Politik Kematian Simbol Kediktatoran

| dilihat 1244

Sawedi Muhammad

Kematian tunggal adalah tragedi; satu juta kematian adalah statistik” (Joseph Stalin, 1947).

Perang antara manusia melawan mikroba telah berlangsung selama ribuan tahun. Bakteri dan virus - selain dari perang dan bencana kelaparan - terbukti menjadi musuh manusia paling tangguh sekaligus paling mematikan dalam sejarah. Memori kolektif menyisakan kepedihan dari pandemi wabah hitam (the black death 1347-1352). Dari sekian pandemi, wabah hitam merenggut korban terbanyak antara 75-200 juta orang dan berkontribusi mengurangi sekitar 60 persen penduduk Eropa (Michael S. Rosenwald, The Washington Post, 2021).

Pandemi adalah peristiwa luar biasa yang menelanjangi seluruh struktur sosial sebuah bangsa bahkan komunitas global. Ia memperlihatkan karakter wabah sebagai “awal yang mengerikan” yang meruntuhkan hubungan sosial dan memprovokasi kepanikan.

Philip Strong, sosiolog asal Inggris menegaskan bahwa pandemi merepresentasi momentum transparansi tatanan sosial. Institusi sosial menjadi lumpuh. Aparatur negara kelimpungan. Interaksi sosial dan relasi antar aktor dalam masyarakat menjadi problematik; saling mencurigai, saling menyalahkan bahkan saling memusuhi. Asumsi mengenai bekerjanya sistem dan struktur sosial dipertanyakan. Keseluruhan tatanan bermasyarakat dan berbangsa mengalami guncangan bahkan beberapa diantaranya mengalami disfungsi sosial (Epidemic Psychology, Sociology of Health and Illness, 1990).

Di saat masyarakat dunia membutuhkan kerjasama global mengatasi pandemi, berbagai negara mempertontonkan politik populisme dan nasionalisme sempit melalui aksi penimbunan alat perlindungan diri, persekusi kelompok tertentu berdasarkan RAS serta komersialisasi berlebihan terhadap vaksin dan obat-obatan.

Di bulan Januari 2020, Tiongkok mengimpor 2,5 milyar alat-alat kesehatan yang berhubungan dengan pandemi, termasuk diantaranya lebih dari 2 milyar masker kesehatan. Langkah Tiongkok dianggap sebagai aksi penimbunan yang dapat membahayakan suplai masker dunia (Sam Cooper, Global News, 2020).

Sejak awal pandemi Covid-19, sentimen terhadap orang Asia di Amerika meningkat tajam. Mereka diludahi, dipukuli, dikata-katai, ditendang bahkan banyak yang ditusuk oleh orang yang tak dikenal (Helier Cheung dkk, BBC News, 2020).

Sosiologi berpeluang untuk menyingkap kontribusi pandemi terhadap berbagai persoalan sosial non-medis di masyarakat – perampasan mayat, menolak test PCR/Swab, tidak memakai masker di tempat umum, menolak isolasi, menentang pelarangan mudik, anti vaksinasi dan menganggap pandemi Covid-19 sebagai konspirasi politik global.

Studi sosiologi juga dapat mengungkap kebijakan politik berbagai pemimpin dunia di masa pandemi dan mengurai implikasinya terhadap kehidupan dan tatanan sosial, termasuk diantaranya ketimpangan, pengangguran, kemiskinan, layanan kesehatan, ketersediaan obat, vaksinasi dan politik kematian.

Tulisan ini akan membahas pandemi dari perspektif necropolitics, konsep yang dikemukakan oleh pemikir kenamaan Kamerun, Achille Mbembe yang ditulis dalam artikelnya yang berjudul necropolitics tahun 2013, kemudian diterbitkan dalam buku dengan judul yang sama di 2019.

Politik Kematian (Necropolitics)

Necro berasal dari bahasa Yunani nekros yang berarti “mayat” atau “bangkai”. Necropolitics kemudian diartikan sebagai “politik kematian”. Achille Mbembe mendefiniskan necropolitics sebagai “kedaulatan untuk menentukan siapa yang dihargai dan siapa yang tidak, siapa yang dibuang dan siapa yang diselamatkan”.

Dengan kata lain, necropolitics adalah sebuah kerangka yang menegaskan bagaimana pemerintah atau otoritas negara memberi pemaknaan yang berbeda tentang kehidupan. Semakin dekat seseorang dengan kekuasaan maka hidupnya semakin berharga. Sebaliknya, semakin jauh dari supremasi kekuasaan maka nilai hidupnya semakin berkurang dari logika necropolitics – dan eksistensinya semakin rentan terhadap marabahaya (Namrata, Verghese, teenvogue, 2021).

Dalam bukunya yang berjudul “Necropolitics, (2019)”, Mbembe menegaskan bahwa necropolitics adalah penggunaan kekuatan sosial-politik untuk menentukan bagaimana seseorang dapat hidup dan sebagian lainnya harus mati. Menurut Mbembe, “Ekspresi tertinggi dari kedaulatan terletak pada kekuatan dan kapasitas untuk mendikte siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus mati”.

Necropolitics sering dianggap sebagai perpanjangan konsep biopolitik dari Michael Foucault, pemikir postmodernisme asal Perancis. Meski terdapat kesamaan dalam penggunaan kekuatan sosial-politik dalam mengontrol kehidupan, biopolitic tidak mampu menjelaskan kematian kontemporer yang disponsori oleh negara.

Mbembe menjelaskan bahwa dalam kondisi necropower, tirai antara perlawanan dan bunuh diri, pengorbanan dan pertaubatan, martir dan kebebasan menjadi kabur. Mbembe menambahkan bahwa necropolitics lebih dari sekadar hak untuk membunuh (droit de glaive), tetapi juga hak untuk melakukan ekspose kepada orang lain (termasuk warga negaranya) terhadap kematian. Pandangan Mbembe tentang necropolitics juga termasuk hak untuk memaksakan kematian sosial dan kematian sipil, hak untuk memperbudak dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya.

Siapa saja pemimpin negara yang menerapkan necropolitics di masa pandemi? Dalam situasi seperti apa logika necropolitics ini bekerja?

Necro-maskulinitas Donald Trump

Dalam artikelnya yang berjudul “Donald Trump, Dominating Masculine Necropolitics, and Covid-19, Sage, 2020”, James Messerschmidt, menjelaskan gaya kepemimpinan Trump yang disebutnya sebagai “necropolitics maskulin yang dominan.”

Gaya kepemimpinan Trump yang dominan-maskulin menunjukkan dirinya sebagai pusat kekuasaan. Trump memberi perintah dan mengontrol berbagai interaksi, menjalankan kekuasaan, mengawasi pergerakan dan mengontrol peristiwa. Trump juga merumuskan dan menjalankan kebijakannya sendiri, memaksakan kepatuhan dan menunjukkan sangat sedikit penghargaan terhadap opini orang lain.

Ketika kasus pertama Covid-19 terungkap di Amerika pada tanggal 20 Januari 2020, Trump secara konsisten meremehkan masukan dan peringatan pakar kesehatan agar penyebaran virus direspon secara serius.

Pakar kesehatan sedari awal mendesak agar dikeluarkan kebijakan nasional mengenai jaga jarak, testing, tracing, isolasi dan penyiapan alat pelindung diri. Trump bahkan menasihati pakar kesehatan agar tidak perlu panik dan khawatir berlebihan.

Ketimbang mengeluarkan kebijakan domestik, Trump justru mendominasi diskursus tentang virus. Pada tanggal 22 Januari 2020, ia sesumbar menyatakan bahwa virus covid-19 telah sepenuhnya dapat dikendalikan. Meski pakar kesehatan Gedung Putih terus menerus mengingatkan untuk segera melakukan langkah mitigasi, Trump secara konsisten meremehkan ancaman virus corona bahkan mengklaim bahwa “kami sangat memahami apa yang sesunggguhnya terjadi”.

Pada tanggal 25 Februari, 2020, terdapat 15 kasus yang telah diketahui di Amerika. Di hari yang sama, Dr. Nancy Messonnier, Direktur Center for Disease Control and Prevention (CDC) yang juga anggota Gugus Tugas Virus Corona Gedung Putih menayindir Trump melalui jumpa pers dan menegaskan bahwa “Kami berharap masyarakat terus melakukan aktivitas di negeri ini. Sekarang bukan saatnya menanyakan kapan virus ini akan menyebar, tetapi pada saat itu terjadi berapa banyak orang Amerika yang akan terinfeksi secara serius.”

Segera setelah jumpa pers, Trump 'mendiamkan' Mosennier dan sesudahnya, tidak pernah terdengar lagi komentarnya di media selaku anggota Gugus Tugas. Pembungkamannya merupakan ilustrasi betapa kepemimpinan Trump menuntut kepatuhan terhadap otoritas dan kekuasaannya.

Akibat necro-maskulinitas dari Trump, penyebaran visrus Covid-19 di Amerika menjadi tidak terkendali. Di awal April 2020, tercatat 2.850 kasus meninggal dan di bulan Mei angkanya mencapai 55.337 orang.

Sebuah studi diterbitkan online di bulan Mei menyimpulkan bahwa Amerika dapat melakukan pencegahan sebesar 62 persen kasus infeksi yang tercatat dan mencegah 55 persen kasus kematian seandainya Trump melakukan langkah mitigasi secara nasional seminggu atau dua minggu sebelumnya. (Pei, Kandula, Shaman, 2020).

Di bulan Juni 2020, angka kematian akibat Covid-19 di Amerika menyentuh angka 102.640. Jumlahnya terus meningkat menjadi 151.265 di bulan Agustus, dan angkanya di atas 200.000 di bulan Oktober. Di bulan November, angka kematian sudah melebihi 250.000 dan mencapai angka 300.000 di bulan Desember. Covid-19 merenggut nyawa satu dan dua orang setiap menit, menempatkan virus corona sebagai mesin pembunuh terganas di Amerika.

Meski demikian, Trump tetap mengklaim dirinya sukses karena Covid-19 belum membunuh 2.2 juta warga Amerika. Di sinilah relevansi kutipan Joseph Stalin di awal artikel ini, “Kematian tunggal adalah tragedi; satu juta kematian adalah statistik”. Bagi Trump, kematian ratusan ribu orang adalah tragedi, tetapi masih jauh lebih baik ketimbang kematian jutaan orang penduduk Amerika.

Necro-ekonomi Bolsonaro

Bagaimana dengan kepemimpinan Presiden Brazil dalam mengatasi pandemi? Oliver Basciano menuliskan artikelnya  melalui teknik jurnalisme investigatif di Artreview dengan judul “War Without End: The Necropolitcs of Bolsonaro’s Brazil, April, 2021”.

Pada saat menuliskan laporannya di bulan April 2021 – dengan nada frustrasi dan putus asa – Basciano sulit membayangkan bagaimana buruknya sistem pelayanan kesehatan di Brazil. Selama sepekan, rata-rata 3.000 kematian per hari, sepertiga diantaranya berasal dari negara bagian Saõ Paulo; menjadikan total kematian kumulatif sebanyak 360.000 sejak awal pandemi. Prediksi lebih buruk dikhawatirkan terjadi. Seluruh rumah sakit kolaps bahkan di wilayah yang paling kaya sekalipun; kapasitas ICU mencapai angka 90 persen di mayoritas negara bagian.

Menurut Basciano, kondisi penanganan pandemi di Brazil semakin suram karena masalah kompetensi presiden Bolsonaro dan ketidakseimbangan penanganan antara isu ekonomi dan masalah sosial. Bolsonaro dianggap sebagai presiden yang lebih dari sekadar ceroboh dalam menangani pandemi.

Tindakannya yang menyangkali keberadaan virus, mempromosikan pengobatan melalui dukun dan menolak vaksinasi, menurut Basciano dapat dikategorikan sebagai kriminal. Luiz Inácio Lula da Silva, mantan presiden sekaligus calon penantang kuat Bolsonaro di pilres 2022 menyatakan bahwa Bolsonaro membatalkan pengadaan 700 juta vaksin di delapan perusahaan tahun lalu.

Tindakan Bolsonaro yang berusaha mengakhiri pembatasan sosial dan tidak mempercayai penguncian wilayah – guna mencegah penularan penyakit menular - menurut konstitusi Brazil dapat dikategorikan sebagai kriminal.

Dimas Covas, kepala lembaga pendidikan kedokteran di Sâo Paulo yang sekaligus bertanggung jawab untuk memproduksi vaksin CoronaVac menyatakan, “Presiden mempraktikkan Darwinisme sosial. Ia memperhadapkan antara virus dan manusia; yang kuat akan menang dan yang lemah akan punah”.

Di bulan Mei 2021, total kasus yang dilaporkan sudah mencapai 14 juta dan 400.000 diantara meninggal dunia. Angka ini menempatkan Brazil sebagai episentrum Covid-19 dunia. Menurut Alfredo Fillo (The Conversation, 2021), respon Brazil di bawah kebijakan presiden Jair Bolsonaro adalah yang terburuk sejagad raya.

Fillo menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang saling bertautan yang menyebabkan Brazil menjelma menjadi neraka di bumi. Pertama, Brazil adalah salah satu negara yang paling tinggi kesenjangan sosialnya dan mereka yang di lapis terbawah semakin rentan selama pandemi Covid-19, terutama warga kulit hitam, kelompok miskin dan pengangguran. Kedua, Brazil selalu terperangkap kedalam sistem politik yang akut dan keterbatasan kelembagaan.

Sejak pemerintah mensponsori kebijakan reformasi neoliberal di tahun 2016,  buruh paruh waktu meningkat, merosotnya jaminan sosial dan pelayanan publik kekurangan pembiayaan secara dramatis. Perubahan kebijakan ini didasari oleh amandemen konstitusi yang menghentikan pembiayaan non-finansial pemerintah pusat selama 20 tahun.

Rezim fiskal yang baru secara brutal melakukan pemotongan anggaran, menyebabkan sistem perlindungan kesehatan yang ditiru dari NHS Inggris mengalami kemunduran beberapa tahun terakhir akibat program pengetatan anggaran. Ketiga, Peran kontoversial yang dimainkan oleh Bolsonaro.

Sejak awal pandemi, presiden secara sistematis meremehkan resikonya dan memblokade semua respon yang terkoordinasi secara terpusat. Presiden juga mencibir wali kota dan gubernur negara bagian yang berusaha menerapkan penguncian wilayah, pembatasan jarak sosial dan kewajiban memakai masker. Presiden justru memaksa menteri kesehatan – yang sudah berganti sebanyak empat kali sejak tahun lalu – untuk fokus pada obat penyembuh yang belum terbukti seperti ivermectin dan hydroxychloroquine.

Kebijakan Bolsonaro yang berdalih untuk semata menyelamatkan ekonomi ternyata tidak hanya menyebabkan kematian yang meningkat tajam tetapi juga guncangan sosial-politik serta kontraksi ekonomi terburuk dalam sejarah Brazil.

Necro-statistics Rezim Jokowi

Meski tidak memiliki keterkaitan sejarah, sosial-politik dan kebudayaan, kebijakan Jokowi menghadapi pandemi Covid-19 memiliki kemiripan dengan apa yang dilakukan presiden Brazil, Jair Bolsonaro. Sebelum kasus pertama diumumkan tanggal 2 Maret 2020, pemerintah secara terbuka menganggap remeh virus Covid-19. Pemerintah bahkan mengklaim bahwa virus yang awalnya berkembang di Wuhan itu tidak akan menulari masyarakat Indonesia (Kompas, 2 September, 2020).

Dari rangkuman berbagai berita di Harian Kompas, berikut beberapa statemen menteri bahkan presiden yang meremehkan dampak virus mematikan ini.

Pada tanggal 17 Februari 2020, Menteri Kesehatan yang waktu itu dijabat oleh Dr. Terawan Agus Putranto menyatakan bahwa virus corona tidak masuk di Indonesia karena doa. Merespon pertanyaan wartawan, Terawan berujar, “Kita ini negara berketuhanan Yang Maha Esa. Apapun agamanya selama kita berpegang teguh pada Pancasila, doa itu menjadi hal yang harus diutamakan. Makanya ora et labora (berdoa dan berusaha)”.

Pada tanggal 25 Februari, 2020, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto justru mengumumkan paket pembiayaan untuk promosi pariwisata di Istana Negara. Pemerintah bahkan menganggarkan Rp 72 milyar untuk membayar jasa influencer dan promosi media demi menggenjot pariwisata Indonesia yang lesu karena terdampak penyebaran virus corona. Anggaran sebesar itu menjadi bagian dari total insentif sebesar Rp 298,5 milyar yang dikeluarkan pemerintah untuk menarik minat wisatawan mancanegara (Kompas, 25/2/2020).

Pernyataan paling menghebohkan datang dari presiden Jokowi. Saat ditanya mengapa pemerintah tidak melarang masyarakat untuk mudik sejak penetapan tanggap darurat Covid-19 sehingga mata rantai penularan ke daerah bisa terputus sejak awal, Jokowi berujar, “Kalau itu bukan mudik. Itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang kampung. Karena anak istrinya ada di kampung, jadi mereka pulang”. Demikian kata Jokowi saat menjawab pertanyaan Najwa Shihab dalam program “Mata Najwa” yang tayang pada Rabu, 22/4/2020.

Tidak berhenti sampai disitu. Kontroversi Jokowi selanjutnya adalah anjuran berdamai dengan Covid-19. Pernyataan Jokowi agar masyarakat berdamai dengan Covid-19 mendapat beragam respons, termasuk respons negatif. Pasalnya, narasi pemerintah sebelumnya adalah perang melawan Covid-19. Penyataan berdamai dianggap sebagian masyarakat bahwa pemerintah telah putus asa menangani penularan Covid-19.

Dalam pernyataannya, selama wabah masih terus ada, Jokowi meminta seluruh masyarakat untuk tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan. “Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan,” katanya di Istana Merdeka, jakarta, dalam video yang diunggah Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden pada kamis (7/5/2020).

Akibat dari ketidaksiapan mengantisipasi dampak terburuk pandemi sedari awal, Indonesia dijuluki sebagai episentrum Corona Dunia. Laporan detiknews tanggal 25 Juli, 2021 menyebutkan bahwa beberapa hari terakhir ini, angka kasus harian dan kematian merupakan tertinggi di dunia.

Berdasarkan update kasus harian dunia, Jum’at 23 Juli, 2021, Indonesia masih menjadi yang pertama dengan jumlah penambahan kasus harian corona sebesar 49.071 kasus dengan angka kematian tertinggi harian sebanyak 1.566, berdasarkan data Wordometers. Bisa dikatakan hari ini menjadi juara di urutan pertama dalam kasus harian corona tertinggi di dunia (detiknews, 25 Juli, 2021).

Dari sekian banyak masalah seputar penanganan Covid-19 - kontroversi statemen pejabat negara, kesalahan pendataan penerima bansos, keterlambatan insentif tenaga kesehatan, korupsi dana pandemi, insentif dana triliunan untuk BUMN - penghapusan angka kematian dalam penilaian level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) adalah yang paling menghawatirkan.

Dalam kapasitasnya sebagai Koordinator PPKM Darurat Wilayah Jawa Bali, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) menjelaskan bahwa indikator kematian itu menimbulkan distorsi karena adanya pemasukan data yang tidak diperbaharui. Langkah LBP ini direspon sangat keras oleh Analis data lapor Covid-19 Said Fariz Hibban.

Said mengatakan, ketidakakuratan data kematian seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengabaikan data tersebut. “Dengan menyadari bahwa data kematian itu tidak akurat, pemerintah seharusnya berupaya memperbaiki data tersebut agar benar-benar akurat (Tempo.Co, 11 Agustus, 2021).

Berdasarkan data yang dikumpulkan tim lapor Covid-19, ada lebih dari 19.000 kematian yang sudah dilaporkan oleh pemerintah kabupaten/kota, tetapi tidak tercatat di data pemerintah pusat. Data dari 510 pemerintah kabupaten/kota menunjukkan, hingga 7 Agustus 2021, terdapat 124.790 warga yang meninggal dengan status positif Covid-19. Akan halnya jumlah kematian positif Covid-19 yang dipublikasikan pemerintah pusat pada waktu yang sama sebanyak 105.598 orang. Artinya, antara data pemerintah pusat dan kabupaten/kota, terdapat selisih 19.192 kematian.

Penghapusan angka kematian dari indikator penilaian PPKM serta ditemukannya selisih puluhan ribu angka kematian antara pemerintah pusat dan kabupaten/kota, menunjukkan apa yang penulis sebut sebagai necrostatistics.

Necrostatistics dalam Necropolitics

Dalam necrostatistics, negara menjadi aktor tunggal pemegang legitimasi atas kematian. Negara mendikte siapa saja dan berapa banyak yang tercatat di kolom kematian. Kedaulatan negara atas angka-angka sama dengan state of exception, meminjam istilah Georgio Agamben. Negara memiliki kekuatan penuh untuk bertindak diluar akal sehat dan segala yang normatif dengan alasan situasi dan kegentingan yang memaksa.

Kehadiran necrostatistics dalam necropolitics di masa pandemi baik di Amerika di masa Donald Trump, Brazil di masa Bolsonaro dan Indonesia di bawah rezim Jokowi, membawah implikasi yang sangat memilukan bagi  jutaan umat manusia. Mereka menjadi korban bukan atas kelalaiannya semata, tetapi ketidakmampuan para pemimpinnya membuat kebijakan dan peta jalan penanggulangan dan mitigasi penyebaran virus Covid-19.

Mereka tumbang tidak semata karena imunitasnya yang tidak tangguh, tetapi kebijakan pemerintahnya yang gagal menyiapkan infrastruktur dan layanan kesehatan yang prima. Mereka terpapar bukan karena tidak patuh terhadap protokol kesehatan, melainkan tinggal di rumah bukanlah pilihan karena tiada lagi yang tersisa untuk bertahan hidup.

Baik di Amerika, Brazil dan Indonesia, pemimpin puncaknya menunjukkan ketidakmampuan membawa bangsanya keluar dari krisis pandemi Covid-19. Bukannya memperkuat koordinasi dan konsolidasi, mereka bertahan dengan legitimasinya, menggunakan hukum besi necropolitics, necrostatistics dan state of exception sebagai senjata pamungkas.

Di ranah necrostatistics publik dipaksa untuk menerima bahwa di dalam sistem yang sangat demokratis sekalipun, negara memiliki kedaulatan tak tertandingi untuk memanipulasi, merekayasa bahkan menghapus angka-angka. Di ranah necropolitics, mereka yang meninggal karena covid dikubur seadanya dalam senyap, tanpa liturgi dan kidung kematian, tanpa do’a talkin, tanpa rambu solo.

Mereka yang tersisa dipaksa menanggung beban psikologis yang sangat berat – berjuang dalam isolasi, penguncian, keterbatasan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran – serta berjuang melawan penindasan, ketakutan, penyesalan dan rasa bersalah.

Di pandemi yang tak berujung, hidup dan mati nyaris tak ada bedanya. Mereka yang bernafas seakan hanya menunggu giliran kapan saatnya tiba menuju alam keabadian. Eksistensi necrostatistics, necropolitics dan state of exception adalah simbol hadirnya kediktatoran dan kesewenang-wenangan. Ia merepresentasi penindasan dan ketidakberdayaan, sekaligus puncak kedunguan segenap elemen bangsa yang tidak lagi mampu membedakan antara tragedi, parodi dan komedi.

 

Rumah Kayu, Makassar, 12 Agustus, 2021.

 

Penulis, alumni Graduate Studies, Sociology & Anthropology, Ateneo de Manila University, Filipina)

Editor : eCatri
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 820
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1088
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1341
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1481
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 242
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 421
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 316
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 271
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya