Menuju Pilpres 2019

Siapa Bermain Playing Victim

| dilihat 1247

Catatan Politik Sem Haesy

Kasus-kasus penolakan atas kehadiran Sandiaga Uno di beberapa tempat -- dan terakhir di Pasar Pinang, Labuan Batu, Sumatera Utara -- dianggap skenario kampanye pasangan Prabowo Sandi untuk menarik simpati.

Salah seorang jurubicara Jokowi - Ma'ruf (yang juga juru bicara pasangan Ahok - Basuki di Pilkada DKI Jakarta, 2016) dari Partai Golkar menyebut, aksi itu hanya sandiwara belaka.

Lewat CNN Indonesia, Jurubicara itu menyebut, Sandi seolah-olah sedang melakukan aksi playing victim, berperan sebagai korban.

Sungguhkah demikian? Belum tentu. Bagi Prabowo Sandi, teknik komunikasi bermain sandiwara dan memainkan rol sebagai plying victim, sungguh tak penting.

Saya justru menangkap pernyataan juru bicara tim Jokowi - Ma'ruf itu sebagai refleksi dari kebiasaan mereka memainkan pola komunikasi semacam yang ditudingnya.

Merujuk pada pandangan Dr. Christian Maciel, seorang guru besar - sekaligus marriage and family therapist, semua orang pernah menjadi korban, tapi tak semua orang pernah bermain playing victim. Kalau hanya karena sikap tenang Sandi menghadapi situasi tak menyenangkan, lantas dia dituding sedang bermain playing victim, analis komunikasi tim Jokowi - Ma'ruf perlu lebih tekun belajar tentang hal itu.

Mereka yang terbiasa melakukan playing victim, akan dengan mudah menuding orang lain melakukan hal yang sama dengan kebiasaannya.

Mereka yang suka berbuat onar dalam suatu lingkungan sosial, akan kerap menuding orang lain melakukan hal yang sama seperti dirinya.

Cermati baik-baik bagaimana sikap dan perilaku juru bicara dan juru debat dari dua kandidat pasangan Capres & Cawapres di berbagai acara televisi. Cermati juga pernyataan - pernyataan verbal menyatakan diri, "Saya Pancasila, Saya Indonesia." Lalu bandingkan, siapa sungguh yang Pancasilais dan sungguh menjaga Indonesia?

Masih segar dalam ingatan, segelintir orang yang hendak menjaga Indonesia teriak-teriak dan memaki Gubernur Anies Baswedan dalam aksi nirbudi di depan Balaikota jelang Reuni Akbar Mujahid-Mujahida 212. Lalu bandingkan, bagaimana Gubernur Anies dan seluruh peserta reuni itu yang menebar kedamaian dan sukacita.

Tim komunikasi Prabowo - Sandi, tentu telah mempertimbangkan dengan sangat masak untuk tidak menggunakan skenario playing victim. Karena skenario itu akan menjadi boomerang.

Dalam pembekalan kepada Relawan Prabowo Sandi, di Istora Senayan, yang sukses itu, yang mengemuka adalah menyatukan energi positif mereka menjadi gerakan menjemput kemenangan. Karena itu, secara serempak ikhtiar memenangkan Prabowo Sandi menyebar dan merayap di seluruh Indonesia.

Saya percaya Badan Pemenangan Prabowo Sandi tidak akan menggunakan teknik kampanye elementer yang hanya dipergunakan politisi 'tak bersabuk,' atau politisi 'masak peraman.'

Mengapa?

Tim Prabowo Sandi paham betul (tercermin dari juru debat dan juru bicara millenial yang cerdas dan tangkas), playing victim hanya merupakan cara klasik kampanye politik yang tak relevan di era konseptual seperti sekarang ini.

Bila skenario playing victim dipakai, mereka akan berkontribusi atas masalah dan tanggungjawabnya tak ringan dalam keseluruhan konteks konsolidasi demokrasi. Padahal, dari beragam hal yang mengemuka dalam pandangan sebagian besar juru bicara dan juru debat Prabowo-Sandi, mereka 'sebagai oposan' lebih fokus pada transformasi demokrasi.

Karenanya, ketika jurubicara dan jurudebat Jokowi - Ma'ruf sibuk berkisah tentang panjang ruas jalan tol dan sisikmelik infrastruktur yang dibangun Jokowi, dengan berbagai alasan, jurubicara dan jurudebat Prabowo-Sandi lebih fokus pada realitas sosio-ekonomi yang nyata di depan mata.

Tim dari Prabowo-Sandi tak mau terseret dalam jebakan fantasi yang ditebar lawannya. Mereka tak memilih menjadi martir atas situasi, karena yang mereka tawarkan adalah cara mengatasi keadaan, dan kiat apa yang mereka akan lakukan mengatasi keadaan. Tentu, mereka tak akan membuka sedikitpun strategi menguasai minda masyarakat.

Pasar menjadi tempat sosialisasi bagi Sandi adalah kewajaran, lantaran dia Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar. Dan jangan lupa, di pasarlah bertemu pedagang dengan konsumennya.

Di situ interaksi dan komunikasi sosial bertumbuh, membangun kooperasi antara kandidat calon pemimpin dengan rakyat, sebagai tuannya. Bukan petinggi bertemu dengan kawulanya.

Teknik playing victim tak relevan lagi dipakai, karena yang diperlukan bukan belas kasihan rakyat. Prabowo - Sandi paham betul, yang diperlukan ada resonansi kolektif melakukan perubahan bersama dilandasi simpati, empati, dan 'love.' Bukan membentang jarak dengan isu-isu cekak, seperti anti perda syariah, anti poligami, dan yang sejenisnya. Isu-isu yang mengekspresikan secara terang benderang betapa tipisnya pengetahuan dan pengalaman dalam praktik politik.

Skenario playing victim hanya akan dipakai oleh mereka yang merasa nyaman dalam political freezer, yang hanya akan membuat nalar - naluri dan perasaan membeku.

Akibatnya terjadilah ketidakmampuan untuk move on. Lantas berpolitik praktis hanya untuk memperjuangkan 'dendam san sakit hati,' karena kekalahan. Inilah yang membuat perjuangan mereka menjadi tertatih-tatih dan pilu dalam fantacy frame untuk berkuasa.

Lantas, mereka yang biasa melakukan peran playing victim, akan terjebak dalam kepandiran dan kebebalan kolektif berkepanjangan. Terutama, karena hanya mampu bersikap sarkastik kepada lawan, dan tak mampu bersikap tegas terhadap diri sendiri.

Pemeran playing victim dalam politik praktis, selalu dibekap oleh intuitive reason dalam mengambil keputusan, dengan bahasa seragam: serang, terjang, sergap. Salah satu senjatanya adalah hoax yang direkayasa sistemik, dan menuding begitu banyak orang menebar hoax. Termasuk secara sadar membolak-balikkan pengertian dan pemahaman asasi tentang nilai sosial, budaya, dan agama menjadi idiom-idiom politik yang buruk: radikalisme, anarkisme, fanatisme, intoleran, dan sejenisnya, yang sesungguhnya merupakan ekspresi dan refleksi perilakunya sendiri.

Semua itu terjadi, karena mereka tak mampu keluar dari jebakan fantasi dan sulit mendeskripsikan sosok dan jati diri mereka yang sebenarnya. Mereka tak berdaya menghadapi jebakan fantasi itu.

Hal lain? Mereka lebih suka menyatakan diri paling benar dan tak mempercayai orang lain. Dan, tentu, mereka tak cukup tahu kapan harus mengakhiri kebiasaan mereka menjadi kaum yang berteriak-teriak di media, menciptakan social noises, sehingga khalayak menerima arus besar dubiues information, tak sekadar distorsi komunikasi. Padahal, di dalam hati mereka sadar: "aku yang memulai, aku juga yang harus mengakhiri" permainan politik berpupur dan bergincu.

Siapa sih yang senang melakukan peran playing victim? Kata Maciel, mereka yang senang dan suka berdebat, tak pandai mendengar dan menyimak pendapat orang lain, sensitif dengan kritik substantif, sebagai ekspresi sikap melodius: kasihan pada diri sendiri. Pun, suka membanding-bandingkan orang lain dengan dirinya, selalu merasa 'kurang puas,' senang mendedas (menekan) lawan dalam berinteraksi personal dan sosial.

Mereka berpikir hanya dirinya dan golongannya yang paling sempurna, dan senang memotong peran orang lain dalam kehidupan mereka. Termasuk memotong pembicaraan lawan dalam berdebat.

Alhasil, dalam soal ini, saya percaya dengan Prabowo - Sandi dan relawannya.. |

Editor : Web Administrator
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 35
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 228
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 245
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 431
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 430
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 400
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya