SOSOK CAPRES 2014

Menimbang Anies Baswedan

| dilihat 2816

SAYA tak cukup kenal dengan Anies Baswedan. Artinya, saya nyaris tak pernah berinteraksi dengannya, langsung atau tak langsung. Meski demikian, sejak namanya berkibar sebagai Rektor termuda di Indonesia, saya sudah menduga, dia bernasab dengan AR Baswedan, sosok pejuang saya akrabi dari cerita orang tua sejak saya bocah.

Suatu ketika di tahun 2009, seorang sobat, petinggi kerajaan Malaysia, dalam suatu rapat di Puterajaya, berbisik pada saya. “Boleh bagi tahu ehwal Anies Baswedan?” Dari anak, kemenakan dan beberapa kolega saya memperoleh banyak informasi subyektif tentang anak muda ini. Beberapa forum yang menghadirkan Anies sebagai pembicara dan narasumber saya hadiri. Sejumlah wawancaranya dengan media saya simak, dan berbagai program aksi yang dia lakukan, saya cermati.

Akhirnya saya berkesimpulan sama dengan sobat saya, petinggi di Puterajaya itu: “Anies adalah masa depan Indonesia. Focal concern Anies sebagai pemimpin jelas dan terang benderang. Bertegak di atas substansi kebangsaan.” Saya terkesan.

Berbeda dengan sosok lain yang meramaikan bursa Calon Presiden RI 2014, Anies berhasil mereaktualisasi kesadaran kebangsaan yang sempat terputus sejak Presiden Soekarno berkutat dengan dimensi kekuasaan dalam kepemimpinannya. Anies memilih core perjuangan yang fokus: kualitas manusia Indonesia. Lewat gerakan Indonesia Mengajar yang dipeloporinya, Anies menjawab dengan aksi kegusaran Rendra, bahwa pemimpin bangsa ini nyaris tak pernah mendidik rakyatnya.

Saya memandang penting core perjuangan Anies, karena kerap menyaksikan secara langsung disparitas sosial dan kultural yang terjadi di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain. Tentu saja, aksi nyata Anies Baswedan turun tangan ke buhul persoalan bangsa, akan sepi publikasi. Terutama ketika media dan sosok idola (pemimpin kemasan) dikuasai dan dikendalikan oleh para beruang (para tokoh yang mempunyai uang) pengendali media.

Sosok Anies kian eksis sebagai 'genuine leader,' ketika beragam media, termasuk media sosial dikuasai para kurcaci dan kerani maya (cyber trooper) yang dibina dan dibiayai khusus oleh ‘pabrikan pemimpin idola.’ Anies bukan pemimpin yang dipuja dan dielu-elukan karena pesona dan personanya dikemas untuk memperoleh popularitas dan elektabilitas melalui beragam survey persepsi publik.

Di tengah kekuatiran pribadi, Indonesia akan mengalami pengulangan sejarah atas apa yang pernah dialami Amerika Serikat, ketika rakyatnya memilih Warren G. Harding sebagai Presiden, di benak saya muncul sosok Anies Baswedan.

Warren G. Harding adalah Presiden Amerika Serikat yang begitu dipuja dan diidolakan, hanya karena rakyat terpikat oleh pesona personanya: ramah, populis modes, komunikatif, baik, dan menyenangkan semua orang. Tak berapa lama setelah terpilih, Warren mengalami depressi berat karena menghadapi masalah yang kompleks, dan dia tidak tahu apa yang menjadi prioritas. Suatu saat, Warren meletupkan isi hatinya: "Saya tidak cocok untuk kantor ini dan seharusnya tidak berada di sini ." Akhirnya, Presiden yang diusung partai Republik itu meninggal dunia di kantornya.

Kekuatiran Indonesia akan mendapatkan presiden seperti William G. Harding itu terobati, ketika anak bungsu saya bercerita tentang fokus perjuangan Anies: pembangunan manusia Indonesia. Dan, sobat saya, petinggi di Puterajaya itu benar, ketika dia katakan, Anies menjanjikan harapan transformasi asasi. Yaitu peletakan dasar perubahan minda (mindset) Indonesia untuk tak lagi terjebak sebagai bangsa buruh di lapangan industri, bangsa calo di lapangan ekonomi.

Saya sepakat dengan Anies, ketika dia menyatakan, harus membenahi persoalan bangsa ini dari hulu. Persoalan hulu itu adalah pendidikan. Inilah yang akan menjadi jalan benar proses perubahan, tanpa harus mengusung jargon restorasi. Pembenahan pendidikan secara multidimensi, serempak, dan fokus adalah cara transformasi kultural dan struktural yang tepat. Meski tentu, bersamaan dengan itu, secara profesional dilakukan pembenahan di hilir.

Cara berfikir Anies dan fokus perjuangannya, memberi harapan terhadap kemungkinan diperolehnya kelak “Indonesia Branding” : negara – bangsa berkeunggulan sumberdaya manusia. Bukan lagi negara-bangsa agraris, bahari, industri, atau sejenisnya. Karena dengan keunggulan sumberdaya manusia Indonesia bisa menjadi negara – bangsa yang mampu berinteraksi dengan nilai – nilai global dan teknologi.

Sebagai imagineer, saya memandang, persoalan yang dihadapi bangsa ini sejak era Presiden Soekarno adalah tidak fokusnya aksi pemerintahan dan kenegaraan pada human focal concern base, yang secara kodrati merujuk ke 4 kebutuhan dasar kebangsaan : pendidikan, budaya, ekonomi, dan kesehatan.

Anies benar, ketika dia mengatakan, "Pembangunan harus berpusat pada kita, manusia-manusia Indonesia. Ini untuk jangka panjang bangsa. Dampaknya memang tidak langsung dirasakan dalam waktu singkat, tetapi mungkin 10-15 tahun ke depan."

Anies Baswedan, di mata saya, sosok yang pas untuk menyatakan: Berani lebih baik, menjadikan Indonesia bangsa yang hebat! Kita perlu menimbang Anies Baswedan memimpin bangsa ini.  Bukan Anis yang lain. | N. Syamsuddin Ch. Haesy

Editor : Web Administrator
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 196
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 373
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 219
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1155
Rumput Tetangga
Selanjutnya