Potret Kontestasi Caleg di Dapil 6 Jawa Tengah

| dilihat 1778

Catatan Bung Sem

Pemilihan Umum Serentak 2019 yang bakal memilih Calon Presiden/Wakil Presiden (Capres/Cawapres), Anggota legislatif: DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), tidak cukup mudah untuk rakyat, meski kertas suara ditandai dengan warna berbeda.

Mencermati pemberitaan yang berlangsung selama ini, sejak musim kampanye beberapa waktu berselang, fokus perhatian rakyat lebih kepada Capres dan Cawapres.

Partai Politik peserta Pemilu tak begitu banyak terserap ke dalam benak khalayak, kecuali kasus penolakan Perda Syari'ah dan Poligami - PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan kasus pencemaran nama baik serta perusakan baliho plus bendera Partai Demokrat di Pekanbaru.

Meskipun Ketua Umum Partai Demokrat - Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden RI 2004-2014) rajin melakukan politik selebrasi dengan safari ke daerah, dampaknya -- kecuali di daerah-daerah basis partai -- biasa-biasa saja.

Ruh -- sekaligus energi -- Partai Demokrat hanya terasa di Pekanbaru, ketika massa rakyat mengelu-elukan SBY.

Apa pasal?

Kebijakan partai politik dalam menetapkan calon anggota legislatif (caleg) untuk tingkat nasional di banyak daerah pemilihan, kurang memberikan daya perekat antara partai dengan konstituen.

Partai kurang memberi porsi kepada caleg yang sungguh mudah dikenali, diverifikasi dan dikonfirmasi dirinya oleh konstituen. Karenanya, masih merupakan high cost politik. Kecuali untuk beberapa caleg yang berkontestasi untuk periode kedua atau ketiga kalinya.

Selebihnya, terjadi kontestasi 'seru' di internal partai masing-masing. Artinya, caleg satu partai bertarung sesamanya di satu daerah pemilihan. Setarikan nafas, mereka juga harus berkontestasi dengan caleg partai lain.

Sejumlah caleg menggunakan jasa konsultan politik untuk memenangkan kontestasi itu dengan segala jalan pikiran yang dubieus. Sibuk dengan survey-survey lokal dan terjebak oleh sukses masa lampau, dengan hanya sedikit menimbang faktor yang menyebabkan mereka tumbang di daerah pemilihan itu.

Pola sinergi antar caleg (yang dikenal dengan istilah tandem, laiknya orang terjun payung) dalam satu partai, manis di bibir, tapi pahit pada realitas.

Jalur yang dipakai caleg pun terpolarisasi. Ada yang karena pengaruh dan posisinya menggunakan jalur struktural, tak sedikit (terutama caleg baru yang tak berpengalaman - bahkan masih tadika politik), memilih jalur non struktural.

Kalau nasibnya baik, akan bertemu dengan orang-orang yang sungguh punya jaringan dan pengaruh langsung terhadap konstituen. Tapi juga bergantung pada relasi caleg itu sendiri dengan jaringan itu.

Dalam kontestasi lapangan, kata kuncinya adalah kemampuan dan kepiawaian berinteraksi dan masuk ke dalam hati konstituen. Bukan dengan janji atau materi.

Sebagai gambaran, bisa dilihat Daerah Pemilihan VI Jawa Tengah, meliputi Kabupaten - Kota Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Purworejo.

Di daerah pemilihan jalur Merapi - Sumbing - Sindoro - Dieng, ini dari aspek partai, PDIP - PKB - Gerindra - PAN pada Pemilu Legislatif 2014 berhasil menancapkan pengaruhnya.

Pada Pemilu sebelumnya, ketika SBY masih menjabat Presiden, Partai Demokrat sempat menancapkan pengaruhnya. Tapi, sejak Angelina Sondakh terkena kasus korupsi, pengaruhnya surut. Pemilu 2014 Partai Demokrat tak memperoleh kursi dari Dapil ini.

Tahun ini, kader PAN, Catur Sapto Edy tak ambil bagian. PAN memasang Putera Amien Rais, Achmad Mumtaz Rais menggantikan posisi itu. Akankah Mumtaz sekuat Catur? Belum tentu.

Mereka yang mengaku sebagai jaringan pemenangan Catur kini memberikan jasanya kepada salah satu caleg dari Partai Demokrat. Akankah seberhasil Catur? Juga belum tentu.

Apa pasal? Mumtaz harus kerja keras menguatkan jaringan baru, struktural PAN. Calon lain yang menggunakan jasa bekas operator penggerak jaringan Catur, juga menghadapi kendali. Selain tak karib dengan konstituen yang dibina oleh Catur, kapasitasnya juga jauh berbeda.

Karding, Catur, dan Muna sangat intens melayani konstituen dan membuka akses luas kepada jaringannya. Ini point-nya: "masuk ke dalam hati konstituen dan jangan keluar sebelum waktunya."  

Bagi PDIP yang menempatkan 8 caleg yang tak satupun berdomisili di daerah pemilihan, itu dalam banyak hal tidak terlalu risau. Mesin partainya berjalan. Satu-satunya tantangan yang akan dihadapi partai ini adalah kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

Bila rakyat merasakan manfaatnya, siapapun dan dari mana pun ditempatkan di Dapil ini boleh sangat optimistis. Minimal, lewat caleg Nusyirwan, satu kursi di DPR RI bisa dipertahankan.

PKB juga demikian, minimal lewat caleg Abdul Kadir Karding, 1 kursi PKB di DPR RI bisa dipertahankan. Pun demikian halnya dengan Gerindra (lewat Prasetyo Hadi), Nasdem (lewat Choirul Muna), dan PAN (lewat Mumtaz), masing-masing-masing bisa beroleh satu kursi dari Dapil ini.

Dengan kerja lebih bersfungguh-sungguh ngopeni jaringan, PDIP juga bisa beroleh kursi dari Sudjadi. PKB bisa beroleh satu kursi lagi lewat Kholilul Rochman.

Partai Golkar dengan kesungguhan dan intensitas tinggi menyambangi konstituen, bisa beroleh satu kursi via Candri Maharani atau Asrori Widaro yang relatif mampu memainkan pola tradisi sebagaimana halnya dilakukan oleh Karding.

Muslich Zainal Abidin dengan kesungguhan dan intensif menggarap jaringan tradisional, bisa meraih satu kursi untuk PPP sebagaimana Lukman Hakim Syaifuddin (kini Menteri Agama meraihnya).

Sejumlah caleg akan diuntungkan oleh situasi mutakhir di lapangan, dan bila lebih rapi bersinergi dengan jaringan historis partai dan jaringan baru -- spirit kaum millenial dan emak-emak, akan beroleh masing-masing satu kursi.

Antara lain Ummi Amriyatun (PKS - Purworejo), Hanifah Razan (PAN - Wonosobo), dan Fatimah Verena Prihastyari (Partai Demokrat - Purworejo). Selebihnya, hanya akan memecah suara (sekaligus vote getter) saja.

Dari situasi ini, Noer Istiqomah (PKB), Harry Purnomo (Gerindra), Joko Prasetyo (PAN), dan Indrawati Sukadis (Demokrat) mesti melakukan aksi total meyakinkan konstituen.

Cara yang bisa ditempuh adalah membalik minda (logique inverse) memperkuat kemenangan mitra sinergi di tingkat Kabupaten - Kota dan Provinsi.

Kalau perlu, melakukan aksi tandem changement atau menambah tandem yang posisinya lebih kuat di level Kabupaten - Kota dan Provinsi, yang tak diopeni oleh caleg kompetitor. Dan, tentu bergabung dalam arus kontestasi Capres - Cawapres.

Caleg-caleg (dan para konsultannya) yang tak cepat tanggap terhadap perubahan cepat dan dinamis lapangan, dan sudah 'ngos-ngosan' sebaiknya menyadari hal ini.

Kata kuncinya adalah kesungguhan untuk berpolitik secara realistis. Mereka yang berada di lapangan sangat mengenali medan (communauté locale).

Mengabaikan mereka, sama dengan 'comportement stupide brise la chaise' - melakukan sesuatu yang menyerimpung kursi sendiri.

Hindari sikap, "berharap dapat rajawali, punai di tangan dilepaskan." | 

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 235
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 406
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 255
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1182
Rumput Tetangga
Selanjutnya