Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021

Tolak Toleransi Zina di Kampus

| dilihat 864

Rumors ihwal kasus-kasus interaksi seks di kampus - secara konotatif dan denotatif - bukan sesuatu yang baru. Istilah 'ayam kampus' untuk mahasiswi yang menjalankan profesi prostitusi terselubung, sudah lama mengemuka.

Kasus-kasus seksual yang melibatkan warga kampus, seperti dosen dan mahasiswa juga sudah sangat sering mengemuka, baik di media mainstream maupun media sosial. Laman-laman media sering memberitakan.

Boleh jadi, berbagai rumors dan pemberitaan itu, yang memantik Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nabiel Makarim yang meluahkan budaya 'Kampus Merdeka,' pada 31 Agustus 2021, menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Dari tajuknya, Permendikbud Ristek ini, jelas fokus dan ekspilisit memusatkan perhatian pada soal 'kekerasan seksual.' Bukan pencegahan dan penanganan perzinahan. Meski perzinahan, secara langsung dan tak langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip moral, baik dalam konteks budaya dan agama.

Permendikbud itu diterbitkan dengan menimbang, perlindungan kepada setiap warga negara berhak mendapatkan perlidungan  dari segala bentuk kekerasan, termasuk kerasan seksual, ssuai Pancasila dan Undang Undang Dasar 45.

Pertimbangan lainnya adalah, 'semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kurang optimalnya penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi.' Juga pertimbangan-pertimbangan lain yang lebih teknis.

Kekerasan seksual yang dimaksudkan Permendikbud Ristek ini (Pasal 1, ayat 1), adalah "setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal."

Tujuan diterbitkannya Permendikbud Ristek 30/21, ini selain sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan aksi, adalah  "menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi." (Pasal 2, huruf b).

Prinsip pelaksanaannya (Pasal 3), adalah kepentingan terbaik bagi korban; keadilan dan kesetaraan gender; kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas; akuntabilitas; independen; kehati-hatian; konsisten; dan jaminan ketidakberulangan.

Tak ada pertimbangan norma dan nilai berbasis budaya dan agama. Kata 'agama' hanya tertera dalam konteks 'pemuka agama' yang berkaitan dengan pemulihan korban ( pasal 20, ayat 2, huruf e).

Pada Pasal 5 angka (1), Permendikbud Ristek ini menjelaskan, bahwa "Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi."

Yang menarik dan memantik reaksi khalayak, khasnya kalangan penyelenggara pendidikan tinggi, tak terkecuali pemuka pendidikan dan agama adalah Pasal 5 angka (2), yang menegaskan, bahwa kekerasan seksual tersebut meliputi 21 item.

Mulai dari menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban; memperlihatkan kelamin, sampai melakukan kekerasan seksual lainnya.

Larangan atas berbagai aksi kekerasan seksual tertentu, hanya berlaku bila korban dan tidak bersetuju. Maknanya, bila korban memberi persetujuan, boleh. Ihwal 'persetujuan korban' tertulis secara eksplisit.

Misalnya, dalam Pasal 5, ayat (2), berupa aksi memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban (huruf b);  menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban (huruf c);  mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban (huruf f); mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban (huruf g); menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban (huruf h); membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban (huruf j); menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban (huruf l); dan, membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban (huruf m);

Secara terselubung semua larangan tersebut menjadi batal dengan sendirinya, bila korban memberikan persetujuan. Aturan-aturan multi tafsir, ini dipahami banyak kalangan sebagai toleransi atas bentuk lain perzinahan.

Padahal, menurut Guru Besar Ilmu Hukum sekaligus pemimpin Universitas Islam As Syafi'iyah, Dailami Firdaus, dalam konteks agama, mendekati zina (termasuk zina mata) saja dilarang. Karenanya, Dailami tegas menyatakan, bahwa Permendikbud Ristek tersebut harus ditolak.

Kordinator Presidium Majelis Nasional Forum Alumni HMI-wati (FORHATI), Hanifah Husein menyerukan, agar Mendikbud Ristek menarik kembali dan menyempurnakan Permendikbud Ristek 30/21 tersebut dengan menghilangkan frasa "tanpa persetujuan korban," yang membuka celah kebolehan melakukan kekerasan seksual, memantik, sekaligus memberi peluang bagi terjadinya perzinahan atas dasar persetujuan atau suka sama suka;

Hanifah mengingatkan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim  teliti dalam membuat peraturan dan bersungguh-sungguh mempelajari dan memahami dimensi sosio budaya dan agama masyarakat Indonesia. Sekaligus tidak menjadikan dunia pendidikan tinggi sebagai salah satu sumber bencana sosial bagi bangsa ini.

Menurut Hanifah Permendikbud Ristek 30/21 ini, meskipun merujuk kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan mengingat berbagai undang-undang lain, termasuk Undang Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang Undang tentang Pendidikan Tinggi, namun sejumlah isinya bertentangan dengan esensi konstitusi dan undang-undang rujukannya.

"Permen ini, di satu sisi mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, namun tidak mengatur pencegahan dan penanganan hubungan seksual yang norma budaya dan agama yang dianut sebagian terbesar warga negara, khususnya agama Islam," tegas Hanifah.

Forhati, menurut Hanifah, konsisten dengan sikap bahwa seluruh aturan tentang pencegahan kekerasan seksual, tidak dengan serta merta mengabaikan atau menghilangkan nilai dan norma agama yang dianut warga negara dan bangsa.

"Mengabaikan dan menghilangkan norma agama dalam regulasi negara, baik undang-undang maupun peraturan turunannya adalah bertentangan dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, sekaligus dapat menimbulkan bencana sosial. Baik berupa penghancuran nalar khalayak maupun penghancuran norma dan nilai kemanusiaan, yang dapat dimulai dari hubungan seksual secara bebas, hanya dengan dalih atas persetujuan masing-masing individu," tegas Hanifah.

Permendagri 30/21 yang rancu tersebut, menurut Dailami, membuka celah aksi zina bagi warga kampus, sekaligus bisa menjadi pintu masuk bagi berkembangnya aksi seksual lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender yang merupakan penyakit, sekaligus bertentangan dengan hukum agama. Jadi, harus ditolak dan dicabut. | Haedar Muhammad

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1180
Rumput Tetangga
Selanjutnya