N. Syamsuddin Ch. Haesy
KISAH hancurnya suku Amalek yang diabadikan di dalam Perjanjian Lama sebagai bangsa penjajah. Mereka menyerang bangsa Yahudi yang eksodus dari Mesir, di kawasan Ephraim (sekitar Gunung Sinai) pada zaman Hezekiah. Setelah kehancurannya, bangsa ini menjadi obyek sumpah serapah, dan menyebabkan dendam tak berkesudahan bangsa Yahudi.
Dendam kesumat yang digerakkan hawa nafsu untuk menguasai sumber daya alam dan menguasai bangsa lain, ini pula yang kemudian mendorong bangsa Yahudi akhirnya menjadi kaum zionis.
Pada masa lain, sejarah mencatat bagaimana Fir’aun menguasai sumber daya alam dan menjejakkan kekuasaannya melebihi batas kewajaran. Kemudian dengan cara itu menguasai bangsa-bangsa lain, hingga akhirnya lantak oleh ulahnya sendiri.
Ketika penguasaan atas sumber daya alam dilakukan semena-mena melulu hanya untuk kepentingan yang tidak memakmurkan rakyat, maka sumber daya alam itu sendiri yang akan menghancurkan bangsa itu.
Tak bisa disangkal, kehidupan masyarakat tak bisa dilepaskan dengan sumber daya alam. Di dalam Al Qur’an, Allah menunjukkan komitmen-Nya terhadap sumber daya alam. Bahkan di dalam banyak ayat, Allah bersumpah demi sumber daya alam, untuk memandu manusia menjalankan fungsi khilafah-nya: memelihara sumber daya alam untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Bahkan Tuhan bertegas-tegas, siapa yang tak mampu memelihara sumber daya alam, tergolong makhluk yang merendahkan dirinya sendiri.
Berbagai kitab suci, sabda Rasul, dan kemudian konsep filosofi manusia tentang hutan, dari sudut pandang imagineering, memandu kita untuk memahami hakekat dreams governance yang sangat asasi. Bahkan dapat dideskripsikan hasil akhirnya: rimba hijau dengan sungai - sungai yang jernih airnya, permukiman hidup manusia aman – damai – sejahtera, hidup harmoni dengan flora dan fauna yang akhirnya membentuk lingkungan alam fisik dan lingkungan hidup sosial yang layak bagi manusia.
Imajinasi kita tentang pengelolaan sumber daya alam, tentu tak hanya bertumpu pada upaya konservasi sebagai sentra kepedulian utama. Melainkan mengelola dan memanfaatkannya secara harmonis dan berkelanjutan.
Bagi kita di Indonesia, yang diberikan sumber daya alam indah, subur, dengan hutan hujan tropis disertai canopy yang memadai arealnya, tempat bercah sinar matahari menjadi asupan yang menghidupkan seluruh tetumbuhan dan manusia.
Juga lapisan tanah yang mengandung fosil sumber minyak dan gas bumi, serta bebatuan yang mengandung mineral dan energi. Laut yang luas dan menyimpan sumber makanan yang meruah.
Karenanya, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia semestinya berlangsung secara berakhlak. Apalagi kini, ketika teknologi yang kian canggih, menambah kemampuan mengelola sumber daya alam yang lebih baik.
Persoalannya tinggal, bagaimana menghidupkan kembali budaya kolektif untuk memperlakukan sumber daya alam, sebagai bagian kehidupan manusia yang menyeluruh secara optimal, selaras dengan perkembangan peradaban manusia.
Sejak jauh masa, kebudayaan dan peradaban bangsa kita, telah memancarkan isyarat filosofis, bahwa sumber daya alam yang tidak dikelola secara benar dan baik akan menjadi menimbulkan bencana yang luas dan menghancurkan peradaban.
Ketika eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar (seperti praktik bad mining dan deforestasi ) maka manusia yang akan beroleh akibat buruk dari ‘kemarahan alam’.
Di tengah kegelisahan umat manusia tentang perubahan iklim global, komitmen kemanusiaan dan peradaban yang harus dilakukan secara strategis adalah menghadang berlangsungnya perusakan sumber daya alam dan penurunan daya dukung lingkungan hidup yang terus merosot. Bila pertambangan yang buruk dan deforestasi tak terkendali, yang akan terjadi bukan hanya bencana fisik, melainkan juga bencana sosial. |