Pemicu Demo PB POGI: Terpidana Malpraktik Ditangkap dengan 7 Senpi Laras Panjang

| dilihat 2014

JAKARTA, AKARPADINEWS.com- Salah satu dokter yang divonis melakukan malpraktik, dr Hendri S, SpOG, ditangkap mengunakan tujuh senjata api laras panjang dan diperlakukan kasar oleh kejaksaan dibantu kepolisian di Medan, Sabtu, 23 November lalu.  Pengurus Besar Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (PB POGI) mengecam proses penangkapan yang dianggap tidak manusiawi dan tidak profesional. Pun, aksi demo solidaritas dokter kandungan se-Indonesia dilakukan pada Rabu (27/11/2013) pagi.

Dalam siaran press  Selasa 26/11/2013 ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris  PB POGI, masing-masing dr. Nurdadi Saleh, Sp.OG – dr. Ari K. Juniarto, Sp.OG, PB POGI mengecam tindakan sangat tidak manusiawi dan tidak profesional atas tiga hal yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan ketika proses penangkapan. Menurut PB POGI,  Dr Hendri sangat koperatif dan tidak pernah berniat melarikan diri karena yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan surat pemanggilan langsung dari kejaksaan kepada dirinya, padahal alamat tempat tugasnya sangat jelas.

Selain itu, tangan dr Hendri diseret dan selalu diborgol selama perjalanan, bahkan di ruang tahanan, di airport, di dalam pesawat. Ini jelas melanggar hak asasi manusia. Kecaman POGI lainnya, dr Hendri diperlakukan seperti pencuri dan pemerkosa, ini menunjukkan kinerja kepolisian dan kejaksaan yang tidak profesional.

Dalam pemberitaan Akarpadinews.com ( Teman Divonis, Anggota POGI Tak Praktik Sehari), penangkapan terpidana dr Hendri S, SpOG karena atas putusan vonis  10 bulan penjara oleh Mahkamah Agung.  Vonis hukuman terhadap  ketiga dokter ahli kandungan dan kebidanan , dr Hendri S, SpOG  bersama dua rekannya dr. Dewa Ayu Sasiary, Sp.OG., dan dr. Hendry Simanjuntak, Sp.OG., itu, terkait dengan kasus meninggalnya pasien obstetri dan ginekologi, Julia Siska Makatey (25). Ketiganya dituduh telah melakukan malpraktik di  RS Malalayang Manado pada 10 April 2010, sehingga pasien meninggal dunia. Hukuman itu diputuskan pada sidang kasasi Hakim Mahkamah Agung, masing-masing Dr. Artidjo Alkotsar, SH, LLM., Sofyan Sitompul, SH, MH., DR. DRS. H. Dudu Machmudin SH, Mhum. Para hakim memandang, ketiga dokter yang menjadi terdakwa itu, dinyatakan bersalah karena kealpaan mereka menyebabkan kematian orang lain.

 

Ditangkap di Medan

Sementara, penangkapan terhadap terpidana dr Hendri S, terjadi di rumah kakek terpidana di sebuah desa di Kabupaten Siiborong-borong, Medan.  Meskipun, peristiwa malpraktik terjadi di Manado. Ketika ditangkap, terpidana berada di dapur dan pihak kejagung yang dibantu kepolisian mengunakan senjata lengkap (senapan laras panjang) menciduk terpidana, dengan menyeret dan menarik secara kasar. Ketika itu, sang kakek telah memohon pada aparat jangan melakukan tindakan kekerasan. Usai diseret dengan kasar, aparat membacakan surat eksekusi dihadapan terpidana. Yang bersangkutan meminta izin menelepon pengacara dan keluarga, namun tak diizinkan. Kemudian dua tangannya diborgol hingga di ruang tahanan di Kejari Medan. Terpidana protes, pemborgolan di tahanan adalah melanggar HAM. Borgol dilepas dan dr Hendri akhirnya diizinkan menelepon istrinya untuk memberitahukan keberadaannya.

Sesampai di Manado, Kajari Manado menanyakan kenapa melarikan diri, terpidana berdalih ia tidak pernah mendapat pemanggilan langsung dari kejaksaan.  Padahal alamat tugasnya jelas di RSUD Manado. Keberadaan terpidana di Siborong-borong Medan, diakui dr Hendri karena sedang ziarah ke makam nenek. Dalam siaran press dikatakan, pihak Kajari sudah mengetahui posisi terpidana sejak jauh hari , bahkan terpidana juga bertanya-tanya kenapa ia tak ditangkap ketika berada di RSCM selama satu bulan ketika merawat ibunya yang sedang menderita kanker dan dalam kondisi kritis.

Aksi Solidaritas

Atas putusan kasasi MA,  pada Rabu pagi (27/11/2013), anggota POGI tidak praktik sehari, kecuali terhadap pasien emergensi, dan seluruh dokter kandungan se-Indonesia melakukan demo sebagai aksi solidaritas keprihatinan bagi rekan mereka di kota masing-masing. Di Jakarta aksi demo dimulai dari jalan Proklamasi menuju di bundaran HI. Aksi itu sempat menimbulkan kemacetan.

Alasan para dokter kandungan se-Indonesia bersepakat untuk tidak melakukan praktik, menurut Ketua dan Sekretaris POGI, itu karena mengerti dan menyadari, penyebab kematian pada pasien adalah emboli udara yang fatal. “Tidak dapat dicegah dan tidak dapat diprediksi,” ungkap mereka.

Pengurus Besar POGI, itu juga menyatakan, mereka sadar, aksi yang dilakukannya tidak akan membuat masyarakat nyaman. “Oleh karena itu, kami mohon maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat dan mohon pengertian.”

Pernyataan penyebab kematian dari POGI itu berbeda dengan pandangan majelis hakim yang menilai, kejadian pada 10 April 2010 sekitar pukul 22.00 di ruang operasi RSUP Kandou – Manado, itu disebabkan oleh tindakan operasi cito secsio sesaria terhadap korban. Namun, sebelum melakukan tindakan operasi, para dokter terdakwa itu tidak memberitahu pihak keluarga tentang kemungkinan yang akan terjadi dan dialami pasien. Termasuk kemungkinan terburuk yang berakibat kematian.

 

Emboli Air Ketuban

Emboli Air Ketuban (EAK), adalah masuknya cairan ketuban beserta komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu. Saat persalinan, selaput ketuban pecah dan pembuluh darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain karena rasa mulas yang luar biasa, air ketuban beserta komponennya berkemungkinan masuk ke dalam sirkulasi darah. Selanjutnya, air ketuban dapat menyumbat pembuluh darah di paru-paru. Sumbatan itu  bisa meluas dan menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-paru. Proses EAK bisa berlangsung cepat dan tiba-tiba. Tak heran kalau dalam waktu sekitar sejam sesudah melahirkan, nyawa ibu yang mengalami EAK tak lagi bisa tertolong. Angka kematian ibu bersalin dengan kasus EAK masih cukup tinggi, sekitar 86  persen.

Sedangkan,  emboli udara memiliki ciri khas yang sama, yaitu, masuknya gelembung udara ke pembuluh darah. Pasokan oksigen ke seluruh tubuh pun terhambat. Jika gelembung udaranya sampai ke jantung dan paru-paru, akibatnya bisa fatal. Namun, bila gelembung udaranya hanya masuk di otak, yang terjadi adalah kejang-kejang.

Jadi, kematian ketika persalinan masih tinggi terjadi di Indonesia karena itu dibutuhkan fisik yang prima bagi ibu hamil dan dianjurkan selalu menjaga kesehatan, dengan  menjaga kebersihan dan  asupan gizi yang cukup, serta selalu mengontrol kesehatan ketika hamil. Dan tentunya, penanganan pasien oleh tim medis harus dilakukan secara profesional dengan peralatan yang cukup memadai. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir angka kematian. Jika semua prosedur telah dilakukan secara benar maka serahkan semua pada yang Kuasa untuk hasil akhirnya.

Editor : Nur Baety Rofiq
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 100
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 517
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 445
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya