

Warga Kampung Pulo menolak tinggal di rusun lantaran harus membayar sewa. Namun, Pemprov berdalih, sewa wajib dibayar warga untuk menghindari terjadinya perpindahan hak kepemilikan rusun itu. Pemprov tidak ingin rusun yang disediakan untuk warga Kampung Pulo dijual, beralih kepemilikan ke orang-orang kaya sehingga dikapitalisasikan untuk sewa seperti banyak rusun bersubsidi yang dibangun pemerintah untuk warga kelas bawah. Pemprov juga melakukan pengawasan secara rutin guna menghindari pengalihan kepemilikan.

Upaya Pemprov merelokasi warga perlu didukung. Tujuannya baik, menjadikan Jakarta bebas dari banjir. Namun, dampak dari penggusuran itu tidak bisa menyebabkan masyarakat makin termarginal. Ahok sebelumnya mengklaim sebanyak 80 persen warga Kampung Pulo bersedia dipindahkan. Namun, suara-suara penolakan masih bermunculan menunjukan proses negosiasi belum mencapai kesepakatan.

Walau bagaimana, warga yang menempati Kampung Pulo punya hak yang perlu diakomodir Pemprov. Apalagi, di antara mereka ada yang sudah sekian lama tinggal di sana. Warga juga mengantongi surat yang diteken Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Timur pada 10 Juli 2015 lalu yang menegaskan, hak mereka atas penggantian tanah dan bangunan berdasarkan penilaian independen sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012. Warga juga ingat janji Ahok yang akan untuk membayar 25 persen dari NJOP rumah dan tanah dan bangunannya. Namun, warga menyesalkan jika pembayaran baru diberikan setelah normalisasi berjalan 75 persen.

Soal tuntutan warga itu, Ahok menegaskan, tidak memberikan uang ganti rugi. Dia juga mengklaim sudah memediasi dan menyediakan rusun gratis 1,5 kali lipat dari lahan yang ditempati warga di Kampung Pulo. "Rusun mau, duit juga mau. Tidak ada ganti rugi duit, titik!” tegasnya. Ahok khawatir, jika dirinya memberikan uang kepada warga, maka bisa terancam pidana penjara.

Pemprov memang diberikan kewenangan untuk menggunakan tanah yang dikuasai warga. Namun, Pemprov dibebankan untuk memberikan kompensasi yang disepakati bersama-sama warga. Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 menyatakan, “Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang."

Ketentuan tersebut menegaskan jika pemerintah menjamin masyarakat hak tanahnya dicabut guna kepentingan umum, maka harus mendapatkan kompesasi yang adil. Ketentuan lain juga diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 tahun 2005, kemudian Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Ketentuan itu menyatakan pemerintah dapat melaksanakan upaya pelepasan hak atas tanah, pencabutan hak atas tanah bagi masyarakat yang menguasai tanah, dengan disertai mekanisme jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, jika pemerintah melakukan penggusuran, warga berhak atas ganti rugi yang sesuai.

Pada dasarnya, ketentuan-ketentuan itu mengharuskan adanya  musyawarah dalam menentukan kompensasi yang layak bagi pemegang hak atas tanah yang terkena pembebasan tanah. Setelah melalui proses musyawarah, Pemprov dan warga, maka ditetapkanlah bentuk kompensasi yang disepakati bersama. Namun, proses yang dilalui agaknya mentok. Pemprov menolak tuntutan warga untuk memberikan ganti rugi.

Musyawarah yang dilakukan harus melahirkan kesepakatan yang lahir dari proses saling dengar, saling memberi dan menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya kompensasi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan relokasi.

Relokasi merupakan salah satu alternatif yang dipilih Pemprov untuk menata kawasan bantaran sungai. Dengan begitu, bisa meminimalisir banjir dan membuat kota Jakarta lebih elok. Namun relokasi harus sesuai dengan harapan warga, tidak justru memberatkan. Relokasi tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa ada pendekatan persuasif dan manusiawi, di mana warga yang terkena dampak tidak boleh menjadi korban.

Ahok boleh saja mengklaim jika relokasi sudah sesuai aturan prosedur yang berlaku. Namun, keputusan relokasi tidak bisa diputus secara sepihak maupun ditetapkan secara instan. Pemprov harusnya mendengar aspirasi warga dan memandang negosiasi merupakan suatu proses yang harus dilalui secara bertahap, sampai muncul kerelaan dan kesadaran masyarakat untuk direlokasi. Dengan begitu, tatkala muncul keluhan warga, Pemprov harus mengakomodasi, bukan justru seolah-olah paling benar.

Dalam proses negosiasi, masyarakat harus ikut urun rembuk karena mereka berhak memperjuangkan kepentingannya. Cara-cara itu lebih manusiawi daripada melakukan cara-cara represif.

Di sinilah pentinya proses penyusunan dan implementasi kebijakan pembangunan yang mengutamakan partisipasi warga. Pemprov harusnya merangkul warga dengan menempatkan mereka sebagai pihak yang berkepentingan yang bakal terkena dampak dari implementasi kebijakan pemerintah.

Tatkala muncul resistensi, Pemprov harusnya terus membuka ruang konsultasi dan komunikasi yang memberi kesempatan kepada warga untuk berbagi pandangan tentang intervensi yang akan direncanakan, termasuk menegosiasikan soal kompensasi. Tanpa berkomunikasi, maka sulit menangkap dan membaca aspirasi masyarakat.

Pemprov bisa saja mengklaim kebijakan penataan bantaran sungai harus diimplementasi karena mengatasnamakan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Namun, Pemprov tidak bisa memposisikan warga Kampung Pulo sebagai warga liar yang tidak berhak menduduki lahan negara, sehingga harus diusir paksa.

Ahok tentu masih ingat janjinya saat kampanye bersama Jokowi di Pemilihan Gubernur 2012 lalu yang akan menerapkan pemerintahan masyarakat dengan mengutamakan partisipasi masyarakat, baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kebijakan pembangunan.

Jokowi-Ahok yang dulu intensif kampanye dari satu kampung ke kampung, termasuk menemui warga yang tinggal di bantaran sungai, mampu menarik simpati lantaran menjanjikan akan membangun hunian di bantaran Sungai Ciliwung yang di desain menjadi kampung susun. Namun, Jokowi-Ahok berjanji jika pembangunan kampung rusun itu tanpa melakukan penggusuran.

Resistensi menunjukan khawatir warga mengalami marginalisasi, ketidakdilan dalam kompensasi dan relokasi yang mengakibatkan semakin sulitnya warga menjalani aktivitasnya. Karenanya, wajar jika resistensi warga itu dipahami sebagai sikap dan tindakan untuk mempertahankan haknya. Karenanya, hak-hak masyarakat itu harus dihormati. Dengan membangun dialog yang sehat tentang manfaat ide perubahan dan menghasilkan keputusan objektif, maka proses relokasi akan berlangsung dengan damai dan aman.

Sebaliknya, jika resistensi tidak dikendalikan maka bisa merusak, apalagi ketika pemerintah dan warga sama-sama saling berhadapan sebagai lawan. Jika Pemprov menyadari resistensi tidak bisa dihindarkan, maka akan lebih baik mengelola resistensi itu dengan cara-cara persuasif, bukan tindakan pemaksaan yang berujung pada bentrokan.

Warga tentu tidak selamanya akan bertahan dengan sikapnya yang menolak relokasi jika Pemprov mau mengakomodasi tuntutannya. Sikap itu akan berubah jika ada dialog sehingga semua pihak dapat mengetahui latar belakang, penyebab-penyebab, kendala, dan sebagainya. Jika hal itu diketahui, maka sikap apriori dan saling menyalahkan dapat diatasi.

Setiap pelaksanaan kebijakan pembangun pasti ada dampaknya bagi masyarakat. Namun, Pemprov dan masyarakat harus bersama-sama menekan semaksimal mungkin dampak negatif itu. Di sinilah pentingnya komunikasi, partisipasi, fasilitasi, dan negosiasi.

Dengan komunikasi yang baik dan berkelanjutan, maka semua pihak dapat menilai masalah secara proporsional atau objektif, dan menghilangkan efek dari kesalahan informasi yang memperburuk hubungan antara Pemprov dengan warganya.

Jika warga menerima fakta yang utuh dan mampu menjernihkan segala kesalahpahaman, maka resistensi akan menurun. Sulit pula bagi warga melawan keputusan yang sudah disepakati jika mereka ikut terlibat di dalamnya. Karenanya, mereka yang menentang relokasi perlu ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Dan, keputusan yang diambil harus berdasarkan kesepakatan bersama, bukan keputusan yang sepihak.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1159
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 502
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1584
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1372
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya