Era Buruh Murah Telah Usai

| dilihat 2099

SUDAH tiga hari berturut-turut ribuan buruh berdemonstrasi di Jakarta dan berbagai kota lainnya. Produktivitas menurun, kehidupan sosial menjadi tidak efisien, dan melelahkan akibat situasi sosial understressed. Penyebabnya: silang sengkarut hubungan industrial buruh – pengusaha yang kian paradoksal.

Suasana ini, tentu disukai oleh mass media yang gemar ‘mengeksploitasi’ kegaduhan sebagai berita utama, sesuai arus hegemoni pemberitaan yang dipikulnya. Kian sering suasana semacam ini terjadi, kian mudah dan ringan mereka menggelontorkan opini, menyudutkan pemerintah. Maklum, politik pemberitaannya: pemerintah harus selalu dipandang salah dan diposisikan pada tempat yang salah.

Boleh jadi, buruh juga senang dengan aksi unjuk rasa semacam ini. Bisa mengekspresikan kesumpekan hidup dan menumpahkan naluri dasar manusia yang suka memaki dan berteriak-teriak. Termasuk mendapat seragam, nasi bungkus makan siang, dan menikmati nyamannya bis wisata yang sengaja disewa.

Sejumlah kalangan pengusaha, meskipun sering mengeluhkan aksi semacam ini, boleh jadi juga senang. Mereka bisa memandang aksi buruh ini dari dua sisi mata uang yang tak sama: membiarkan buruh menekan pemerintah, dan bisa memperoleh bargaining tentang banyak hal di sisi lain bisnisnya. Tak mustahil, ada juga kepentingan asing yang bermain, supaya investor buru-buru hengkang ke negeri mereka. Toh, nanti, buruhnya bisa diimpor dari Indonesia.

Itu sebabnya banyak kalangan pengusaha nasional berjiwa nasionalis yang tak tertarik dengan situasi ini. Apalagi, mereka mendapat informasi, ada sejumlah aksi buruh yang sudah keluar konteks. Misalnya melakukan sweeping ke pabrik-pabrik, dan menahan kiriman ransum untuk buruh yang ogah ikut demo dan memilih kerja. Persis seperti yang dialami sejumlah pabrik di bilangan kawasan industri karawang.

Dalam situasi demikian, buruh yang sungguh buruh, dan sungguh memerlukan kenaikan UMP sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi korban. Mereka tak ingin hal semacam ini terjadi berlama-lama dan berulang-ulang. Selain melelahkan dan bikin boring kehidupan. Juga, bukan situasi semacam ini yang mereka kehendaki.

Siapa saja yang berakal sehat, cerdas, bijak dan tidak suka dengan akal-akalan politik, akan menempuh solusi terbaik. Duduk musyawarah dengan pengusaha untuk memperoleh titik temu yang saling memberi manfaat bagi keduanya.

Bisnis lancar, perusahaan maju, buruh sejahtera, ekonomi kuat. Titik temu, itu antara lain, mewujud dalam bentuk UMP sesuai KHL, produktivitas meningkat, kualitas produk unggul dan kompetitif, serta kreativitas dan inovasi terus berkembang.

Mungkin benar, era buruh murah sudah berakhir, sudah menjadi masa lalu, seperti dikemukakan Ketua KEN (Komite Ekonomi Nasional) Chairul Tanjung, beberapa waktu berselang. Karenanya, tepat yang dikemukakan Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar, kompetensi tenaga kerja, keterampilan kerja buruh juga harus ditingkatkan. Inilah tugas utama serikat pekerja, untuk mendorong peningkatan kesejahteraan buruh.

Bagi pengusaha, kenaikan gaji buruh merupakan persoalan tersendiri: menambah berat beban belanja, sehingga arus fulus (cashflow) susah dicak (diproyeksi) !. Apalagi, komponen buruh merupakan overhead cost dan tak bisa dimasukkan sebagai bagian dari production cost. Inilah yang membuat pengusaha tak mau begitu saja menerima UMP yang ditetap oleh dewan pengupahan. Kalau perlu, ngotot menentangnya !

Pengusaha-pengusaha ‘cengeng’ menghadapi realitas ini tentu memilih jalan mudah: mengurangi jumlah pekerja, karena UMP terlalu berat. Sejumlah pengusaha asing, lebih sederhana lagi bersikap: hengkang ke negeri lain, yang tak banyak terganggu oleh aksi-aksi buruh.| Bang Sem

 

 

Editor : administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Energi & Tambang