Refleksi dari Arena Lebaran Betawi

| dilihat 1465

Bang Sèm

Jum'at (19/7/19) petang, saya mengajak cucu ke Monas. Di situ sedang digelar Lebaran Betawi ke XII, yang berlangsung sampai Ahad (21/7/19).

Sejumlah ibu-ibu dari Madura, Mandailing, dan Banjar, secara berkelompok, berpose di beberapa stand yang sedang memungkas kemasannya.

Ini kesempatan saya menjelaskan banyak hal kepada cucu yang berusia 6 tahun dan pertanyaannya 'ngulik.'

Kepadanya saya menjelaskan tentang berbagai hal. Mulai dari ikon Betawi, Gigi Balang yang menandai eksistensi Betawi sebagai salah satu anasir penting bangsa Melayu. Pun, ihwal kembang kelapa, ondel-ondel -- mulai dari yang sering dia lihat ngamen keliling Jakarta, ondel-ondel articografis dari stereoform, ondel-ondel kontèt, sampai model rumah Betawi.

Tiba di depan stand Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu yang memajang model perahu di sudut arena, menjawab pertanyaannya, saya mesti bicara agak intens tentang laut, pantai, Betawi dan pola migrasi masa lampau yang memberi pengaruh atas terbentuknya kaum Betawian sebagai perkembangan lanjut dari Betawi pituin -- yang juga merupakan perkembangan lanjut dari masyarakat lokal Kalapa.

Tiba di rumah, saya putarkan video dokumentasi pernikahan ayah-ibunya yang secara sengaja saya rancang sebagai peristiwa budaya Betawi. Setiap adegan pada video dokumenter itu saya ceritakan lebih intens. Mulai dari Palang Pintu yang merupakan harmonisasi silat tradisi, singkè, pantun, dan beberapa tarian yang menyertainya.

Saya juga cerita tentang Keroncong Betawi dan Orkes Melayu yang dia lihat di video itu, yang sempat membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Hj. Ani Bambang Yudhoyono - ketika itu, tertegun dan memberi apresiasi kepada para musisi yang dikomandani H. Yoyo.

Pernikahan anak pertama saya itu menjadi sungguh peristiwa budaya Betawi, karena besan saya juga Betawi.

Sebelum meninggalkan acara Lebaran Betawi, saya ajak cucu saya singgah di beberapa stand yang menghadirkan aneka kuliner Betawi. Mulai dari kerak telor, geplak, dodol, wajik, kue satu, gado-gado, soto mie, pindang bandeng, dan lainnya.

Di salah satu stand, dia berdiri agak lama menyaksikan bagaimana proses pembuatan dodol berlangsung. Pengunjung lain, mengambil kesempatan selfie dengan gaya seolah-olah sedang mengaduk dodol.

Sabtu pagi -- jadual biasa saya jalan sehat di Monas -- saya manfaatkan sekali lagi menyaksikan beberapa acara yang digelar di situ.

Bagi saya, hal paling menarik dari kegiatan Lebaran Betawi adalah berkomunikasi langsung dengan mereka yang menjaga dimensi budaya dan tradisi Betawi, seperti dua anak muda di stand pembuatan dodol atau tukang kerak telor. Pun penjaga stand bir pletok.

Dari mereka saya peroleh beragam informasi yang saya anggap penting menjadi pertimbangan para petinggi kaum Betawi. Yakni korelasi ikhtiar memelihara harkat kaum Betawi dengan realitas kehidupan pertama kaum Betawi itu sendiri. Khasnya, ketika terjadi perubahan mengesankan di kalangan kaum Betawi terdidik yang kini membentuk lapisan middle-middle society. Termasuk bagaimana menghidupkan kreativitas, inovasi, dan invensi yang mampu mendorong produktivitas, supaya tidak mudah terjerat dalam jebakan kaum menengah.

Dalam konteks ikhtiar memelihara dan meningkatkan harkat kaum Betawi supaya tak lagi mengalami marginalisasi banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.

Mendengar dan menyimak apa yang dikemukakan kaum Betawi yang konsisten menjaga dan memelihara tradisi Betawi dalam kehidupan sehari-hari, itu setidaknya saya beroleh 4 sentra kepedulian (focal concern).

Pertama, belum kuatnya akses kaum Betawi terhadap modal, pasar, dan informasi bisnis untuk mengangkat produk budaya mereka ke dalam kancah kompetisi produk. Kondisi ini mestinya mendorong seluruh organisasi yang terhimpun dalam Bamus Betawi berfikir - bersikap - bertindak, bagaimana menguatkan akses itu. Termasuk dalam konteks social security net;

Kedua, belum kuatnya proses relasi budaya antara kalangan petinggi kaum Betawi dengan kaum Betawi itu sendiri, sehingga masih terdapat kesenjangan antara realitas pertama kehidupan kaum Betawi dengan realitas kedua yang dipikirkan para petinggi kaum Betawi;

Ketiga, masih relatif jauh jarak antara produk budaya Betawi dengan dinamika perekonomian di Jakarta yang bergerak sangat cepat. Produk-produk budaya Betawi belum banyak yang dikembangkan sebagai produk bernilai ekonomi;

Keempat, masih kuatnya orientasi struktural yang berlum diimbangi dengan reorientasi nilai ke-Betawi-an, sehingga berbagai komunitas dan organisasi sosial kaum Betawi masih berkutat pada lokus aktivitas dan program yang sama.

Dalam konteks itu, agaknya, perlu aksi rethinking Betawi - pemikiran ulang tentang Betawi dan ke-Betawi-an, melalui dialog sceenario plan untuk merumuskan, sekurang-kurangnya Visi Betawi 2045, sehingga ada bentang waktu pencapaiannya sepanjang dua dasawarsa. Sekaligus merumuskan kembali konstelasi kaum Betawi pada era 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.

Perkembangan dinamis kaum Betawi sampai saat ini, perlu dilanjutkan dengan berbagai langkah, sehingga mempunyai kesinambungan progressif dari dimensi pemeranannya, sejak berdirinya Perkoempoelan Kaoem Betawi, perannya dalam Soempah Pemoeda 1928, dan peran politik -- sebagaimana dipelopori M. Husni Thamrin di volksraad -- secara lebih fungsional, proporsional, dan lebih berkualitas.

Dari sela riuh stand-stand usaha kecil mandiri di pelataran eks Taman IRTI - Jakarta Fair Monas dan geliat semangat wirausaha generasi millenial Betawi yang masih mau berkeringat mengolah adonan dodol dan memperkenalkan bir pletok, saya memandang 'pucuk emas' Monas. Mencoba menarik masuk suasana kebatinan apel besar di lapangan Ikada, mengunggah semangat masa depan kaum Betawi.

Atmosfir Lebaran Betawi merasuk. banyak sisi positif di dalamnya yang bisa dieksplorasi. Saya selalu menghindari cara pandang 'melihat dari lubang kunci,' tanpa mengabaikan, setiap kekurangan dalam penyelenggaraan peristiwa semacam ini, merupakan butir-butir penting guna memperbaiki diri ke depan.

Dalam konteks itu, semangat bersatu untuk mengusung satu Betawi, dengan membuang kebiasaan bocah: pengambekan, pencelaan, pengirian, dan mengubahnya menjadi kritik proporsional, akan mampu mengubah cara pandang (minda) kita dalam melihat Betawi ke depan.

Langkah yang sudah diayunkan oleh H. Eddy M. Nalapraya, H. Nuri Thahir, H. H. Abdul Syukur, H. Nachrowi, H. Effendy Yusuf, H. Rusdi Saleh, H. Bambang Syukur, H. Muhayat, H. Margani Mustar, H. Becky Mardani, dan kawan-kawan beberapa pekan lalu, perlu dilanjutkan. Terutama untuk memberi makna atas lembaga-lembaga ke-Betawi-an yang perlu terus menerus diperkuat dan disempurnakan perannya. (Baca: Hati Bungah Melihat Betawi Mesra)

Di sini, Bamus Betawi dan Lembaga Kebudayaan Betawi menjadi sangat strategis. Khasnya untuk menjawab tantangan dan peluang yang terbuka luas, sambil secara jernih dan jujur mengenali kelemahan diri, guna memperoleh kekuatan baru yang pas untuk masa depan. Berbagai potensi ke-Betawi-an perlu diakomodasi dan beroleh peran strategis di depan.

Kepada cucu, ketika pulang, saya katakan, "Di Tanah Betawi kamu dilahirkan dan kepada kemajuan Kaum Betawi, kelak kamu mesti memberi makna ilmu dan teknologi di jamanmu. Jaman yang mungkin tak kan pernah bisa kukunjungi.." |

Editor : Web Administrator
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 732
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 890
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 841
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 224
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 320
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya