Jakarta Melayu Festival 2016 di Ancol

Telangkai Pesan Jiwa Melayu Lewat Fryda Lucyana

| dilihat 3241

SALAH satu yang menarik dari pergelaran Jakarta Melayu Festival (JMF) V – 2016 di Ancol Beach City – Sabtu: 20 Agustus malam, yang digelar Gita Cinta Production pimpinan Geisz Chalifah adalah tampilnya Fryda Lucyana, sebagai MC (master of ceremony).

Berkebaya warna soft red dengan songket senada, Fryda sungguh tampil sebagai MC, bukan sekadar announcer. Artinya, Fryda yang dikenal sebagai penyanyi, memainkan peran sebagai telangkai (anchor) dalam budaya Melayu.

Malam itu Fryda tampil utuh sebagai telangkai, memberi aksentuasi acara yang digelar, memberi makna atas rundown yang eksekusinya dikoordinasi Anggi.

Meski siang harinya agak kurang fit dan rada kuatir dengan hembusan ‘angin malam’ pantai utara Ancol, ketika menjalankan fungsinya sebagai MC, Fryda justru nampak bergairah.

Ia larut dalam suasana musikal pergelaran yang lebih banyak menghadirkan tembang-tembang ritmis khas Melayu dengan satu dua tembang melodius. Aksen Melayu Fryda terasa kental.

Sebagai penyanyi, Fryda terkenal karena tembang Rindu, pada album Nuansa Cinta (1995). Selepas itu, dia eksis di pelataran musik Indonesia karena albumnya bertajuk Fryda (1999). Belum lama ini dia menyumbang keelokan suaranya pada lagu Rinduku PadaMu dan Doa untuk Negeri pada album terbaru (religius) Eros Djarot, Nabiku Cintaku ini.

Penyanyi kelahiran 17 Desember ini, membuka pergelaran Jakarta Melayu Festival 2016 dengan pantun, usai Nong Niken Astri menyajikan lagu pembuka Hikayat Cinta Negeri Melayu. Intonansinya jelas, kendati terganggu sound yang delay.

“Hikayat Negeri Melayu boleh dihafal, penanda jiwa selalu terbuka,.... Selamat datang di Jakarta Melayu Festival, Daulat Negeri Indonesia merdeka..,”ujarnya.

Selepas beruluk salam, Fryda menyapa sejumlah tetamu khas pergelaran malam itu, Duta Besar Malaysia Dato’ Seri Zahrain Mohammed Hashim, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, Ferry Mursidan Baldan, Anies Baswedan, Bursah Zarnubi, Anggota DPR RI Kurtubi dan Irgan Chairul Mahfidz, dan lainnya.

Fryda mengingatkan, dendang musik dan lagu melayu yang akan disajikan para musisi dan penyanyi malam itu, adalah akar budaya aseli nusantara. “Jiwa Indonesia, jiwa bangsa, jiwa yang menyatukan kita...,”katanya.

Lantas dia berkata, “Ibarat sebuah perahu, bangsa kita sedang berlayar malam, menuju samudera luas lepas yang dalam. Kita berharap, nahkoda yang memimpin seluruh anak buah kapal selalu paham...” (baca: Musik Melayu Jangan Layu).

Ungkapan sarat makna itu memberi bekal bagi penonton untuk memahami lebih mendalam lirik lagu Lancang Kuning yang didendangkan Darmansyah, memang sarat makna dan berisi pesan khas tentang kepemimpinan.

Lirik lagu Melayu memang bertolak dari pantun beragam format, termasuk format rubaiyyat dan gurindam. Lirik dalam Lancang Kuning yang berformat rubaiyyat, berdimensi kedalaman makna tentang kecakapan kepemimpinan dalam menentukan arah dan tujuan perjalanan kehidupan (keluarga, masyarakat, negara dan bangsa) menuju tujuan, kala hidup diamsalkan sebagai suatu perjalanan berlayar di gelap malam.

Selepas duet Darmansyah dan Nong Niken Astri menyajikan tembang Perawan dan Bujang yang mengekspresikan dinamika kehidupan kaum muda yang berselimut enjoyable life,  Fryda tampil kembali dan menggugah.

Dia mengusik penonton untuk sesaat bercermin dengan pertanyaan datar: “Sungguhkah nusantara kita masih tanah surga? Seberapa dalam kita mencintainya?” Tampak sejumlah tokoh yang menonton malam itu menatap Fryda dan menyimak apa yang dikatakannya

“Cukupkah pantun cinta mewakili cinta kita?” tanya Fryda. Lantas, dengan nada aksentuatif dengan retorika gaya Aristopanes, Fryda melanjutkan.

“Jangan juga lupa.., bila terlampau jauh merantau, selalulah ingat Indonesia kita. Dan jangan menunggu dipanggil untuk kembali pulang,” lanjut Fryda.

Seketika, para tokoh, seperti Taufiqurrahman Ruki, Anies Baswedan, Ferry Mursidan Baldan, Bursah Zarnubi, Faisal Motik, dan beberapa lainnya, nampak tersenyum. Boleh jadi, mereka teringat cerita tentang semangat memanggil pulang para diaspora untuk mengabdi kepada Indonesia, dan ternyata sudah menjadi warga negara lain.

Padahal yang disampaikan Fryda hanyalah telangkai bagi Kiki Ameera yang akan mendendangkan lagu Surga Cinta, lalu berduet dengan Tom Salmin menyanyikan Pantun Cinta, yang dilanjutkan oleh nyanyian merdu dan lirih Tom Salmin bertajuk Kembali Pulang. Sesuai rundown acara.

Sebelum Tom Salmin, Fahad Munif, Hendri Lamiry, Butong, Anwar Fauzi berkolaborasi dengan seluruh musisi menghadirkan sajian khas Speak Softly Love, Jangan Bermuram Durja,  dan Cinta Suci, Fryda melontar kata pengantar yang khas. (Baca: Eksplorasi Kreatif Seniman Melayu)

“Walaupun hidup kadang terasa getir, jangan mudah bermuram durja. Tetaplah optimistis. Semaikan terus cinta suci di dalam jiwa.. Dengarkan denting dawai oud dipetik Fahad Munif..,”ujar Fryda.

Fryda menggunakan kalimat bersayap, mengganti telangkai yang dalam tradisi Melayu biasanya dihadirkan penuh dalam bentuk pantun.

Sebelum Iyeth Bustami dan Kiki Ameera tampil mendendangkan Sabda Cinta,  Fryda kembali mengantar. Kali ini dia berkata, “Ada sesuatu yang lepas dari tangan, dan kelak akan kita rindukan. Itulah Cinta....”

Jleb ! Fryda menjadi telangkai pesan jiwa Melayu yang halus dan khas. Kata-katanya, bagai mengikuti pula gerak irama lenggang lenggok penari Melayu dari Konsentra Sumut dan Rogesh Dancer.

Fryda seolah ingin mengingatkan, betapa sejak beberapa masa terakhir, kehidupan personal dan sosial kita sering mudah terjebak friksi dan konflik, lantaran kehilangan cinta yang tulus dan murni dalam membangun harmoni kehidupan.

Usai Iyeth Bustami mendendangkan Laksmana Raja di Laut dan sejumlah tokoh masyarakat yang menonton malam itu berdendang tembang Rentak 106 di atas panggung dan sejumlah penonton berjoget di tempat yang disesidkan di bawah panggung, untuk menurunkan ritme pergelaran, Fryda kembali melontar kalimat pengantar yang mengulik dimensi kedalaman lirik dan nada lagu.

“Hadirin dan penonton semua.. Tak hanya cinta yang pergi dan lepas dari tangan.. Tapi juga budi.. Akibatnya kita seringkali mudah bergaduh..,”ujarnya.

Usai Fryda menyampaikan kalimat itu, Butong mendendangkan lagu bertajuk Budi, dengan lirik yang bercerita mendalam bagaimana dalam tradisi Melayu, budi (akhlak) sangatlah utama.

Tegaknya bangsa karena budi, hilanglah budi bangsa binasa,” ucap Butong melantunkan rangkaian lirik lagu yang seolah mengusik kesadaran kita.

Suara Butong yang khas dan ‘dalam’ membuat penonton ‘terayun’ untuk merenungkan kembali perginya budi dalam berbagai aspek kehidupan kita, sehingga kita abai memelihara fatsoen politik, etika bisnis, akhlak sosial, dan sejenisnya di berbagai lingkungan kehidupan sehari-hari.

Menjelang tampilnya Amigos Band di penghujung acara, Fryda turun panggung, menghampiri sejumlah penonton yang datang dari berbagai daerah. Beberapa penonton ada yang baru pertama kali menonton. Ada juga yang untuk kedua kalinya, dan yang beberapa kali.

Seorang penonton berpakaian khas Melayu a la Deli dihampiri Fryda dan dia mendendangkan sekuplet lagu Yale-Yale.

“Rasanya ingin cepat kita bertemu lagi dengan Jakarta Melayu Festival ke enam, 2017,” ungkap salah satu penonton yang tiba-tiba saja dikunjungi Fryda.

Sebelumnya sejumlah penyanyi mendendangkan beberapa lagu yang mereka siapkan, dan Fryda merangkai judul-judul lagu itu dalam satu kalimat.

“Janganlah cinta dan budi kita hilang tak berkesan. Jangan juga menjadi beban asmara yang menghadapkan kita dengan dosa dan siksa,”ujar Fryda.

“Dengan daulat negeri kita mesti siapkan diri, berpacu dengan zaman, seperti sedang menaiki kuda Sumbawa, untuk kelk menggelar zapin melayu di pentas dunia..” sambung Fryda lagi.

Lalu berdendanglah Amigos Band dengan serangkaian lagu-lagu Melayu pop yang mengajak kembali penonton masuk dalam sukacita. Menjelang akhir pergelaran, terasa.. tembang yang pernah didendangkan Fryda tahun 1995, melintas di arena pergelaran malam itu. Rindu.

Kita rindu kehidupan bermasyarakat berbangsa yang seperti diimpikan para founding fathers negara ini. Karenanya kita selalu mencari cara untuk mewujudkan cita-cita mereka. Ketika Fryda ‘menghilang’ dari panggung, terbayang suasana jelang senja di bawah terik mentari, seolah dia mendendangkan syair:

Selama aku mencari / Selama aku menanti / Bayang-bayangmu di batas senja / Matahari membakar rinduku / Ku melayang terbang tinggi // Bersama mega-mega / Menembus dinding waktu / Kuterbaring dan pejamkan mata / Dalam hati kupanggil namamu / Semoga saja kau dengar dan merasakan // getaran di hatiku / Yang lama harus akan belayanmu / Seperti saat dulu / Saat – saat pertama / Kau dekap dan ... / kau bisikkan kata-kaya aku cinta padamu / Peluhku berjatuhan / Menikmati sentuhan / Perasaan yang teramat dalam / T’lah kau bawa segala yang kupunya / Rindu ini t’lah sekian lama terpendam // | JM Fadhillah

Editor : sem haesy
 
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 274
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 137
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 99
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 515
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 524
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 444
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya