Penguasa Militer Myanmar Tak Peduli Ancaman Joe Bieden

| dilihat 644

REZIM penguasa militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing yang melakukan kudeta tak berdarah atas pemerintahan Aung San Suu Kyi dan Partai Liga Nasional Demokratik (NDL), Senin (1/2/21), tak peduli dengan ancaman Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dan kecaman dunia internasional.

Senin malam, para penguasa militer, itu telah mengumumkan kabinet pemerintahan darurat, terdiri dari 11 jenderal militer, purnawirawan jenderal, dan mantan penasehat pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Presiden (Jenderal) Thein Sein.

Meski masih menimbulkan was-was, terutama di kota utama - bekas ibukota Yangoon, suasana sudah tak mencekam lagi.

Yangoon dan beberapa kota utama negara yang dulu bernama Burma, itu sepi. Tetapi, pasar masih buka. Kedai-kedai makan kaki lima, bis dan taksi masih beroperasi.

Penjagaan juga nampak lebih longgar. Ekspresi kekuatiran warga tampak dan terasa, ketika warga menurunkan bendera, gambar partai NDL, dan gambar Suu Kyi dari rumah, kedai, dan kantor mereka.

Di Naypyitaw dan Yangoon, mega-pagoda yang menjadi simbol spiritualitas Budha di negara itu, masih melakukan aktivitas, kendati sepi dari penziarah.

Pemimpin Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing menyatakan, dirinya bertanggungjawab dan akan memimpin pemerintahan selama setahun, sesuai dengan masa darurat yang telah diumumkan Senin pagi.

Hingga Selasa (2/2/21) petang, kalangan perwakilan dunia internasional yang berkantor di Yangoon, hanya mendapatkan sedikit informasi tentang situasi mutakhir, karena jaringan internet dan komunikasi belum sungguh pulih. Arus informasi cenderung one way traffic.

Kabar lain dari pusat kekuasaan di Naypyitaw (baca: Naypyidaw), selain pengumuman kabinet, adalah penjagaan dan pengawasan ketat atas ratusan anggota parlemen di kompleks perumahan dinas mereka.

Penguasa junta militer yang melakukan kudeta, agaknya masih membuka celah bagi mereka untuk berkomunikasi antar sesamanya. Termasuk konstituen mereka, sebagai bagian dari taktik untuk mengisyaratkan kepada dunia luar, bahwa kudeta itu merupakan kudeta damai dan tak merampas semua hak dasar dan politik para wakil rakyat. Tetapi, mereka tidak bisa beringsut dari rumah dinas masing-masing.

Suu Kyi,  Win Myint, dan para petinggi partai NDL dan pemerintahan yang digulingkan, tidak ditahan bersama mereka. Anggota parlemen dari partai NDL dan partai-partai kecil pendukung Suu Kyi, menghabiskan malam tanpa bisa terpejam.

Salah seorang anggota parlemen mengabarkan kepada reporter Associated Pers yang biasa bertugas di gedung parlemen, bahwa dirinya dan 400 anggota parlemen lainnya, harus bergadang dan berkemas, khawatir sewaktu-waktu akan dibawa pergi keluar dari kompleks. Namun, sampai Selasa (2/2/21) pagi, mereka masih baik-baik saja.

Kompleks perumahan dinas mereka dijaga polisi pada lapis pertama, dan tentara di lapis kedua, di sekitar kompleks.

Pihak penguasa militer juga menyita berbagai dokumen dari komisi pemilihan umum, yang mereka anggap perlu, karena pemerintahan Suu Kyi dan Win Myint  tidak menindaklanjuti klaim kecurangan militer atas hasil pemilihan umum November 2020.

Hasil penghitungan suara yang belum disahkan parlemen, telah memenangkan partai NDL dengan mayoritas (80 persen) kursi.

Suu Kyi dan Win Myint (Presiden) yang berkuasa kala itu, menjamin proses pemilihan akan berlangsung baik, kendati dalam situasi pandemi virus corona.

Sejumlah media milik negara mempublikasikan foto-foto pertemuan maraton Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional yang berlangsung sepanjang Senin, termasuk kehadiran Jendral Min Aung Hlaing, Presiden (yang baru diangkat) Myint Swe, dan para pejabat militer.

Melalui saluran media, khususnya TV Militer, para pihak penguasa militer menyatakan, tindakan yang mereka lakukan, dibenarkan secara hukum yang tertulis dalam konstitusi.

Mereka mengesankan, mengambil kendali pada saat darurat nasional adalah niscaya. Mereka mengabaikan pandangan partai NDL di bawah kendali Suu Kyi, pengamat internasional, dan sejumlah kepala pemerintahan dan kepala negara yang menyatakan tindakan mereka salah secara hukum.

Penguasa militer yang mengambil alih kekuasaan pada hari Senin, itu tak peduli dengan pandangan dunia internasional, bahwa kudeta yang mereka lakukan merupakan kemunduran dramatis bagi Myanmar.

Mereka, agaknya, tak juga peduli akan mengalami kembali isolasi internasional selama puluhan tahun sejak 1962. Bahkan terkesan, mereka akan memanfaatkan isolasi itu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap prioritas. Khasnya terkait dengan pandemi virus corona.

Myanmar dengan populasi penduduk 54.624.487 jiwa, itu per Selasa (2/2/21) tercatat tak mengalami penambahan kasus baru. Penduduk yang terpapar, sebanyak 140.354 orang, 11.892 dalam status positif, 125,324 dalam proses pemulihan, yang meninggal dunia berjumlah 3.138 orang, dan tak ada yang kritis.

Selain itu, mereka akan fokus mengatasi krisis politik berkepanjangan yang dipicu oleh kecurangan yang dilakukan partai NDL dan pemerintahan Suu Kyi - Win Miynt.

Penguasa militer itu juga nampak tak begitu peduli dengan ancaman Presiden AS Joe Biden yang mengancam akan memberikan sanksi baru, yang sejak 2015 dicabut.

Kudeta damai itu memang mendapat kecaman dunia internasional, yang juga menyerukan pembebasan atas Suu Kyi dan para petinggi partainya.

Biden menyebut tindakan militer yang terjadi Senin dinihari, itu sebagai serangan langsung atas  transisi Myanmar, sebagai negara yang menuju demokrasi dan supremasi hukum.

Senada dengan Biden, Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyebut, apa yang terjadi di Myanmar merupakan "pukulan serius bagi reformasi demokrasi."

Menurut juru bicara Guterres, Dewan Keamanan akan mengadakan pertemuan darurat mengenai tindakan militer mungkin pada hari Selasa, menurut Inggris, yang saat ini memegang jabatan presiden dewan.

Kudeta Myanmar nampaknya akan memantik kesibukan baru dunia internasional di sela pandemi virus corona, yang belum jelas pengakhirannya. Terutama, karena sebelumnya keliru pandang, bahwa kemenangan Suu Kyi 2015 seolah-olah membuat reformasi politik di Myanmar berakhir dan demokrasi yang mereka pahamkan merupakan pilihan ideal bagi Myanmar.

Dunia internasional tak kompak mendesak Suu Kyi dan pemerintahannya untuk menghentikan genosida atas etnis Rohingya dan menegaskan kewarganegaraan yang jelas atas mereka di provinsi Rahinee. Suu Kyi pun membisu atas kejahatan kemanusiaan di abad ke 21 itu.

Suu Kyi memang telah menjadi kritikus atas penguasa militer selama bertahun-tahun, termasuk selama dalam penahanan. Tetapi setelah kemenangannya (2015) yang delu-elukan dunia internasional sebagai ikon demokrasi, di terjungkal hanya menjadi politisi dan bukan negarawan.   

Sejak 2015, Suu Kyi sebagai penguasa, mesti bekerjasama dengan para jenderal, yang tak pernah sungguh menyerahkan kekuasaan kepadanya. Termasuk dengan Min Aung Hlaing yang mengkudetanya.| razali, aishah.

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 104
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 520
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 529
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 447
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya