Rasisme Hantui Muslim Perancis

| dilihat 1803

AKARPADINEWS.COM | PENYERANGAN brutal secara beruntun yang menewaskan 132 orang di Paris, Perancis, membuat khawatir warga muslim di negara itu. Mereka dihadapi tekanan dari gerakan anti-Islam yang marah terhadap laku biadab militan Islam State (IS) atau dikenal Islamic State of Iraq and Al-Sham (ISIS) yang mengklaim melakukan penyerangan pada Jum'at malam (13/11) itu.

Meski para pemimpin komunitas muslim di Perancis telah mengutuk tindakan biadab ISIS, warga muslim khawatir menjadi korban rasisme karena dikait-kaitkan dalam serangan tersebut. Seorang wanita muslim berusia 19 tahun yang menolak menyebut namanya mengaku takut. Sebagai warga yang tinggal di lokasi yang menjadi target serangan, dia sangat sedih terhadap para korban dan keluarganya. Dia pun menekankan pentingnya mencegah terjadinya kesalahpahaman tentang siapa yang bersalah.

Sebagai seorang muslim Perancis, dia khawatir serangan Jum'at malam itu akan makin memicu gerakan anti-Islam seperti yang terjadi pada 7 Januari lalu ketika kantor majalah Charlie Hebdo diserang sekelompok orang bersenjata. Serangan yang menewaskan 12 orang dan melukai belasan orang itu dipicu ulah Charlie Hebdo yang memuat kartu Nabi Muhammad SAW. The National Observatory Islamophobia mencatat, pasca penyerangan itu, terjadi kenaikan sikap antimuslim hingga mencapai 281 persen pada kuartal pertama 2015, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Dia pun khawatir, nasib para pengungsi, khususnya yang berasal dari Suriah, yang akan menjadi sasaran politik kubu konservatif dan tindakan rasis. 

Gerakan anti-Islam akan makin disuarakan Front Nasional. Marine Le Pan, pemimpin Front Nasional menyatakan aksi teror yang meningkat terkait fundametalisme Islam merupakan fakta yang tidak dapat dibantahkan. Le Pen menyatakan, orang-orang Perancis "tidak lagi aman" dan menyerukan untuk mengendalikan wilayah perbatasan.

Front Nasional mulai menggerakan massa untuk turun ke jalan, menunjukkan solidaritas mereka terhadap korban, meskipun pemerintah melarang demonstrasi lantaran alasan keamanan. Mereka menggelar demonstrasi di pusat Kota Lille, Perancis bagian utara.

Saphirnews, sebuah situs berita Muslim, melaporkan pada Minggu (15/11) jika warga muslim Perancis menjadi korban intimidasi. Sabtu pagi lalu, lukisan salib berwarna merah darah, ditemukan di dinding sebuah masjid di timur Paris.

Slogan "Perancis, bangkitlah!" ditulis di dinding sebuah masjid di bagian selatan Perancis. Lalu, ada tulisan "Matilah Muslim" di dinding di sekitar Evreux, utara Paris, harian Le Parisien melaporkan.

"Kami tidak mengerti apa yang terjadi. Ini hanya mendorong kita mundur," kata Ismael Snoussi, warga muslim di sebuah masjid di Luce, kota di luar Chartres, di mana salah satu pelaku penyerang pada Jumat malam itu dibesarkan.

Malika Chafi, yang bekerja untuk sebuah organisasi non-profit, menegaskan, tidak masuk akal seorang muslim melakukan serangan dan pembunuhan. "Bagi saya, itu tidak masuk akal untuk mengatakan (penyerang) sebagai seorang muslim," katanya. "Ini bukan masalah muslim, ini adalah masalah terorisme."

Nabil, seorang petugas di Stade de France stadion, di mana dua pembom bunuh diri meledakkan diri, keberatan dengan menyebut penyerang itu sebagai "jihadis" muslim. "Mereka teroris," tegasnya. Muslim di Perancis, kata dia, sama dengan warga negara lainnya, tidak membenarkan melakukan penyerangan.

Dukungan Muslim

Upaya perlawanan terhadap terorisme juga disuarakan warga muslim via twitter untuk menunjukkan dukungan bagi korban dan keluarganya. Mereka memandang teroris bukan bagian dari Islam.

Lewat media sosial, mereka ingin menjadi bagian dari upaya melawan ekstremisme dan radikalisme yang mengatasnamakan Islam. Hastag #IAmAMuslim yang digunakan untuk mengkampanyekan perlawanan terhadap terorisme maupun pesan-pesan kebencian. Mareka tidak menolerir karena bertentangan dengan pesan-pesan perdamaian yang disiarkan Islam.

Pemimpin Muslim dari seluruh dunia juga telah mengutuk serangan tersebut. Presiden Iran Hassan Rouhani menganggap, serangan itu sebagai, "Kejahatan terhadap kemanusiaan". Dia pun terpaksa menunda rencananya mengunjungi Perancis sebagai bagian dari luas perjalanan Eropa akhir pekan ini.

Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia, yang merupakan negara yang dihuni masyarakat muslim terbesar di dunia juga menentang serangan. Dia mengatakan Indonesia mengutuk kekerasan yang terjadi di Paris.

Di Inggris, pemimpin Dewan Muslim Inggris, Shuja Shafi, mengutuk serangan itu. Dia memberikan label pelaku penyerangan sebagai sesuatu yang mengerikan dan menjijikkan. Dia pun bersimpati dengan mengirimkan doa kepada para korban. "Tindakan mereka jahat dan di luar batas-batas yang ditetapkan oleh keyakinan kita."

Dalam perkembangan lain, pesawat-pesawat tempur Prancis diarahkan ke basis-basis militan ISIS di Suriah pada Minggu (15/11). Perancis telah membom basis ISIS di Irak dan Suriah selama berbulan-bulan sebagai bagian dari operasi militer yang dipimpin Amerika Serikat (AS).

Presiden Prancis Francois Hollande telah bersumpah untuk menghancurkan ISIS. Menurut Kementerian Pertahanan Perancis, pesawat-pesawat tempur Perancis telah melancarkan serangan terbesar di Suriah, memukul kubu ISIS di Raqqa. "10 pesawat tempur diluncurkan secara bersamaan dari Uni Emirat Arab dan Yordania. 20 bom dijatuhkan," demikian pernyataan Kementerian Pertahanan. Di antara yang menjadi target serangan adalah gudang amunisi dan kamp pelatihan militan ISIS.

Polisi di Eropa juga memperluas penyelidikan dan meningkatkan koordinasi. Upaya perburuan internasional tengah dilakukan Kepolisian Perancis guna menangkap pria kelahiran Belgia yang diyakini membantu dan mengatur serangan. Salah satu saudaranya meninggal dalam serangan itu, sementara yang dua lagi telah berada dalam tahanan di Belgia, kata sumber peradilan.

Polisi juga menyatakan, dua penyerang bunuh diri telah diidentifikasi. Sedangkan identitas empat penyerang lainnya, yang semuanya tewas dalam kekerasan itu, masih dikaji. Pejabat Belgia menyatakan, telah menangkap tujuh orang di Brussels. Tapi, salah satu orang yang telah menyewa mobil menyelinap, menepi ke perbatasan Perancis dengan Belgia pada Sabtu lalu.

Lelaki yang mereka cari itu bernama Abdeslam Salah, berusia 26 tahun yang sangat "berbahaya". Meskipun ia lahir di Brussels, pihak berwenang Perancis mengatakan, dia adalah seorang warga Perancis.

Nasib Imigran

Pengungsi Suriah juga mengutuk pelaku penyerangan. Mereka menegaskan serangan tersebut tidak mewakili Islam. "Mereka (pelaku penyerangan) bukan Islam dan mereka tidak mengenal Allah," kata Bushar, seorang pengungsi. Dia menganggap teroris adalah orang-orang bodoh. "Allah tidak menyatakan Islam untuk membunuh orang. Itu bukan Islam."

Mohd Zahed, yang melarikan diri dari Kota Aleppo, Suriah, bersama istri dan dua anaknya juga berharap, tidak menghadapi masalah untuk menetap di Eropa setelah terjadinya serangan di Paris.

"Kami tidak takut karena kami tidak melakukannya (serangan). Muslim tidak melakukan itu. Mereka yang melakukan ini satu adalah teroris, dan kami tidak. Jika kita teroris, kita tidak akan datang dengan cara ini. Kami tidak menyukai mereka," tegasnya.

Ribuan imigran dari Suriah, terus melakukan perjalanan menuju Eropa guna menghindari sasaran peperangan. Sementara pasca penyerangan Paris, negara-negara Eropa memperketat pengamanan di kawasan perbatasan sehingga mempersulit pengungsi dari Suriah dan Irak untuk mendapatkan perlindungan.

Polandi misalnya, menyatakan penolakan terhadap pengungsi. Menteri Polandia untuk Urusan Eropa, Konrad Szymanski menegaskan, negaranya tidak akan menerima pengungsi yang berada di bawah Uni Eropa (UE) setelah serangan di Paris.

Para pemimpin UE juga membahas masalah pengawasan perbatasan setelah ditemukan paspor atas nama Ahmed Almuhmed, tak jauh dari jasad salah satu pembom luar stadion Stade de France. Otoritas Yunani melaporkan paspor itu digunakan untuk menyeberang ke Yunani pada 3 Oktober lalu. Empat hari kemudian, pemiliknya menggunakan untuk mengajukan suaka di Serbia. Hal itu yang kemudian digunakan untuk melakukan perjalanan melalui Kroasia, Hungaria, Austria, dan diyakini ke Perancis.

Temuan itu mengindikasikan militan ISIS menyusup di antara pengungsi yang menuju Eropa. Dalam pertemuan yang digelar Minggu malam (15/11), ada tuntutan agar perbatasan diperketat di Perancis, termasuk menerapkan sistem sidik jari dan penyediaan database mengenai catatan perjalanan untuk semua orang yang bepergian baik via pesawat maupun kereta di kawasan Uni Eropa.

Perancis sendiri adalah tuan rumah yang menampung ribuan migran akibat krisis di Suriah dan Irak. Namun, setelah penyerangan itu, Presiden Perancis, Francois Hollande memberlakukan kondisi darurat dan memerintahkan militer menutup perbatasan Perancis. Front Nasional sebagai kelompok sayap kanan yang mendapat banyak dukungan juga telah lama mempersoalkan tingginya arus imigrasi ke Perancis.

Bahkan, Bernard Cazeneuve, Menteri Dalam Negeri Prancis ingin Eropa untuk memberlakukan ketentuan darurat dan melakukan pengecekan sistematis dan meningkatkan koordinasi pengamanan di wilayah perbatasan Uni Eropa guna memaksimalkan perang terhadap terorisme.

Angela Merkel, kanselir Jerman mengakui, Eropa harus meningkatkan keamanan eksternal. Merkel berada di bawah tekanan domestik untuk mengatasi krisis migran setelah mengizinkan 800 ribu pencari suaka ke Jerman.

Reuters/The Telegraph/BBC/Express

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 200
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 306
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 512
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1598
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1383
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya