PERGELARAN MUSIK MELAYU GITA CINTA

Telangkai Festival Musik Melayu Jakarta 2016

| dilihat 3633

BANG SEM

TEMARAM lampu dan tembang liris Saleum (dari Aceh) dilantunkan Nong Niken Astri, salah satu penyanyi lagu Melayu berbakat dan cerdas, membuat saya tertegun beberapa saat.

Kamis, 24 Desember 2015, di Airman Café – Hotel Sultan, Pergelaran Musik Melayu yang diselenggarakan Gita Cinta Production dan 7 Synergi, mengusik intuitive reason untuk tak berhenti mengolah daya cipta performa Musik Melayu.  Seperti Geiz Chalifah – sang maesenas, tak pernah lelah menghidupkan akar penting musik Nusantara – modern itu.

Lagu Saleum, yang ngingatkan kita tentang pentingnya bertegur sapa berisi do’a penghantar silaturrahim, itu didendangkan Nong – dengan gaya khas dia, berbeda dengan gaya dan cara Rafli menyanyikannya. Ada sentuhan popular di dalamnya. Cair. Namun tak kehilangan daya untuk menghantarkan pesan lagu itu ke hati.

Sebelumnya, Fuad Balfas mendendangkan lagu jenaka P. Ramlee, “Madu Tiga” yang belakangan di populerkan lagi oleh Ahmad Dhani. Tapi, tetap dengan beat P. Ramlee. Fuad dengan gaya menyanyinya yang khas, rileks, dengan power yang terkontrol, segera mengingatkan saya pada masa kanak-kanak.

Lagu ini sudah merasuk di benak saya, sejak kecil. Kala tante Junaedah – isteri pertama P. Ramlee – pulang ke Jakarta dari Singapura, selepas berpisah dengan P. Ramlee, meninggalkan putera sulungnya, M. Nasir. Tante Jun (begitu biasa saya memanggilnya) menikah lagi dengan Abdillah Harris pencipta lagu Kudaku Lari dan sutradara film Panji Tengkorak). P. Ramlee menikah lagi dengan Norizan, puteri Perak. P. Ramlee karib dengan Norizan dalam film Pendekar Do Re Mi yang berlakon sebagai Permaisuri Pasir Berdengong.  Selepas itu, P. Ramlee menikah lagi dengan Saloma sampai akhir hayatnya.

GEISZ CHALIFAH DIWAWANCARAI NONG NIKEN ASTRI : TAK PERNAH LELAH MENGHIDUPKAN MUSIK MELAYU

FEBRY'NA SALAH SATU PENYANYI MELAYU DENGAN TONE DAN POWER YANG MEMBERI DAYA BAGI TEMBANG MELAYU KLASIK 

Saya mengenal tante Jun dan Om Harris, karena mereka sering menghabiskan senja di beranda rumah dengan almarhum ayah dan ibu saya. Meski bukan seniman, ayah dan ibu saya karib dengan mereka. Termasuk dengan P. Ramlee. Bahkan menjadi tempat kongkow-kongkow. Saya sendiri karib dengan Arfan, putera Om Harris dan tante Jun (di Malaysia, diyakini sebagai putera kedua pasangan P. Ramlee dengan Tante Jun).

Rumah kami, menjadi semacam ‘tempat hinggap’ sahabat-sahabat ayah dari Aceh, Deli, Banjar, Pekalongan, Pasar Kliwon (Solo), dan Ampel (Surabaya) untuk beragam keperluan. Sesekali datang bertandang Husein Bawafie, Said Kelana, dan M. Mashabi. Juga kamerawan film Kasdullah, dan pemain gendang Ibrahim (saya memanggilnya Bang Boim). Bersama sahabatnya, Om Sujiman (ayah Yulia Yasmin) orang tua saya memfasilitasi dialog, termasuk dialog kreatif.

Selain Madu Tiga, sebagian besar lagu-lagu P. Ramlee sudah lama mengendap di benak saya. Sama halnya dengan tembang-tembang Said Effendi, selain Fatwa Pujangga dan Surga di Telapak Kaki Ibu, dan Haji. Begitu juga dengan tembang-tembang yang lain.

Malam itu, di Airman Café – Hotel Sultan, sekali lagi saya tertegun, ketika Febry’na (kalau tak khilaf) mendendangkan lagu Patah Hati, dengan tone yang pas. Suara Febry yang ‘tajam’ mengusik saya untuk mengulang renungan tentang esensi harmoni syair dan musik lagu Melayu yang menyimpan pesan kedalaman rasa dengan ungkapan sederhana. Tak hanya itu, beberapa lagu yang didendangkan Nong, Fuad, dan Febry seolag mengusik kesadaran baru untuk melihat Musik Melayu secara multi-dimensional.

Secara tematik, pergelaran Musimk Melayu malam itu mengambil tema ‘berdamai dengan bumi.’ Geisz Chalifah, sang pengagas, tepat memilih tema itu. Terutama, karena belum lama berselang, situs-situs budaya Melayu terpanggang para hantu pembakar hutan sehingga menimbulkan bencana asap. Mulai dari Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan lainnya. Situs-situs dalam wilayah Indonesia yang secara alamiah memperlihat korelasi Melayu dengan alam.

FUAD BALFAS PIAWAI MENYAJIKAN TEMBANG MELAYU DAN ARAB DALAM FORMAT YANG LEBIH KONTEMPORER

DABKEH, BIREH, DAN SAHJA - RAGAM TARI ATAU JOGET ARABIA BISA DISAJIKAN DALAM FORMAT YANG LEBIH KAWIN DENGAN RENTAK ZAPIN DAN MUSIK SAMARAH

Meski terlambat dan masih sakit, malam itu saya paksakan datang ke acara itu. Terutama, karena Geisz menggelar malam itu, sebagai ‘ketuk pintu’ untuk Pergelaran Festival Musik Melayu 2016, sebagai kelanjutan dari acara sejenis yang dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Semacam telangkai yang menghubungkan dengan Festival Musik Melayu 2014 di Taman Ismail Marzuki, yang dahsyat.

Merujuk pandangan Ibnu Rusyd yang kemudian dibuktikan oleh Ibnu Batutah – Melayu yang membentang di Jaziratul Mulk (dari Andaman – Nicobar dan Pattani sampai Mindanao dan Maluku) adalah peradaban yang terbentuk oleh asimilasi dan akulturasi kuat. Terutama masuknya pengaruh peradaban Arab, Parsi, Hindi dan Eropa (yang antara lain juga membentuk peradaban Amerika Latin).

L’Cataz – pada malam pergelaran itu atau pada pergelaran sebelumnya – memperkuat keyakinan saya, bahwa musik Melayu sedemikian lapang dan siap berkawin-mawin dengan beragam genre musik Barat, Timur, dan Latin, termasuk dengan jazz dan rock sekalipun.

Ekspresi musikal yang memadu-padan basis musik ritmik dan melodius dalam suatu harmoni, memberi gambaran bagaimana musik Melayu dengan basis homophonic, merupakan musik siap olah daya kreatif yang sangat fleksibel. Bisa berpadu-padan harmonis dengan diatonik dan pentatonik, bisa juga diolah menjadi musik dengan komposisi rumit genre Baroque, ketika stilisasi Baroque terkesan ‘lelah’ hanya menjadi opera ground sejak penghujung abad ke 19.

Keberhasilan Rhoma memasukkan unsur Rock dan kemudian melahirkan genre dangdut di dekade 70-an adalah bukti, lapang dan fleksibelnya musik Melayu. Dan Rhoma, musisi cerdas yang sangat paham, kapan mesti mengambil ulang daya musikal Melayu dan Hindi untuk ‘menyelamatkan’ eksistensi musik dangdut secara musikal, untuk kembali bercengkerama dengan konsep musik Barat.

MUSIK MELAYU DAN TARI ZAPIN TERINTEGRASI DALAM SATU TARIKAN NAFAS

L'CATRAZ BAND PIAWAI MEMAINKAN MUSIK MELAYU DAN KONEKSINYA DENGAN MUSIK ARAB DAN LATIN

L’Catraz – malam itu – meski berada di panggung lumayan ‘terbatas’ – mampu membuktikan kualitasnya sebagai band handal yang sanggup mengikuti psychowave pergelaran. Termasuk mengiringi beberapa penyanyi tamu dari kelompok penyanyi berhijab Qonita – Gaby Pariera dan Yunita Ababil --. Termasuk menyajikan beberapa komposisi musikal yang pas untuk mengiringi rentak tari (joget) zapin, dabkeh, bireh, dan sahja.

Malam itu, sambil menikmati sajian musik L’Catraz mengiringi seluruh penyanyi, segera terbayang di benak, beberapa karya Munif Bahasuan (terutama sejak masih bergabung dengan Los Marenos) – termasuk Laguku, dengan beat Melayu popular khas. Kesemua itu menutup ‘harapan’ ingin mendengar permainan gitar Turki yang urung, karena Fahad Munif – sakit.

Saya membayangkan, Festival Musik Melayu 2016 akan menghadirkan realitas Melayu sebagai peradaban. Terutama kini, ketika kita sedang memasuki ASEAN Society. Bahkan, boleh jadi bisa merupakan pintu masuk untuk melengkapi ASEAN Economic Society dengan ASEAN Cultural Society. Dengan para sahabat, pengurus YIRMI (Yayasan Ikatan Rakyat Malaysia Indonesia) yang dipimpin Penasehat Sosio Budaya Kerajaan Malaysia – Tan Sri Dr. Rais Yatim, saya pernah sampaikan kegiatan yang dilakoni Geisz Chalifah selama beberapa tahun belakangan ini.

Saya fikir, kegiatan ini perlu diback-up juga oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, yang sempat hadir di Istana Budaya – Kuala Lumpur beberapa waktu berselang dalam pergelaran musikal Melayu Indonesia – Malaysia.

Saya membayangkan, kelak di Festival Musik Melayu Jakarta 2016 sejumlah karya Syeikh Albar, Husein Bawafie, M. Mashabi, Said Effendi, P. Ramlee, S.M Salim, Ellya, Munif Bahasoan, sampai Rafli menggugah kesadaran kita untuk ambil peran sebagai pelopor kebangkitan Melayu, sekaligus generator Masyarakat Budaya ASEAN. Geisz bisa diharapkan dan perlu mendapat dukungan serempak secara lebih konkret. | 

Editor : sem haesy