Catatan Lingkungan Hidup Bang Sem (9)

Kearifan Cerekang, Konsisten Memelihara Alam

| dilihat 5964

BANYAK nilai yang diwariskan tradisi masa lalu dalam mengelola sumberdaya alam sebagai cawandatu. Di Timur Matahari, khususnya di Sulawesi, setidaknya kita mengenal berbagai tradisi yang berpijak di atas ke­arifan lokal. Apa yang kita saksikan di Toraja, men­jelaskan bagaimana manusia sebagai subyek, bertang­gung jawab penuh atas kondisi sumberdaya alam.

Pun demikian halnya dengan masyarakat Bajo, Bissu, Dongi, dan begitu banyak lagi tradisi yang berkembang di kalangan etnis dan sub etnis di Sulawesi Selatan, tak terkecuali di Luwu. Masyarakat Cerekang, adalah contohnya.

Dalam hal melakukan proses transformasi sains dan teknologi, misalnya. Adat istiadat yang berkembang di lingkungan masyarakat Cerekang, mengajarkan kita tentang pentingnya prinsip asasi ‘saling memuliakan.’

Adat yang mengajarkan siapa saja untuk menghormati nilai-nilai adat tradisi yang diyakini masyarakat, agar hidup berjalan secara harmonis. Saling menguatkan satu dengan lainnya.

Melakukan proses transformasi dengan meng­abaikan nilai yang telah berurat akar di tengah masya­rakat, akan menimbulkan dampak yang buruk. "Masus­satu narekko kaca mallise' melo iliseki", tak mudah mengisi gelas yang telah berisi, ungkap masyara­kat Cerekang. Masyarakat Cerekang berada di desa Manurung, Kecamatan Malili, Ka­bupaten Luwu Timur

Nilai kearifan lokal yang tersurat dan ter­sirat dari prinsip nilai masyarakat Cerekang, itu menunjukkan ada dan kuatnya komitmen (yang dilaksana­kan secara kon­sekuen dan konsisten) dalam memelihara sumberdaya alam dan lingkungan hidup, sebagai the real environ­ment.

Dalam konteks demikian, proses transformasi sosial, termasuk transfer of science and technology, tak boleh mengabaikan nilai adat yang telah hidup turun temurun. Tak hanya sebatas bagaimana mengelola hutan dan alam lingkungan, dengan tetap berorientasi kepada kondisi sumberdaya alam ‘semula jadi’.

Kearifan lokal masyarakat Cerekang, mengingat­kan kita, untuk menentukan point of view mengelola sumber daya alam. Mulai dari menata-kelola hutan, sebagaimana nampak nyata di pang­ngale' ada' tomatoa' yang disebut Karama'. Hutan adat yang tak boleh dijamah. Hutan yang dipelihara untuk se­penuh­nya  men­jadi tiang sangga kelestarian alam yang dalam bahasa ke­kinian kita sebut sebagai hutan lindung. Ber­beda dengan hutan budidaya.

Secara panteistik, sesuai dengan realitas budaya sinkretik, yang berkembang di lingkungan masyarakat Cerekang, kawasan Karama' diyakini sebagai tempat se­mayam orang-orang mulia, mulai dari Bhatara Guru dan Sawerigading, yang kisahnya pun hanya boleh dituturkan pada momen yang sangat tepat.

Karena merupakan tempat turunnya Dewa dari ‘Dunia di Atas’ dan beberapa keturunannya, maka tak hanya manusia yang menjaga Karama’, ini. Melainkan juga makhluk lain. Jin, dan binatang buas (buaya, misalnya). Karenanya, di kawasan ini berlaku hukum alam. Siapa melanggar, akan mendapatkan abala' alias bencana. Minimal, dilahap buaya.

Kearifan masyarakat Cerekang mengelola hutan, khasnya hutan adat, akhirnya tak berhenti hanya karena berbagai ritus yang memandu manusia menjalani tata krama berhubungan dengan alam. Melainkan juga bagai­mana manusia mesti memosisikan dirinya dalam ke­seluruhan konteks hubungan manusia - alam - dan Tuhan.

Dalam konteks ritual, dikenal Mappaenre Ota. Ritual yang digelar untuk mengharung hasrat dan ke­inginan manusia. Akan halnya Mappasolonggang Buaja, diperuntuk­kan bagi keselamatan insaniah tersebab terbangunnya harmonitas manusia, alam, dan Tuhan.

BERSEKUTU DENGAN ALAM ADALAH KONSEP HIDUP MENARIK DARI CEREKANG

Ritual ini meng­ajarkan kita tentang hakekat eksistensi manusia dalam keseluruhan konteks hubungan Manusia – Tuhan – Alam, sebagai taro puang atau ciptaan Tuhan, yang mesti hidup berdampingan dalam keselarasan hidup dengan gunung, hutan, sungai, dan binatang (ter­masuk binatang buas).

Seandainya di kawasan Karama' terdapat potensi tambang yang amat luar biasa, jangan coba-coba mengeksplorasi dan mengeksploitasinya. Masyara­kat Cerekang akan berjuang mempertahankan daerah itu untuk tidak diganggu.

Tak hanya karena ada dimensi budaya yang sakral di dalamnya. Lebih jauh dari itu, karena kawasan hutan ‘Karama' merupakan titipan Tuhan yang tak boleh diganggu manusia, bila tak hendak menerima bencana. Inilah prinsip keseimbangan, bagi harmoni kehidupan manusia – alam dengan Tuhan. Tradisi yang berkembang di Cere­kang, memberi isyarat tentang nilai fundamental hubung­an harmonis tersebut.

Sure’ I La Galigo, yang dituturkan ulang secara tekstual oleh Kern (1939), menunjuk­kan, bagai­mana tradisi budaya masyarakat lokal ber­interaksi dan me­mengaruhi sifat, karakter, bahkan aura budaya masyarakat. Sure’I La Galigo adalah kisah sohor yang menuturkan kesepakatan para dewa langit, meng­utus Bhatara Guru untuk menge­lola dunia. Lalu mempertemukannya dengan Nyilitomo, putra Ri Selleng di pertiwi (dunia bawah), hingga ber­putra Batara Lattu', penguasa perdana Tana Luwu.

Nilai-nilai itu, antara lain: nilai religius, sinkretis­me budaya berbasis animisme dan dinamisme, serta konsep prima kausa eksistensi manusia - dari sesuatu yang gaib menjadi riil. Lantas, hubungan relasi antara manusia dengan makhluk lain di wilayah mulatau (bumi). Termasuk di dalamnya mitologi.

GADIS-GADIS KECIL DI BALIK JENDELA RUMAH DI CEREKANG

Masyarakat, diungkapkan Ibnu Khaldun, tak bisa dibebaskan dari perkembangan nilai-nilai demikian. Ter­masuk bagaimana mereka memperlakukan (mengolah dan memelihara) sumberdaya alam yang terkandung di dalam bumi tempat mereka hidup. Inilah yang mem­bangun kesadaran, meski secara bertahap, tentang 'kepe­milikan' atas alam beserta isinya.

Ketika datang masyarakat 'luar' dengan pe­ngetahu­an dan teknologi untuk mengolah 'kekayaan' alam, yang pertama terbetik, bukanlah bagaimana cara mengolah. Melainkan: siapa mengolah apa di wilayah kepemilikan. Secara sosiologis, hal ini menjelma dalam beragam bentuk, yang sering kali dinyatakan sebagai bukti keber­gantungan.

Seringkali persepsi ihwal ketergantungan masya­rakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam, lari ke luar konteks. Karena itu, para investor dan pengusaha per­tambangan, perlu meluruskan kembali persepsi, dengan mengenali lebih dalam dimensi nilai yang lahir, tumbuh, dan berkembang di daerah tersebut.

Cara terbaik, meski memakan waktu, adalah me­ngembalikan 'rasa kepemilikan' mereka melalui proses transformasi yang sistematik, terkelola, terukur, dan ber­kesinambungan. Salah satunya, melalui proses pendidik­an. Pendidikan inilah yang akan mendorong masyarakat melahirkan local genius dengan potensi dayacipta yang lebih visioner tentang manajemen sumberdaya alam atau resources governance. Masyarakat, yang sesuai peradaban moderen, sekaligus mampu menjangkau dimensi nilai budaya masyarakatnya.

Kita boleh melihat, apa yang terdapat di kalangan masya­rakat Cerekang, Dongi, dan beragam anak suku di Luwu Timur dan Morowali, merupakan ekspresi konkret, bagaimana seharusnya manusia membangun peradaban yang karib dengan lingkungan alamnya. Sekaligus sebagai datu pe­melihara alam. Beranjak dari realitas kultural se­macam ini, manusia sungguh mengenali fungsinya se­bagai datu di atas muka bumi, sebagai khalifatullah fil ardh. Bukan justru sebagai penguasa atas alam, sebagai­mana tersimpan di benak manusia-manusia, yang dulu memicu perseteruan di berbagai wilayah kepulauan Nusantara. Khususnya di wilayah Laut Sulawesi. | 

Editor : sem haesy | Sumber : CAWANDATU N. SYAMSUDDIN CH. HAESY (BANG SEM)
 
Energi & Tambang
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 424
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 997
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 233
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 709
Momentum Cinta
Selanjutnya