Catatas MER-C atas Demonstrasi 21 - 23 Mei 2019

Warga Sipil Harus Dihormati dan Dilindungi

| dilihat 1075

MER-C, sebuah lembaga sosial kegawatdaruratan medis, kemanusiaan dan kebencanaan yang selama ini banyak berkiprah di dalam dan di luar negeri, khususnya di medan perang Palestina, mengecam keras tindakan represif pemerintah dan aparat dalam menangani aksi demonstrasi rakyat di Jakarta (21-23 Maret 2019).

Menurut MER-C tindakan represif pemerintah dan aparat dalam menangani demonstran tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dan Konvensi Internasional.

Dalam rilis yang dikeluarkannya saat konferensi pers di kantornya - Kramat Lontar, Jakarta, 25 Mei 2019, yang dihantar pendirinya, dr. Joserizal Jurnalis SpOT, MER-C menyatakan kecaman tersebut. Konferensi pers itu dilakukan untuk yang kesekian kalai dalam menanggapi insiden pasca pilpres.

Dr Joserizal Jurnalis SpOT menyatakan kesedihan mendalam atas terjadinya peristiwa berdarah yang terjadi dalam peristiwa unjukrasa, itu. “Rasa sedih masih bergelayut di wajah kita atas kekerasan yang terjadi pada tanggal 21-23 Mei 2019, terutama yang berlangsung pada waktu sahur.”

Ia menyatakan bahwa tindakan aparat yang menyebabkan korban meninggal dalam unjukrasa tersebut merupakan kejahatan kemanusiaan.

"Dalam peristiwa perang sekalipun, warga sipil harus dihormati, walau dia terlibat dalam proses evakuasi korban, apalagi hanya di dalam demonstrasi," tegas Joserizal. Khasnya,  anak kecil, wanita, tokoh agama harus dihormati dan dilindungi, sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Jenewa.

“Konvensi Jenewa juga mengatur perlindungan dalam peperangan, misalnya ambulance, petugas medis, tidak boleh diserang,” ungkapnya, seraya menambahkan, "dalam tragedi aksi demonstrasi kemarin, ada beberapa petugas medis dan ambulance yang (juga) diserang secara brutal oleh pihak aparat.

“Kemarin, sesuai dengan laporan video, foto-foto dari staf medis dan relawan MER-C di lapangan, bisa dilihat bahwa tidak berimbang alat, misalnya, batu, yang dibawa oleh demonstran  dengan senjata api yang digunakan aparat,” ujar Joserizal.

Kejadian kemarin, ternyata juga menunjukkan bukti bahwa pihak aparat menggunakan senjata tajam, ungkap Joserizal, sambil menunjukkan bukti berupa timbal hitam yang sepertinya mengenai tulang korban, peluru karet dan peluru tajam.

Joserizal dan MER-C yang memelopori pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Palestina, itu juga menyayangkan penyerangan terhadap jurnalis dalam peristiwa kemarin, karena, menurut dokter yang berpengalaman menjadi dokter di perang Irak dan Afghanistan, menyerang jurnalis di medan perang saja merupakan kejahatan, apalagi hanya untuk skala yang lebih rendah seperti demonstrasi.

Joserizal menyatakan, tim MER-C akan akan berdiskusi dengan tim hukumnya untuk melapor tindak kriminal ini ke institusi di luar Indonesia. ”Karena MER-C adalah NGO (non government organization) yang bersifat universal, maka kami akan menempuh jalur ICC atau ICJ,” ungkapnya.

Joserizal menggarisbawahi, masalah kemanusiaan harus dihargai, dan ia melihat, nilai kemanusiaan tidak dihormati pada peristiwa yang terjadi antara 21-23 Mei 2019, itu.

Saat demonstrasi berlangsung, MER-C menurunkan Tim Relawan Medis-nya sejak tanggal 21 – dini hari 23 Mei 2019, berjumlah 30 orang, terdiri dari dokter, perawat dan logistik medis serta 4 unit kendaraan operasional yang disiagakan untuk turut memberikan bantuan medis bagi para korban baik dari pihak masyarakat maupun aparat.

Siksaan

Dari sisi medis dan kemanusiaan, menurut MER-C, peristiwa tanggal 21 sampai 23 Subuh - Mei 2019 telah meninggalkan luka yang dalam bagi rakyat Indonesia, terutama bagi (mereka) yang sangat menghargai nyawa manusia lepas dari persoalan politik, latar belakang etnis, dan lain-lain.

Korban tewas berjatuhan, begitupun yang trauma ringan sampai berat.

Harga dari penyelenggaraan Pemilu kali ini teramat mahal, belum usai dan terungkap masalah tewasnya lebih dari 600 petugas KPPS dan ribuan lainnya yang mengalami sakit, kini rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan bangsa kembali harus berduka dengan bergugurannya anak-anak bangsa yang ingin menyuarakan aspirasinya.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta merilis bahwa jumlah korban meninggal dalam kerusuhan aksi massa 21 – 22 Mei 2019 lalu mencapai 8 orang dan sebanyak 737 orang mengalami luka-luka (data per Kamis - 23 Mei 2019, pukul 11.00). Dengan perincian, sebanyak 93 orang mengalami luka non trauma dan 79 orang luka berat. Kemudian, 462 orang mengalami luka ringan dan 95 orang masih dalam pemeriksaan dan belum teridentifikasi luka yang dialami.

Dilihat dari usia, para korban kebanyakan berusia muda, yaitu 20 hingga 29 tahun sebanyak 294 orang dan berusia di bawah 19 tahun mencapai 170 orang.

Dari Sisi Medis dan Kemanusiaan, MER-C mencatat dari penanganan peristiwa demonstrasi 21-23 Mei 2019, itu demonstran diperlakukan dengan siksaan dan senjata api. Antara lain dalam bentuk : menembak seorang anak, aparat masuk ke dalam masjid mengejar demonstran, menembak jarak dekat, orang sudah jatuh masih ditembak, tidak memakai water canon, tapi langsung menggunakan gas airmata, peluru karet dan senjata tajam

Tentang relawan media, MER-C mencatat, dalam Konvensi Jenewa, petugas medis adalah pihak yang harus dilindungi keberadaannya dalam situasi perang dan konflik. Aparat juga seharusnya menjadi pelindung ketika petugas medis tengah menunaikan tugasnya.

Konvensi Jenewa I Pasal 24 Konvensi Jenewa I 1949 menyatakan: personel medis yang secara eksklusif terlibat dalam pencarian, pengumpulan, pengangkutan atau perawatan orang yang terluka atau sakit, atau dalam pencegahan penyakit,  serta staf yang secara eksklusif terlibat dalam administrasi unit medis dan perusahaan, harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan.

Konvensi Jenewa I Pasal 25 Konvensi Jenewa I 1949 menyatakan: "Anggota angkatan bersenjata yang dilatih secara khusus untuk pekerjaan, jika perlu muncul, ketika petugas rumah sakit, perawat atau pengangkut tandu tambahan, dalam pencarian atau pengumpulan, pengangkutan atau perawatan orang yang terluka dan sakit juga harus dihormati dan dilindungi jika mereka sedang melakukan tugas-tugas ini pada saat mereka melakukan kontak dengan musuh atau jatuh ke tangannya."

Konvensi Jenewa IV Pasal 20, paragraf pertama, Konvensi Jenewa IV 1949 menyatakan: "Orang-orang yang secara teratur dan semata-mata terlibat dalam operasi dan administrasi rumah sakit sipil, termasuk personel yang terlibat dalam pencarian, pemindahan dan pengangkutan dan perawatan warga sipil yang terluka dan sakit, kasus yang lemah dan bersalin, harus dihormati dan dilindungi."

Menurut MER-C, terdapat pula Protokol Tambahan I. Pasal 15 (1) dari Protokol Tambahan I - 1977 menegaskan, “Tenaga medis sipil harus dihormati dan dilindungi.”

Terkait dengan Artikel 15 - Perlindungan tenaga medis dan keagamaan sipil, ditegaskan, bahwa tenaga medis sipil harus dihormati dan dilindungi; Jika diperlukan, semua bantuan yang tersedia harus diberikan kepada saluran medis sipil di daerah dimana layanan medis sipil terganggu oleh alasan aktivitas pertempuran.

Tentang Ambulance, MER-C mencatat penyerangan ambulans dan tindakan represif aparat kepada petugas ambulans. Semua peristiwa ini akan menjadi jejak sejarah yang sulit bagi bangsa ini untuk melupakan dan menghilangkannya, akan selalu tercatat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tentu sangat penting mengambil pelajaran agar kejadian ini tidak terulang dan terulang lagi.

Mulailah dengan sikap-sikap persuasif dan bijak serta penghormatan terhadap korban yang tewas dan cedera.

MER-C berkomitmen akan terus mengevaluasi dan mengindentifikasi masalah-masalah terkait kemanusiaan selama berlangsungnya Pemilu 2019. Hal ini dalam rangka menghargai dan menghormati sebuah nyawa. | delanova

Editor : Web Administrator | Sumber : MER-C
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 87
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 240
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 271
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya
Energi & Tambang