Persahabatan

| dilihat 654

bang sem

Sabtu malam, 12 Desember 2020 dingin merasuk. Lepas diskusi daring dengan beberapa kolega, sebelum tidur, saya sempatkan membaca Voul Hafez, salah satu karya pujangga sufi Iran, Samsud-Din Muhammad Hafez-e Dirazi, yang karya - karya puisinya dikagumi oleh banyak pujangga besar dunia.

Goethe, pujangga Jerman, menyebut karya Hafez tiada bandingan. Puisi-puisi Hafez, menurut Goethe, terukir dalam kebenaran nyata dan abadi.

Makam Hafez di Shiraz, selalu ramai dikunjungi peziarah dari berbagai belahan dunia. Di sekeliling pusaranya, para peziarah menulis dan membacakan puisi-puisi mereka. Termasuk puisi-puisi cinta platonis.

Masyarakat Iran memang karib dengan puisi. Setiap keluarga mempunyai tradisi membacakan puisi-puisi pada momen tertentu dalam pertemuan keluarga.

Sekali sebulan, para perempuan, berkumpul dalam acara keluarga dan membacakan puisi atau syair-syiar hikmah.

Sabtu malam itu, saya tertegun ketika sampai pada nasihat kehidupan Hafez nomor 117, ketika saya merenungkan apa yang saya alami selama enam tahun terakhir. Terutama ihwal persahabatan.

Nasihat itu berbunyi seperti ini:

Allah akan menjaga dan melindungi orang-orang setia, selama masih memegang janjinya.

Jika ingin mereka tidak mengingkari janjinya, maka kita juga harus teguh memegang janji.

 "Jangan  mengungkapkan rahasia Anda kepada seseorang, kecuali kepada seorang sahabat yang terpercaya."

Hendaknya, Anda bersikap setiap kepada sahabat-sahabat yang setia dan menjaga rahasia. Karena sahabat setia laksana berlian yang jarang ditemukan.

Saya tersenyum sambil bersyukur. Saya memiliki sejumlah sahabat, yang sangat membantu saya  menjalani hidup secara qana'ah, sabar. Jauh dari dendam, sakit hati, hasad-hasud, iri-dengki, dan sejenisnya.

Sejak enam tahun terakhir, ketika lebih intens menjalani pola hidup sehat, sambil menikmati hidup di 'jalan sunyi,' terjadi proses seleksi alamiah yang sangat indah.  Terutama, kala saya sungguh tidak memerlukan atribut dan simbol sosial, kecuali sebagai insan, pembelajar kehidupan, sekaligus 'pengembara' di jalan panjang kebudayaan.

Saya merasakan ketulusan persahabatan, dan dipertemukan Allah dengan para sahabat yang sama tak tergoda oleh posisi sosial. Suatu kehidupan yang terasa sangat indah.

Sekali-sekala saya menengok kehidupan yang riuh, gaduh, dan lucu. Khasnya kehidupan politik praktis yang kian jauh terpapar dan  terkontaminasi oleh pandemi pragmatisme, politik transaksional, yang dalam banyak hal meninggalkan akalbudi politik. Kehidupan politik yang tak lagi punya imunitas, karena mengabaikan vaksin memetika (akalbudi) .

Sejak istri wafat dan saya menanggalkan berbagai atribut -posisi sosial, saya merasakan hidup di jalan hening sungguh mendamaikan hati.

Relatif enam tahun terakhir, saya merasa menjadi sungguh manusia. Hubungan persahabatan saya dengan para kolega, juga hubungan yang amat manusiawi. Hubungan tanpa pretensi, kecuali komitmen untuk melangkah ke ujung hidup, gerbang husnul khatimah.

Selama pandemi nanomonster Covid-19, meski sebagian terbesar waktu saya lebih banyak di rumah dan lingkungan terbatas, komunikasi dengan para sahabat di berbagai daerah - negeri, dan negara kian intens.

Jarak fisik memang terpisah, tapi tak ada jarak batin. Suatu hubungan tanpa sekat, no border line. Bahkan, sepanjang tahun, Allah mempertemukan dan mendekatkan kembali, saya dengan seseorang dari masa belia yang punya dara kreatif luar biasa.

Setiap hari, sejak fajar belum lagi tiba, sampai malam sampai di penghujung, selalu terjalin komunikasi yang membuat hidup lebih nyaman dan bertambah kreatif.

Komunikasi yang dihidupkan oleh kesadaran untuk saling meneguhkan diri menjadi insan tanpa beban. Komunikasi yang segar oleh entusiasme memberikan kontribusi lebih besar bagi sesama insan. Komunikasi yang diikat oleh simpati, empati, apresiasi dan respek, yang terus tumbuh.

Kuncinya, seperti nasihat Hafez dan juga nasihat orang tua. Bersahabat dengan ikhlas dengan segala dinamikanya, yang melahirkan berbagai komitmen dan aksi kreatif, menjadi titik temu berbagai persamaan pandangan, sikap, dan asa. Setarikan nafas, saling menghormati berbagai perbedaan dalam banyak hal.

Tak ada intervensi, meski selalu ada tantangan, berembus angin samping dari segelintir orang yang sedang hilang kesadaran insaniahnya. Bersikap positif dalam menjalani kehidupan, memang nikmat, justru ketika sebagian terbesar insan -- dalam konteks Covid-19 -- lebih bahagia ketika dinyatakan negatif.

Persahabatan yang indah, dihidupkan oleh cinta dan diasuh oleh kasih sayang.  Tanpa kegaduhan.

Adakah negeri ini sedang kehilangan cinta dan dijauhi kasih-sayang, sehingga mudah terprovokasi oleh ghibah, buhtan, dan fithan? Wallahu a'lam bissawab.. |

Editor : Web Administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1156
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 917
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1153
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1410
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1555
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya