Sia Sia Alainis Menyerang Gubernur Anies

| dilihat 1389

Catatan Bang Sèm

Mengapa Gubernur Anies Baswedan tak henti dicerca, diutak-atik, digertak (bully), dan disudutkan? Padahal, dia menunjukkan kerja baik dan optimum melayani rakyatnya, warga Jakarta.

Pertanyaan itu mengemuka begitu saja, meluncur emak-emak yang mengundang saya ngopi petang di salahsatu kafè di Jakarta, pekan lalu.

Saya tersentak sesaat. Pertanyaan itu mengekspresikan tak hanya sekadar ungkapan, apalagi retorika emotif sebagaimana digunakan para pencerca dan pembuli.

Pertanyaan antusias emak-emak itu menyimpan simpati, empati, apresiasi, dan respek kepada Anies, sekaligus sebagai ekspresi kecintaan mereka kepada Jakarta dan suasana yang dibangun Anies. Suasana cerdas dan berbudaya, jauh dari makian dan sentakan. Jauh juga dari sikap 'ngagul' - membanggakan dirinya sebagai sosok terbaik.

Pertanyaan sama juga dilontarkan salah seorang jurnalis senior Malaysia yang datang -- berombongan -- bertandang ke Jakarta, Kamis - Sabtu (1-3 Agustus) lalu.

Jawaban saya sama. Para pencerca, pembuli, dan yang tak bosan mengutak-atik (meski sering dengan cara pandir) Anies, adalah mereka yang tak nyaman dengan perbaikan dan transformasi yang sedang dijalankan Anies.

Khasnya, ketika secara ideologis, Anies menempatkan pembangunan sebagai gerakan budaya bermuara peningkatan kualitas peradaban Jakarta yang kian metropolis. Dan, pasti, karena Anies memusatkan perhatian pada perjuangan menegakkan keadilan.

Anies bersungguh-sungguh dengan keyakinannya, bahwa kota adalah sentra peradaban, bukan sekadar ajang kehidupan manusia dengan beragam kepentingannya. Anies sangat paham, di Jakarta ada sistem kehidupan multikulturalis dan pluralis yang yang dari aspek ekosistem, setiap orang di Jakarta mempunyai perbedaan sosio habitus yang membentuk watak dan kepribadian mereka. Analoginya, mirip dengan gambaran Berkowitz A.R., Nilon C. H. & Hollweg K.S. dalam buku mereka, "Understanding urban ecosystems: A new frontier for science and education."

Ketika pemimpin kota tidak mengambil aparatus habitus yang agitatif dan berjuang keras melayani warganya, akan ada pihak lain, yang tidak nyaman. Mereka mengambil posisi sebagai agitator untuk merontokkan eksistensi sang pemimpin di benak rakyat atau warganya. Mirip-mirip dengan habitus semut api di dalam sarangnya.

Terutama, bagi mereka yang nalar dan nalurinya buntu, terjebak oleh pernyataan, "pourquoi il n'est pas nous" (kenapa dia, bukan kita)

Sejak hari pertama Anies menjalankan amanah sebagai Gubernur DKI Jakarta di Balaikota, secara politik, membuat sejumlah orang tidak nyaman, tak hanya lawan politik di ajang kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2016, bahkan mereka yang mengaku 'teman lama.'

Mereka tidak terikat dengan sikap budaya,  untuk  mengakui dan menghormati kenyataan. Mereka hanya berpikir bagaimana menggunakan retorika emotif, sambil berharap, eksistensi Anies sebagai Gubernur, akan goyah dan kemudian roboh.

Para pencerca dan pem-bully Anies - langsung tak langsung menciptakan bentrokan antara fakta hasil kerja yang dapat dirasakan, yang secara sosiobudaya memberi manfaat besar dan luas kepada warga - rakyat melalui pergerakan sesuai dengan misi yang mesti dijalaninya sebagai Gubernur, dengan ekspresi liberalisme ekonomi, yang harus dibangun di sepanjang garis individualis, dengan regulasi pemerintah yang minimal.

Kebijakan-kebijakan Anies yang menampakkan pendekatan populis modes, dalam harmonisasi dengan bureaucratic modes, untuk mewujudkan kondisi keadilan dan kesetaraan, jelas tak disukai oleh mereka yang berambisi kuat menerapkan liberalisme ekonomi kota. Mereka yang memandang hak kepemilikan pribadi adalah keniscayaan. Aksioma 'ideologis' mereka adalah, sesiapa yang telah memperoleh dan menguasai properti, bebas untuk mengeksploitasinya sesuai keinginannya, tanpa kewajiban kepada orang lain.

Hak ini mereka anggap mutlak, dan segala sesuatu yang akan mengganggu properti tanpa persetujuan mereka - sering kali dalam bentuk perpajakan - mereka anggap sebagai pelanggaran. Misalnya, pembebasan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk mereka yang berjasa kepada kota dan bangsa ini.

Kaum libertarian akan selalu memandang, seluruh kebijakan Anies selalu Gubernur yang mengurangi kepentingan dan keuntungan mereka, harus dilawan. Dan ketika serangan atas kebijakan tak mempan, yang harus dirontokkan adalah persepsi publik dan warga tentang kinerja Gubernur yang baik, benar, dan bermanfaat.

Ketika dihadapkan dengan dilema 'ideologis' - idealisme komersialistik --, para pencerca dan pembuli, sebagai pendukung libertarianisme, sering bersikap 'asal serang,' sebagai ekspresi disonansi kognitif, karena dirinya mengalami ambivalensia. Aksinya adalah hanya menolak realitas perubahan dramatik (transformasi), daripada mengakui bahwa aksioma mereka secara mendasar cacat.

Dengan menyerang Anies secara individual dan dalam kapasitas sebagai Gubernur Jakarta, para pencerca dan pembuli Anies sebenarnya, sedang sekadar menyembunyikan sikap anti-regulasi dan anti keadilan para penggeraknya.

Mereka bukan kaum oposan dalam makna sesungguhnya dengan kualifikasi prima (cerdas, menguasai masalah, tahu solusi, kritis, dan berani), melainkan hanya kumpulan para pecundang yang sekadar mampu 'menggonggong' sebagai watchdogie. Gonggongan dan serangan mereka, pasti akan mudah dibungkam oleh kalangan yang bersepakat dan sukarela memberikan dukungan kepada Anies, terutama dengan data dan fakta.

Dalam konteks itu, kalangan terdekat dengan Anies -- seperti asisten dan sekretaris pribadi -- mesti paham betul realitas, dan mesti paham memainkan peran sebagai reduktor dalam menjaga stabilitas dinamis hubungan Anies dengan para pendukung dan simpatisan aktifnya. Khasnya, para pendukung dan simpatisan yang sudah selesai dengan dirinya, dan tidak akan memanfaatkan kedekatan mereka untuk kepentingan atau keuntungan personal.

Anies sudah berada di jalan yang benar, lebih banyak menggunakan instrumen komunikasi struktural untuk lebih banyak menebar informasi tentang kebijakan. Khasnya terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Tetapi, dia memerlukan daya para pendukung dan simpatisan dirinya di luar pemerintahan, untuk menepis, menangkis, dan membalikkan serangan-serangan dalam bentuk cerca dan bulian dalam keseluruhan konteks dan koridor transformasi yang berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat.  Termasuk daya dukung cerdas dan teliti partai politik yang mengusung dan mendukungnya dalam proses Pilkada DKI Jakarta 2016.

Aksi cerca dan buli dalam konteks politik praktis, sama tuanya dengan politik itu sendiri, karena setiap perjuangan menegakkan keadilan dan menyelenggarakan pemerintahan yang baik (good governance) pasti akan berhadapan dengan kejahatan yang nyata dan tersembunyi.

Lawan Anies bukan para pencerca atau pembulinya, melainkan mereka yang dengan penguasaan ekonomi dan sumberdaya, hendak mengubah kebenaran menjadi pembenaran, sekaligus memaksakan kehendak dan obsesi mereka dengan taktik para machiavellian, menghalalkan segala cara. Biasanya menggunakan strategi tunggal: melakukan gertakan fisik secara simbolis dan verbal, serta 'anomali termodifikasi' dengan eksplorasi umpatan yang mengekspresikan kebencian, rasisme, dan penghinaan dari balik layar.

Pada satu titik, ketika Anies, misalnya konsisten dan konsekuen dengan sikapnya: bersandar kepada kebenaran takdir Ilahi dan rakyat pendukungnya, pasti dia akan beroleh kenyataan, satu persatu para pencerca dan pembuli dengan wajah merah padam, melakukan pengakuan dosa.

Mereka akan seperti Alain Badiou yang berlutut di hadapan Presiden Sarkozy. Lantas secara terbuka menyatakan kepada rakyat Perancis, "Akhirnya aku mengaku bersalah. Aku sudah menggunakan tanpa menyesal, metafora zoologi.., karena memandang bahwa dalam politik (zoo) selalu ada musuh."

Saya menyebut para pencerca dan pembuli Anies sebagai 'kaum alainis.'

Bisa juga Anies akan dengan senyuman dan kema'afan, bicara dalam kuliah umum komunikasi politik beradab, dengan pendekatan interdisipliner -- studi argumentatif, psikoanalisis, sosiologi dan ilmu politik, dan mengurai lengkap ihwal corpus, dan menyatakan: "kema'afan atas kekeliruan pembenci adalah dendam yang terindah."

Kaum Alainis, sia-sia menyerang Anies. Semua serangan akan berbalik kepada mereka sendiri. |

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 276
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 138
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya