Mentimun Bungkuk atawa Ketimun Bongkeng

| dilihat 886

Bang Sém

"Jangan pernah menjadi Mentimun Bungkuk!" Ini pesan allahyarham ayah dan ibu yang selalu saya ingat.  

Mentimun Bungkuk atau Ketimun Bongkeng dalam istilah Betawi adalah simbol keberadaan atau eksistensi manusia yang sangat buruk.

Adanya tak menggenapkan, tiadanya tak mengganjilkan. Selalu terbawa ke mana saja, tapi tak pernah masuk dalam bilangan, ketika orang menghitung.

Tak ada tempat yang baik baginya, kecuali bermuara di tong sampah, dan dilemparkan begitu saja di Tempat Pembuangan Sampah Akhir, sampai membusuk.

Di dalam perhelatan besar organisasi sosial kemasyarakatan atau partai politik, Mentimun Bungkuk lebih sering menjadi penggembira. Dalam perhelatan politik lainnya, seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Umum atau Pemilihan Presiden (Pilpres), hanya menjadi bagian dari massa. Diperlukan untuk kepentingan 'hura-hura.' Setelahnya, jangankan diperhitungkan, ditoleh pun tidak.

Salah satu penyebab seseorang menjadi Mentimun Bungkuk adalah ketidak-berdayaannya menghadapi realitas kehidupan dari masa ke masa.

Terjebak dalam kemiskinan persisten, kemiskinan kultural, kemiskinan struktural, dan kepandiran, akibat akal sehat dan nurani jernihnya terampas oleh hasrat dan syahwat memburu formalisme dan gemerlap duniawi.

Akibatnya, eksistensinya di tengah dinamika perubahan sosial, hanya menjadi bagian dari buih di punggung gelombang samudera.

Mereka dihempas dan terempas ke pantai, tertinggal di hamparan pasir atau celah karang.

Di Indonesia adalah negara-negara sekawasan, mereka yang tertakdir menjadi Mentimun Bungkuk sangat bersukacita kala beroleh selembar kaos berlambang ormas, parpol atau potret idolanya. Plus, sekali-sekala nampak juga dalam potret, ada di dekat tokoh idola atau petinggi ormas / parpol.

Dalam sistem relasi korelasi sosial yang terikat oleh patron client relationship atau traditional authority relationship, keberadaannya hanya menjadi client. Sumberdaya yang tak pernah dihenti dieksploitasi oleh patron, yangt memiliki kekuasaan (sosial, politik, dan ekonomi).

Manusia dalam kualifikasi Mentimun Bungkuk, keluar dari lini kodrati eksistensi dirinya sebagai ahsanit taqwim, sebaik-baik makhluk yang harus bergerak menjadi manusia utama yang paripurna - insan kamil. Manusia bernilai yang mempunyai keseimbangan jiwa dan raga, spiritual dan material dengan nilai-nilai hidup yang dihasilkan oleh kemauan dan kemampuannya mengelola nalar, naluri, rasa, dan dria secara berkeseimbangan.

Tanpa dimensi nilai semacam itu, manusia hanya akan menjadi hayawan an nathiiq - hewan yang berakal dan terombang-ambing di tengah pluralitas dan keragaman budayanya.

Bersujud Hanya kepada Allah

Islam menempatkan manusia yang jelas eksistensinya, yang menghubungkan dirinya dengan sesamanya dan Allah Mahapencipta.

Guy Monot, seorang orientalis, guru besar di École Pratique des Hautes Études, Perancis, mengungkapkan, al Qur'an yang isinya sangat kaya dan kompleks komposisinya menegaskan manusia dan dimensi kemanusiaannya dengan keragaman kondisi manusia. Pun perkembangan di dalam dirinya sebagai makhluk dengan kualifikasi terbaik dan konkret.

Rasulullah Muhammad SAW dengan panduan al Qur'an memperkenalkan dan memandu manusia untuk mengenali dan memahami hakekat kemanusiaan yang sangat universal. Manusia yang merupakan aktor utama dalam menyempurnakan prinsip-prinsip regulasi dan penegakan hukum, menjadi keadilan.

Manusia mengemban amanah, misi suci menyempurnakan artistika dan estetika menjadi culture (budaya) sebagai penggerak utama peradaban. Manusia dalam perspektif Islam tak hanya diberikan kebebasan dasar untuk menempa dirinya sebagai insan dengan kemerdekaan sejati, yang melekatkan tanggungjawab di dalam kebebasan yang diberikan kepadanya. Namun, manusia sendiri yang merendahkan dirinya, menjadi hanya hewan yang berakal.

Kerendahan manusia itulah yang menyebabkan mereka terjebak sebagai homo economicushomo faber, dan homo socius, yang gemar mencapai eksistensi dirinya dengan menjadi srigala atas kaumnya: homo homini lupus.

Islam membuka cakrawala sangat luas dan memberi nilai eksistensial manusia, baik secara filosofis maupun metafisik, bukan sebagaimana yang dimaksudkan dalam frasa Latin, itu ( manusia adalah srigala atas manusia lainnya). Melainkan sebagai para pemimpin, leaders, representasi Tuhan di atas mukabumi (khalifatullah fil ardh).

Karenanya, manusia -- sebagaimana halnya makhluk lain, khasnya, jin --diciptakan untuk berdedikasi kepada Allah, Pencipta dan Pemelihara kehidupannya. Bersujud hanya kepada Allah semata.

Hanya Allah saja yang boleh menjadi Penguasa dan Pengendali manusia, meskipun iblis beroleh hak interpelasi untuk mempertanyakan (sekaligus) membanggakan atas kebijakan utama (grand policy) Allah atas semesta. Karena itu terlalu banyak manusia yang tak jernih tauhid, ilmu pengetahuan dan cara hidupnya, lantas menjadi 'hamba iblis.'

Manusia dengan kualifikasi eksistensial laksana Mentimun Bungkuk, mudah menjadi 'hamba iblis,' sebagaimana mereka menjadi hamba atas syahwatnya sendiri. Bermain-main dengan kekuasaan dan terjebak dalam kubangan fantasi kekuasaan, sebagaimana Fir'aun (Ramses II) mengklaim dirinya sebagai tuhan.

Karena hidup adalah pilihan di antara kepatuhan atau keta'atan kepada Allah Penguasa semesta raya dan pembangkangan atas-Nya, maka seburuk-buruk pilihan adalah meninggalkan hakekat eksistensi berkualitas sebagai manusia dengan menjadi Mentimun Bungkuk. Ada dan tiadanya tidak penting dalam kehidupan insaniahnya.

Mau, jadi Mentimun Bungkuk? Jadilah hamba iblis atau hamba syahwat kekuasaan!  |

Editor : Web Administrator
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 204
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 378
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 224
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1158
Rumput Tetangga
Selanjutnya