Menyulap Udara Menjadi Diesel

| dilihat 1950

AKARPADINEWS.COM | DIESEL yang menjadi bahan bakar utama untuk mengoperasionalkan mesin di pabrik maupun kendaraan beroda empat, kian hari kian menyusut jumlahnya. Dan, cepat atau lambat, diesel akan menjadi bahan bakar langka, bahkan habis, lantaran tak hentinya dikuras dari perut bumi.

Untuk itu, Jerman dan Kanada mulai mengembangkan metode baru untuk menciptakan bahan bakar diesel dari udara melalui rekayasa kimia dengan menggunakan unsur karbon dioksida (CO2). Jerman, melalui perusahaan Sunfire, telah memproduksi diesel tipe baru ini pada April lalu.

Pengembangan teknologi ini didukung sepenuhnya oleh Pemerintah Jerman melalui Kementerian Federal Pendidikan dan Penelitian yang dipimpin menteri Johanna Wanka. Upaya yang diilakukan Wanka untuk mendukung teknologi ini ialah dengan menjadi pelopor penggunaan e-diesel (sebutan jenis diesel baru tersebut) sebagai bahan bakar kendaraan dinas dan pribadinya.

Sementara Kanada, melalui perusahaan energi Carbon Engineering, baru saja menyelesaikan pabrik percontohan untuk memproduksi diesel dari CO2. Pabrik tersebut memiliki kemampuan menyerap dua ton lebih karbon dioksida seharinya dari udara dan menyimpannya untuk diolah. Dari CO2 yang telah disimpan tersebut, diestimasikan pabrik percobaan itu mampu memproduksi diesel dalam jumlah 500 liter dalam sehari.

Upaya itu menjadikan diesel sebagai bahan bakar baru yang dapat diperbarui. Pasalnya, ketika e-diesel tersebut digunakan pada mesin atau kendaraan yang akan menghasilkan kembali CO2 sehingga nantinya dapat diproduksi kembali menjadi e-diesel. Selain itu, kadar polusi CO2 yang dihasilkan oleh e-diesel termasuk ramah lingkungan sehingga tidak terlalu mencemarkan lingkungan.

Pada dasarnya, teknik proses CO2 menjadi e-diesel sudah dikembangkan sejak tahun 1920 yang dikenal dengan sebutan teknik Fischer-Tropsch. Cara kerjanya menggunakan air yang kemudian unsur hidrogennya dipisah dengan unsur oksigennya dengan teknik pembelahan melalui elektrolitnya. Selanjutnya, unsur hidrogen tersebut digabungkan dengan unsur CO2 yang sudah disimpan dalam tangki penyimpanan.

Penggabungan unsur hidrogen tersebut ke dalam CO2 akan membentuk rantaian hidrokarbon yang nantinya menjadi bahan baku utama pembuatan e-diesel. Namun, untuk memprosesnya memang baru bisa dilakukan oleh teknologi saat ini karena kerumitan susunan atom.

Teknik ini juga memiliki potensi membersihkan udara dari polusi CO2 yang dihasilkan dari bahan bakar fosil atau bekas pembakaran sampah. Karena, dengan memanfaatkan CO2, bekas pembakaran bahan bakar fosil akan menghasilkan lebih banyak e-diesel ketimbang dari CO2 yang memang murni berasal dari kandungan dalam udara.

Hal itu disebabkan proses pencampuran hidrogen ke dalam CO2 sisa pembakaran bahan bakar fosil lebih cepat bercampur daripada CO2 murni. Dengan begitu, teknologi pembuatan e-diesel sangat tepat digunakan di daerah berpolusi tinggi, seperti daerah industri ataupun daerah perkotaan.

Dari segi harga, untuk perliter e-diesel mentah, dihargai sekitar satu 1,5 poundsterling atau setara dengan Rp15 ribu. Harga tersebut masih bisa diturunkan hingga 30 persen, tergantung subsidi yang dianggarkan Pemerintah, yang mengamplikasikan pengolahan e-diesel tersebut. Dari segi kualitas, e-diesel ini setara dengan kualitas Pertamina Dex yang merupakan bahan bakar diesel kualitas terbaik di Indonesia.

Meskipun memberikan potensi besar dalam hal pengadaan energi diesel alternatif, teknik produksi e-diesel ini masih memiliki beberapa kelemahan yang harus disempurnakan. Adrian Corless, Kepala Eksekutif Carbon Engineering mengatakan, teknologi e-diesel ini memiliki kelemahan pada mesin produksinya yang akan cepat panas kala memproduksi bahan bakar tersebut.

Corless menjelaskan, untuk menyempurnakan kelemahan sistem produksi e-diesel ini memang dibutuhkan kerja keras karena merupakan pengembangan teknologi. “Kami sangat bekerja keras untuk menyempurnakan teknologi ini (produksi e-diesel),” ujarnya.

Bila teknologi e-diesel ini berhasil dikembangkan dengan sempurna, maka akan menjadi alternatif energi diperbaharui dengan fungsi mengurangi polusi udara. Karena, teknologi ini sangat bekerja dengan baik di daerah dengan kepadatan CO2, sisa hasil pembakaran mesin pabrik atau kendaraan bermotor yang masih menggunakan bahan bakar fosil.

Selain itu, proses regenerasi e-diesel juga termasuk cepat jika dibandingkan dari diesel fosil. Dengan memanfaatkan CO2 di udara, maka e-diesel dapat dikatakan sebagai bahan bakar daur ulang yang efisien.

Meskipun demikian, teknologi proses produksinya memang perlu disempurnakan. Ketika produksinya sudah disempurnakan, bukan tidak mungkin energi berbasis matahari karena tidak perlu pembangunan infrastruktur yang mengubah total infrastruktur yang sudah ada. Hanya perlu investasi pada pembangunan infrastruktur pabrik pengolahan e-dieselnya saja.

Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 276
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 138
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya