Gloria Academica

| dilihat 639

Bang Sém

Dua tahun terakhir, setiap hari, saya berkomunikasi dan berdiskusi dengan seorang kreator, seniman, budayawan, sekaligus pendidik yang tak pernah lelah berproses dan berinovasi untuk melahirkan karya-karya kreatif penciptaan karya seni dan pemikiran  budaya.

Berbagai karya inventif dilahirkannya, meski tak semua disajikan dalam ruang (media) presentasi, karena keterbatasan keadaan pandemi nanomonster Covid 19.

Selain sebagai penulis produktif, ia adalah pendidik yang selalu gelisah acapkali melihat dinamika dunia akademik, yang mengalami proses jalan menurun dan akan berdampak pada kualitas kaum terdidik.

Jalan menurun itu, antara lain, dimulai dari berkurangnya kesadaran dan tanggung jawab pensyarah menyiapkan diri dalam proses pengajaran. Apalagi kini, ketika istilah 'kampus merdeka' hanya berhenti sebagai sesanti. Pun, demikian halnya ketika tri dharma pergurun tinggi lebih dipahami dan dipraktikan secara formal, bahkan artifisial, mengikuti segala yang tersurat dalam peraturan formal akademik.

Akibatnya, praktik tri dharma tersebut mengalami degradasi dan menjadi kering. Khasnya, ketika dihadapkan oleh berbagai arus yang tak bertemu di satu titik,' seliweran,' 'pasalingsingan,' karena berbagai faktor yang mempengaruhi. Termasuk menipisnya dimensi keilmuan, kebangsaan, profesionalitas, dan kesejawatan.

Tak hanya di lingkungan institusi pendidikan tempatnya mengemban amanah sebagai guru besar. Bahkan di lingkungan institusi pendidikan lain, yang kerap melibatkannya menguji mahasiswa dalam strata akademik doktoral.

Berkali-kali, pada malam hari, melakukan diskusi maraton tentang tentang gloria academica, dihadapkan oleh realitas sosial di tengah arus perubahan yang sedang menghadapkan dunia pada ketidakpastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan. Pun pada ambivalensianisma ramai manusia yang berkutat pada atribusi dan cangkang, kehidupan sosial realitas pertama yang riuh, lalu terekspresi dalam realitas kedua melalui media yang gaduh.

Pada kesempatan beberapa hari menemaninya melakukan riset lapangan, kami diskusi -- kadang berdebat -- tak hanya ihwal metodologi, subyek dan obyek penelitian. Lebih jauh dari itu, juga soal kesadaran asasi tentang tanggungjawab keilmuan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan akademisi.

Sejak memilih dunia pendidikan seni dan budaya sebagai medan pengabdian utamanya, tanpa harus kehilangan ruang ekspresi, presentasi dan eksibisi karya-karya kreatifnya, idealistic frame yang dibangunnya adalah memanifestasikan prinsip pendidikan nasional yang ditawarkan Ki Hadjar Dewantara: hing ngarsa sung tulada, hing madya mangunkarsa, tutwuri handayani yang bisa beradaptasi dan kompatibel dengan prinsip-prinsip pengajaran dan pendidikan kontemporer. Bahkan, kompatibel dengan tantangan yang terus berkembang, dalam konteks menjaga keseimbangan antara kecerdasan dengan kearifan dalam satu tarikan nafas kecerdasan budaya.

Kami sependapat untuk sama meyakini, bahwa dunia akademis adalah dunia yang menggunakan instrumen didaktis dan paedagogis untuk mencapoai tujuan awal pendidikan, yakni terselenggaranya pencarian, pengajaran, dan pengujian kebenaran.

Tujuan awal ini, akan berubah menjadi visi dalam keseluruhan konteks tujuan akhir pendidikan, yakni terwujudnya insan cendekia kreatif, inovatif, profesional, bertanggungjawab, berkualitas akalbudi, dalam menyediakan modal insan terbaik bagi kehidupan masyarakat negara bangsa yang berdaulat, mandiri dan berperadaban unggul.

Dunia akademik, kami pahami sebagai dunia dinamis dengan atmosfir keilmuan, keadaban, dan kebangsaan yang senantiasa tak berjarak dengan realitas pertama masyarakatnya. Sekaligus menjadi penggerak utama dalam proses transformasi menjemput peradaban baru. Karenanya, dunia akademik adalah dunia yang produktif dalam memproduksi berbagai gagasan dan pemikiran (ideologis dan pragmatis) yang terkoneksi dengan perancangan peradaban baru, sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi.

Maknanya, dunia akademik, adalah dunia yang di dalamnya atmosfer budaya (seni, ilmu pengetahuan, kosmologi, ekologi, teknologi) memungkinkan berlangsungnya proses kemanusiaan dan keadilan dalam membentuk manusia yang mampu mengendalikan -- sekaligus memanusiawikan -- ideologi, politik, sosial, ekonomi dan berbagai variannya.

Dunia akademik, mesti memainkan peran strategis sebagai dapur pemikiran dalam mewujudkan ekosistem bangsa yang termaju dan terdepan di di antara bangsa-bangsa lain di jagad raya.

Setarikan nafas, dunia akademik, juga mesti memainkan peran dalam menyiapkan ekosistem kemasyarakatan dan kebangsaan yang mampu berinteraksi tangkas merespon perkembangan peradaban konseptual, pasca peradaban post industrial dan post modernisme.

Dalam konteks budaya, misalnya, dunia akademik mesti menyediakan manusia sebagai katalisator perubahan peradaban yang menempatkan sains, seni, teknologi yang tidak bertentangan dengan kematangan spiritual dan religi. Paling tidak, dapat menjadi penahan berlangsung proses dekadensi budaya.

Di sini, seluruh anasir dunia akademik 'sama belajar' secara demokratis untuk menempatkan dimensi keilmuan dan dimensi kehidupan (realitas pertama) dalam kesetaraan. Untuk itulah penelitian, karya keilmuan - termasuk produk literasi tekstual, menjadi jendela visioneering.

Maknanya adalah, academic mundus - dengan segala atsmofer pendidikannya, memainkan peran melakukan pencegahan terjadinya proses perubahan katastropis yang menuju pada jalan buntu.

Merujuk pada pandangan ini, kami sepakat untuk memandang dunia akademik dengan masing-masing perspektif, bahwa tri dharma perguruan tinggi, mesti dimaknai sebagai aksi akademik yang merdeka dalam memainkan peran sebagai penggerak kolaborasi dan partisipasi kritis.

Peran yang memungkinkan penyelenggara negara - pemerintah - dan masyarakat sama tercerahkan, sehingga konsisten dalam menciptakan kondisi terbaik bagi berkembangnya produk-produk pemikiran yang menjadi solusi dalam menjawab masalah. Sekaligus menjawab tantangan, menemukan dan mengelola peluang-peluang, mengenali kelemahan - kelemahan, sehingga mampu merumuskan formula baru sebagai kekuatan bangsa menjemput zaman baru.

Gloria academica, kemuliaan akademik, tidak akan mewujud hanya oleh atribut-atribut artifisial dan cangkang estruskan (terutama jabatan akademik). Karena kemuliaan itu terletak dalam kualitas akademik yang ditampakkan oleh kualitas keilmuan dan efektivas kemanfaatan ilmunya dalam realitas pertama kehidupan.

Kualitas keilmuan, menjadi penting, tidak hanya karena memberi ruang pewarisan dan pelestarian ilmu - dayacipta sebagai warisan berharga, yang telah diperoleh melalui proses kerja kreatif akademik abad-abad sebelumnya. Termasuk rangkaian panjang gagasan-gagasan yang diperoleh oleh pikiran manusia dengan upaya begitu banyak jenius yang luar biasa, penerapan begitu banyak bakat unggul dengan berbagai karya abadi.

Selain itu, kualitas keilmuan dan karya akademik, juga terus menerus melahirkan gagasan - pemikiran baru yang menandai perkembangan dan pencapaian zaman dengan beragam performa peradabannya. Sesuatu yang menjamin terjadinya proses lanjut kehidupan secara berkelanjutan, lalu menjadi sejarah, teori keilmuan, dan jejak panjang dunia akademik, tanpa harus bergantung pada glorifikasi akademik.

Gloria Academica terletak pada mengalirnya akhlak dan keteladanan para pendidik, yang bagai air mengalir dari mata air kehidupan, akan mempengaruhi watak generasi penerusya. Cacat akhlak di suatu masa, tak kan pernah terhapus di sampai tiba akhir masa. Termasuk, dalam hal bagaimana pendidik  'membuka pintu ke seluruh dunia kemungkinan' dan memberi jalan yang wajar dan benar bagi pelanjutnya.

Gloria academica tidak berangkat dari gagasan rumit tentang tanggungjawab yang melekat dalam pengertian kehormatan dan kemuliaan. Kemuliaan akademisi, ditenun oleh suatu kesadaran sebagai pendidik, yang mesti memiliki kecerdasan budaya yang matang. Ditandai oleh kualitas kecendekiaan, kreativitas, inovasi dan invensinya, berbasis ilmu, responsibilitas kependidikan, dan integritas diri sebagai manusia yang berkeseimbangan secara intelektual, emosional, spiritual, dan kultural.

Dalam konteks itu, agaknya, pedoman perilaku -- mulai dari code of conduct -- akademisi menjadi penting !

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 244
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 422
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 317
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 272
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya