Indonesian Cultural Performance di Auckland University of Technology

Merajut Budaya Indonesia-New Zealand di Auckland

| dilihat 2976

AUCKLAND, AKARPADINEWS.COM | ATMOSFER budaya Maori begitu terasa di rumah Marae. Berbagai ukiran, patung dan totem karya Suku Maori terpajang di sana. Namun, pada Senin (28/11) malam itu, di Nga Wai o Horotui Marae, Auckland University of Technology, New Zealand, atmosfer Maori itu seakan tergantikan dengan energi dan rasa budaya Indonesia.

Seperti apa rupa Indonesia yang disuguhkan lewat seni dan bagaimana memaknainya? Dalam kegiatan Indonesian Cultural Performance di Auckland itu, para pegiat budaya, tidak sekadar mempromosikan seni budaya Indonesia lewat suguhan tarian, pertunjukan teater, musik, dan video art. Momen tersebut juga bukan sekadar ajang eksistensi 49 pegiat seni dan budaya. Namun, patut diapresiasi dan dimaknai secara mendalam sebagai ikhtiar mengembangkan dialog antarbudaya.

Keinginan yang dalam untuk dapat membuka dan mengetahui budaya lain lewat dialog itu diperlihatkan melalui Tarian Haka. Tarian yang mengawali kegiatan itu ditampilkan oleh para pegiat budaya tari. Tari Haka memiliki histori sebagai tarian perang.

Ekspresi gerak, pukulan di dada, teriakan, mata melotot, hingga juluran lidah, merupakan simbol yang memperlihatkan kekuatan para prajurit (warriors) sebelum berperang. Perpaduan lagu, tarian, dan nyanyian pun sangat emosional. Tarian Haka menjadi simbol identitas Maori sebagai bangsa petarung. Kini, tarian itu mengalami transformasi, menjadi tarian penyambutan tamu. Tarian itu sering dipertunjukan All Blacks, tim nasional rugby New Zealand.

Usai suguhan Tarian Haka, giliran para pegiat budaya tari menunjukan secara bergantian pertunjukan tari tradisi Indonesia. Tarian yang diperlihatkan menunjukan perpaduan antara tradisi sebagai warisan budaya dengan tradisi sebagai inovasi.

Tarian awal menunjukan warisan yang turun menurun dan menjadi identitas kultural daerahnya. Seperti Tarian Ngeremo Surapati yang dibawakan Parrisca Indra Permana. Tarian itu biasanya ditampilkan di awal pertunjukan ludruk. Tarian itu juga menggambarkan semangat arek-arek Jawa Timur yang tegas, lugas dan energik. Lonceng-lonceng yang dipasang di pergelangan kaki penari, memberikan kesan gerak yang dinamis. Ekspresi mata penari pun lebih hidup.

Nuranani, dikenal dengan Nani Topeng Losari, menampilkan Tari Topeng Losari, Klana Bandopati. Tarian itu mengedepankan unsur ritualitas dan sakralitas. Terlihat pada gerakan yang menjadi ciri khas tarian asal Cirebon, Jawa Barat itu seperti galeong, pasang naga seser, dan gantung sikil.

“Menari di topeng Losari adalah berdoa, persembahan, dan penyatuan diri, sebagai media antara Tuhan, tubuh dan bumi,” kata Nani yang menjadi generasi kedelapan Topeng Losari sepeninggal Dewi Sawitri, maestro Tari Topeng Losari. Tarian sakral itu diwarisi secara turun temurun. Teknik, gerak dan filosofinya, hanya dimiliki di Cirebon.

Karya inovasi dengan bahan bakar tradisi lain juga disuguhkan lewat Tarian Bujang Ganong oleh Wisnu Aji Setyo Wicaksono dan Tri Anggoro. Tarian itu merupakan tarian rakyat dan bagian drama Tari Reyog Ponorogo. Penampilan duo penari ini memberikan suguhan yang lucu, energik, dan memukau. Penonton pun dibuat terkesima dengan gerak akrobatiknya.

Sedangkan Tari Ambreg dari Bathara Saverigadi Dewandoro, menjadi model tari kreasi baru. Seniman muda itu menciptakan koreografi yang menyatukan dualitas, laki-laki dan perempuan dalam satu tubuh. Sajian gerakan yang bercorak maskulin beralih menjadi feminin lewat goyangan yang rada erotis. Itu terlihat dari karater topeng yang berubah dengan permainan cahaya. “Di tari ini, ada kegagahan, kebaikan, feminim dan maskulin dalam diri,” tuturnya.

Setelah beberapa tarian disuguhkan, giliran pementasan teater di atas panggung. Para pegiat budaya teater, di antaranya Mahatma Muhammad, Irna Nurjanah, Kennya Rizki Rinonce, Benny Arnas, dan Ratu Selvi Agnesia, menyebut Soliloquy sebagai karya bersama. Pementasan itu mempertanyakan soal identitas, multikultural, dan kita masa kini sebagai bagian dari warga dunia.

Peristiwa-peristiwa di panggung, dibentuk oleh struktur dramaturgi yang berasal dari pengalaman masing-masing pemain. Serpihan teks lisan dibawakan Irna yang Sunda, membuka pertunjukan dengan lagu Ayun Ambing, simbol kasih sayang ibu pada anaknya. Kennya yang mempertanyakan identitas dirinya sebagai perempuan urban Jakarta dibenturkan dengan tradisi atas pandangan mainstream bagaimana seharusnya laku perempuan.

Sementara Mahatma membawakan petatah-petitih dan simbol koper dan passport menjadi elemen utama untuk menunjukan reposisi kita sebagai bagian dari warga dunia (citizen of the world). Para pemain saling bertukar tempat, cepat, dan chaos, diiringi Jakarta Soundscape Symphony dari Iman Fattah.

Kita hidup di antara keteraturan dan ketidakaturan, identitas yang tumpang tindih, bahkan saling meminjam. Hingga akhirnya seluruh peserta kelelahan usai berlari dan bertukar tempat. Ditutup, Benny yang bermonolog dan menyenandungkan lagu lubuk Lingau menyoal regenerasi. Dan, bagaimana “curriculum vitae” regenerasi manusia masa kini dan selanjutnya? Soliloquy mempertanyakan ruang dialog budaya dalam kacamata identitas manusia secara terpisah dan universal. Siapakah identitas kita di antara yang lokal, global, luar dan dalam? Bagaimana kembali pada diri sendiri?

“Saya suka sekali pertunjukan teaternya, begitu membekas dan membuat saya berpikir dan terganggu” tutur pria tua New Zealand. Lelaki yang berjalan dengan bantuan tongkat itu begitu tertarik menyaksikan pementasan.

Musik menjadi penutup kegiatan Indonesian Cultural Performance. Para pegiat budaya musik, dipimpin Gema Swaratyagitha, berkolaborasi dengan musisi Maori, Jerome Kavanagh Poutama, yang menggunakan Putatara, alat musik tiup Maori yang berasal dari kerang. Suguhan bunyi dari berbagai alat musik tradisi Indonesia seperti tifa, fuu, angklung, canang,  sekasas, suling, dan sebagainya, berkelindan dengan lagu dan mantra. Menciptakan energi baru di ruangan Marae. Koreografer asal Papua, Darlane Liitay, turut andil lewat musik sekaligus ruang. Tidak ada konsep improvisasi. Baginya, gerak dan rasa harus terukur.

Salah satu patung yang menempel di dinding Marae, dia hidupkan. Salah satunya dengan hongi, menempelkan hidung dan kening sebagai salam pertemuan dan simbol awal komunikasi suku Maori. Itu bermakna bahwa kita menghirup udara yang sama.

Begitu pula dengan hongi pada malam itu yang diperkenalkan dengan berbagai pertunjukan dari berbagai bidang seni pegiat budaya. Dialog budaya yang dibangun pun tidak hanya pada penonton publik seni New Zealand. Namun, penguatan kultural ini seperti kembali melihat diri ke dalam dengan melihat berbagai kesenian antardaerah dan seni kontemporer yang berangkat dari identitas tradisi kita yang luput dihayati.   

Dialog budaya yang berlangsung selama tiga pekan itu merupakan pelaksanaan program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Auckland University of Technology. Program itu menjadi bagian dari interaksi sosial, ide, gagasan, serta simbol-simbol budaya yang bersifat terbuka. Dengan begitu, diharapkan kian membuka jaringan dan dialog yang berkesinambungan antarpegiat budaya. | Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 336
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 332
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 431
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1501
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1320
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya