Goresan Lukisan tentang Perjalanan Kemerdekaan

| dilihat 3489

AKARPADINEWS.COM | MEMASUKI ruang pameran koleksi seni rupa di Istana Kepresidenan yang bertajuk 17| 71: Goresan Juang Kemerdekaan, seperti berada di era revolusi ketika bangsa ini meniti perjalanan menuju kemerdekaan.

Pameran itu digelar untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-71. Makna 17 dari pameran ini adalah angka penanggalan diproklamirkan kemerdekaan negara ini. Sementara 71 dimaknai sebagai lamanya perjalanan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Sedangkan Goresan Juang Kemerdekaan diartikan sebagai imaji, citra, gambaran, dan visualisasi yang mengisahkan kisah-kisah heroik, bersejarah, dan semangat untuk merdeka, menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Pameran yang dibuka Presiden Joko Widodo itu menyajikan lukisan-lukisan para pahlawan, perjuangannya, dan penderitaan maupun harapan rakyat di era revolusi.

Visualisasi kemerdekaan dalam keragaman dan pluralisme di 28 lukisan itu merupakan hasil goresan 20 maestro seni lukis Indonesia dan internasional, termasuk satu lukisan karya Bung Karno dan 100 foto kepresidenan.

Sembilan buku tentang koleksi lukisan Istana Kepresidenan juga ditampilkan dalam pemeran di Ruang B, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, yang berlangsung dari tanggal 1-30 Agustus 2016.

Pameran ini sangat istimewa karena untuk pertama kalinya lukisan dan benda-benda seni dari istana diperlihatkan kepada khalayak. Koleksi lukisan itu tersimpan di Istana Presiden yang ada di Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Tampaksiring, Bali.

Pameran masterpiece dari berbagai maestro yang dikuratori Mikke Susanto dan Rizki Zaelani itu menggambarkan potret tokoh-tokoh penting perjuangan kemerdekaan Indonesia, kondisi sosial masyarakat masa revolusi, dan jejak perjuangan dari masa penjajahan Belanda hingga tahun 1950-an.

Saat melewati pintu masuk galeri, pengunjung dibuat terpana kala menyaksikan lukisan Pangeran Diponegoro yang tengah menunggangi kuda hitam saat berada di medan perang, dengan latar belakang api yang membara.

Lukisan berjudul Pangeran Dipenogoro Memimpin Perang (1949) itu karya Basoeki Abdullah ketika berada di Belanda. Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Hag, Belanda, turut menginspirasi sang pelukis dalam menciptakan lukisan ini.

Di sebelah kiri ruang depan pameran, terpampang lukisan tiga pahlawan bangsa yakni Kartini (1946/7) karya Trubus Sudarsono,  Potret Jenderal Sudirman karya Gambiranom Suhardi dan Potret HOS Tjokroaminoto (1946) karya Affandi. Sorot lampu yang meredup di antara lukisan-lukisan itu, menambah visual yang merefleksikan masa lalu. Tjokroaminoto adalah guru yang mendidik para pendiri bangsa.

Sementara sosok Kartini dikenang sosok yang memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan hak-hak perempuan Indonesia. Sedangkan Jenderal Sudirman adalah Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia yang pertama.

Di bagian sisi tengah galeri, terlihat lukisan Penangkapan Pangeran Dipenogoro (1750) karya Raden Saleh, pelukis kenamaan dunia asal Jawa berdarah Arab, yang menjadi pelopor pertama seni rupa modern Indonesia. Lukisan ini menarik perhatian pengunjung. Lukisan yang mengandung makna kecaman atas sikap Raden Saleh terhadap penjajahan Belanda di Jawa ini diberikan Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia tahun 1978 dan menjadi salah satu lukisan paling mengesankan yang terpampang di Istana Kepresidenan.

Di deretan sudut pameran juga terpajang sejumlah karya S. Sudjojono yang dikenal sebagai tokoh kunci seni rupa modern Indonesia. Dia juga memiliki kredo Jiwa Ketok (jiwa yang nampak) sebagai hakikat untuk memperlihatkan jiwa seniman yang merespons terhadap penderitaan dan masalah-masalah kemanusiaan yang dialami bangsa. Sudjojono dikenang sebagai pelukis yang menentang gaya lukisan mooi-indie yang dianggapnya hanya menekankan sentuhan keindahan alam.

Lukisan Sudjonono menampilkan visual yang penuh imaji dan realis dalam mengambarkan perjuangan dan semangat para pahlawan dan rakyat Indonesia di masa revolusi. Seperti dalam lukisan berjudul Kawan-Kawan Revolusi (1947) yang dilukis Sudjojono ketika berada di Sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM). Lukisan ini berupa potret beberapa orang di sekitarnya yang menjadi objek semangat perjuangan kolektif dalam bentuk realisme sosial.

Menurut Mia Bustam, sang istri, lukisan ini dilatari oleh sikap heroik seorang pejuang bernama Bung Dullah, yang berhasil mengebom empat tank serdadu Belanda dengan sejumlah bom yang diikat di pinggangnya. Sosok Bung Dullah diselipkan dalam lukisan ini, di antara 19 wajah lainnya.

Pada karya Sudjojono lainnya, seperti Markas Besar Di Bekas Gudang Beras Tjikampek (1964) menggambarkan markas pejuang kemerdekaan yang pada akhir tahun 1946 dikunjungi tokoh-tokoh kemerdekaan.

Begitu pun lukisan berjudul Mengungsi (1950), menurut Mia Bustam, dalam buku berjudul Sudjojono & Aku (2006), inspirasinya bersumber pada kejadian sesungguhnya, saat Agresi militer II Belanda di Yogyakarta. Pengalaman mengungsi yang juga dialami keluarga Sudjojono, juga menginspirasi lukisan ini.

Lukisan lain yang menjadi saksi sejarah sebagai penanda kemerdekaan Indonesia adalah karya Henk Ngantung berjudul Memanah (1943). Lukisan ini dipakai sebagai latar belakang konferensi pers perdana pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Presiden Pertama RI, Soekarno mendayagunakan lukisan ini sebagai materi visual yang kaya makna. Sayangnya, lukisan yang menggunakan media cat minyak di atas triplek yang usianya sama dengan usia bangsa ini, mengalami kerusakan. Untuk menghindari kerusakan yang kian parah, lukisan aslinya ditampilkan di dalam kotak kaca. Pelukis Haris Purnomo, melakukan reproduksi orisinal lukisan ini atas inisiatif pihak Istana Kepresidenan.

Beberapa lukisan lain yang juga turut memvisualisasikan tentang kemerdekaan dalam keragaman dan pluralitas budaya di nusantara, di antaranya lukisan karya Surono berjudul Ketoprak (1950) dan Ida Bagus Made Nadera dengan karyanya Fajar Menyingsing (1949). Karya-karya berkelas dunia lain ditampilkan di pameran ini seperti Diego Rivera, Miguel Covarrubias, Walter Spies, Rudolf Bonnet, Lee Man Fong, Hendra Gunawan, Srihadi Soedarsono.

Sukarno dan Lukisan Perjuangan

Sukarno adalah Presiden yang intim dengan dunia seni. Sang proklamator, tidak hanya sekedar pecinta dan penikmat karya seni. Namun, dia juga menjadi kolektor sejati. Sejumlah lukisan dan benda-benda seni yang dipamerkan pada pameran ini hanya merangkum 10 persen dari koleksinya.

Istana memiliki koleksi 2.800 lukisan sejak zaman pra kemerdekaan. Selain sebagai kolektor, Soekarno juga pelukis. Lukisan perempuan bersanggul dengan kebaya hijau karya Soekarno, berjudul Rini (1958), yang menghiasi dinding Istana Bogor, merupakan satu dari sejumlah lukisan karya Soekarno yang dipamerkan. Dan, baru di pameran ini, lukisan Soekarno dipamerkan.

Lukisan dan benda seni yang tersimpan di Istana Kepresidenan, mulai dikoleksi Soekarno sejak tahun 1937. Ketika itu, Soekarno yang diasingkan di Bengkulu, memiliki hasrat tinggi untuk mengoleksi lukisan. Di tahun 1942, ketika Soekarno menjadi salah satu Ketua Poetera, dia makin sering mengoleksi lukisan.

Pada tahun 1943, Soekarno membeli lukisan Henk Ngantung yang berjudul Memanah, yang dijadikan latar pembacaan naskah proklamasi tahun 1945. Kemudian, pada tahun 1946, Soekarno yang telah diangkat sebagai presiden dan tinggal di Yogyakarta, membeli karya dan menginisiasi berdirinya Museum Kesenian Nasional. Dia memesan lebih dari 12 lukisan potret pahlawan pada sejumlah pelukis yang tinggal di Yogyakarta, Solo, dan Madiun. Pada tahun tersebut juga diselenggarakan pameran lukisan perjuangan revolusi di Yogyakarta yang dikoleksi Soekarno. Sayang, Agresi Militer II di Yogyakarta turut menyebabkan rusaknya lukisan koleksi Soekarno yang tersimpan di Istana.

Di tahun 1950, kegemaran Soekarno mengoleksi lukisan makin menjadi. Dia juga mengoleksi patung dan keramik, baik membeli, hibah, maupun pemberian dari individu maupun dari pemimpin negara lain. Dan, di kala ibukota RI kembali ke Jakarta, Soekarno mengangkat Dullah sebagai pelukis Istana.

Sejak itu, Dullah bersama AR Gapoer, menginventarisasi koleksi seni Soekarno. Di tahun 1956, saat dibangun Istana Tampaksiring, Soekarno sepanjang tahun 1955-1966, gemar membeli lukisan karya perupa lokal maupun asing di Bali. Hingga tahun 1960, Dullah juga menghasilkan puluhan lukisan untuk dipanjang di Istana. Tahun itu pula Dullah mundur sebagai pelukis, digantikan Lee Man Fong, yang didampingi pelukis Lim Wasim.

Pada tahun 1961, buku Lukisan-Lukisan Koleksi Sukarno, cetakan Tiongkok, editor Dullah, edisi III & IB dan buku Koleksi Ukiran Rakjat Indonesia, terbit. Lalu, pada tahun 1962, Lee Man Fong dan Lim Wasim merestorasi sejumlah lukisan di antaranya karya Raden Saleh. Tahun 1964, buku Lukisan-Lukisan dan Patung-Patung Koleksi Soekarno dicetak di Tokyo, Jepang, editor Lee Man Fong, 1-V, terbit.

Tahun 1965, terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pasca peristiwa tersebut, Lee Man Fong pindah ke Singapura dan Lim Wasim bertahan hingga 1968. Tahun 1966, buku lukisan-lukisan koleksi Soekano jilid  IV-X yang disusun Lim Wasim disiapkan untuk ulang tahun Soekarno ke-65. Namun, buku itu batal terbit. Aktivitas seni Soekarno berhenti ketika senjang tahun 1966-1970, dirinya dilarang beraktivitas hingga meninggal dunia tahun 1970. Soekarno mewariskan lebih dari 2000 koleksi benda seni.  

Pameran ini memperlihatkan jejak perjalanan panjang pengkoleksian lukisan yang dilakukan Soekarno. Bagi para seniman lukis kala itu, Soekarno tidak hanya sekedar penikmat lukisan yang dibeli dari para maestro seni rupa Indonesia. Namun, Soekarno turut membangun nasionalisme para pelukis dalam karyanya.

Soekarno juga memiliki kedekatan dengan para pelukis, khususnya para pelukis Istana. Hubungan Soekarno dengan Basoeki Abdullah misalnya, layaknya saudara. Hubungan Soekarno dengan para pelukis juga terlihat dari beberapa lukisan yang menggambarkan sosok Soekarno dalam beberapa karya di pameran ini. Soekarno juga berfoto dengan mengepalkan kedua tangannya pada lukisan Kawan-Kawan Revolusi, karya Soedjojono.

Soekarno juga berpidato di hadapan rakyat di Istana Presiden Yogyakarta, dengan latar belakang lukisan Laskar Rakyat Mengatur Siasat, karya Affandi. Termasuk, lukisan Memanah karya Henk Ngantung yang menjadi latar belakang konferensi pers perdana pasca proklamasi kemerdekaan RI.

Bagi Soekarno, seni menjadi media yang menggaungkan realitas di masa perjuangan revolusi dan kemerdekaan. Lukisan-lukisan ini memiliki makna mendalam yang selalu dihuhubungkan dengan nasionalisme. Seperti saat membeli lukisan Memanah, kepada Henk Ngantung, Soekarno berujar, “Lukisan bagus. Ini sebuah simbol bangsa Indonesia yang terus, terus, dan terus bergerak maju. Paulatim Iongius itu.”

Pameran ini tidak hanya menjadi ajang memamerkan lukisan dan benda-benda seni koleksi Istana. Namun, lewat karya seni, khalayak diajak merefleksi sejarah perjuangan kemerdekaan, termasuk penghargaan kepada Soekarno, dan upaya pewarisan artefak Indonesia maupun dunia, khususnya karya seni rupa.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 434
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 432
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 401
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya