Endang Caturwati
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Di dalam Al Quran, Allah menyebutkan dalam firman-Nya, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” (QS At-Tin : 4). Oleh karenanya manusia mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh mahluk hidup lain, yaitu akal. Dengan akal, banyak hal dapat dilakukan dan diciptakan manusia, salah satunya adalah seni.
Seni merupakan ekspresi perasaan manusia yang memiliki unsur keindahan di dalamnya dan diungkapkan melalui suatu media yang sifatnya nyata, baik itu berupa bentuk nada, rupa, gerak, dan syair, ataupun dapat dirasakan oleh panca indera manusia, atau sesuatu yang yang fungsional dan secara estetis menyenangkan mata kita (Carl Gustav Jung). Seni adalah proses Fundamental manusia (Padmono). Seni, merupakan ungkapan perasaan pencipta/seniman, yang kemudian diungkapkan pada orang lain dengan harapan mereka dapat merasakan apa yang dirasakan oleh penciptanya (Leo Tolstoy).
Seni dan manusia tidak dapat dipisahkan, karena pada intinya manusia menyukai keindahan. Itu sebabnya Seni dapat mempengaruhi perasaan seseorang yang melihatnya, atau mendengarkannya. Pengalaman dari apa yang selama ini saya amati, saya lakukan, dan saya rasakan, saya berpendapat, “Seni adalah kecerdasan dan kejujuran, karena ada proses kreativitas hasil dari pemikiran, renungan, dengan memperhitungan berbagai aspek, khususnya aspek nilai. Oleh karenanya seni erat kaitannya dengan rasa, selain, pikir, nalar, dan dria."
Seniman atau orang seni mempunyai kepekaan rasa yang tajam, sehingga sangat halus dalam mengungkapkan tutur kata, tercermin pada baik-bait lagu dalam syair yang indah. Setiap kata mengandung makna, difikirkan untuk dapat dipahami bagi siapapun yang mendengarkannya, agar pesan-pesannya dapat sampai pada yang mendengarkan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. KH.Aswin R. Yusuf, tokoh muslim di Jakarta, ketika mendengar beberapa karya lagu saya, “Saya melihat Prof.Endang Caturwati begitu cepat menangkap berbagai fenomena, difikirkan, dirasakan, dan diungkapkan melalui karya-karya yang bisa mencerahkan pikiran dan perasaan, menyentuh hati dan kalbu.” Dr. Aswin, lalu mengatakan, “Syair yang bagus dapat menginspirasi” setiap orang yang mendengarkannya. Sebuah lagu bisa membuat orang menjadi tersentuh, karena untaian kata dari syair yang indah, penuh dengan makna, dan mempunyai nilai estetika.
Hampir semua orang di dunia ini senang mendengarkan lagu. Sebuah lagu yang enak didengar tentu memberi kesan tersendiri bagi pendengarnya. Lagu yang saya buat, hampir semua terinspirasi dari (melihat) fenomena, gejala alam, atau hikmah dari yang saya lihat, saya rasakan, dan saya alami, yang kemudian saya tulis, tanpa pretensi apapun, serta mengalir begitu saja.
Cahaya Hati
Saya menyanyikannya pada suatu peristiwa atau momentum yang terkait dengan makna lagu, akhirnya saya sering diminta menyanyikannya pada acara-acara tertentu. Selanjutnya, berkembang menjadi susuatu yang saya sendiri tidak menduga, antara lain ada yang minta diberi hadiah lagu, pada momen penting acara pernikahan anaknya, ulang tahunnya, peluncuran buku, pembukaan Festival Seni, atau peristiwa lainnya.
Sebagai contoh, Koreografer kondang asal Yogya, Dr. Miroto, meminta saya membuat lagu berjudul ‘Indahnya Raja Ampat’ untuk mengiringi ‘Karya Tari Kolosal” di awal tarian ‘Pesona Raja Ampat‘ yang dibawakan oleh 500 Penari asal daerah Raja Ampat dan Kota Sorong Papua Barat, pada tahun 2014.
Acara tersebut dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan para peserta Sail Raja Ampat, dari berbagai negara. Saya sendiri bingung, bagaimana awalnya, Miroto (Doktor ISI Yogjakarta) meminta kepada saya untuk dibuatkan lagu, padahal saya bukan komposer. Orang lebih mengenal saya sebagai seniman tari.
Begitu pula Pak Bantoro, meminta lagu ‘Angan-angan’, untuk sontrek Film Anak-anak Berjudul ‘Nyanyian Benderaku’, dan Juga Direktur Pembinaan Paud Kemdikbud, Dr. Ela Yuliawati , meminta saya membuat lagu anak-anak., lengkap dengan gerak tarinya.
Peristiwa yang selalu saya ingat dan merupakan kenangan tersendiri, terkait dengan proses penciptaan beberapa lagu saya, di antaranya ketika ibu Nani Sudarsono -- Mentri Sosial Republik Indonesia Kabinet IV masa Presiden Suharto masih ada (almarhum) --, meminta saya menyanyikan lagu Kroncong pada Festival Kroncong Tingkat Nasional yang diselelenggarakan di kota Solo oleh Yayasan Retno Dumilah (2015). Beliau meminta saya menyanyikan dua buah lagu, yang dinyanyikan pada awal pembukaan dan penutupan Festival Keroncong.
Awalnya saya menolak, karena tidak satupun lagu kroncong yang saya kuasai, terutama cengkok sebagai ciri khas genre lagu tesebut. Namun, Bu Nani keukeuh meminta saya, bahwa lagu apapun bisa diiringi dengan musik Kroncong. Bahkan, beliau mengatakan, pernah mendengar saya menyanyikan lagu ‘Saputangan dari Bandung Selatan’ dan ‘Juwita Malam’ diiringi Musik Keroncong di Istana Negara.
Kemudian tibalah saatnya harus menyanyikan lagu karya saya pada Pembukaan Festival Kroncong Tingkat Nasional yang berjudul “Cahaya Hati‘, dan lagu "Mentari" pada penutupan Festival. Ibu Nani Sudarsono, sangat suka dengan kedua lagu tersebut, yang kemudian keduanya direkam dengan gaya Musik Keroncong, di Studio Rekaman Jakarta, dan menjadi CD Lagu-lagu Kroncong dalam kompilasi sepuluh Pemenang Karya Lagu-lagu Keroncong lainnya, dan harus dinyanyikan langsung oleh vokal saya sendiri (lagu-lagu lainnya oleh penyanyi Keroncong).
Sebetulnya saya masih belum terbiasa menyanyi diiringi musik Kroncong, yang seakan iramanya menggandul-gandul, apalagi penyanyi lainnya merupakan para penyanyi professional Gaya Kroncong. Untungnya saya suka dengan irama music jazz, yang juga iramanya menggantung, harus ada kepekaan rasa birama yang kuat dari penyanyi. Akan tetapi setelah dirasakan, dan dihayati, ada sesuatu yang selama ini belum pernah saya rasakan, harmoni keindahan irama serta warna musik yang khas dari instrumennya, terutama dari suara biola, cello, flute (seruling), hentakan contra-bass, ukulele, saxophone, dan banyo yang menghanyutkan perasaan, begitu indah dan menghadirkan kenyamanan tersendiri.
Pengalaman Spiritual
Proses penciptaan lagu, tidak lepas dari urusan rasa dan hati, selain pikiran dan nalar ikut serta di dalamnya, yang kemudian menjadi pengalaman spiritual. Ada suatu peristiwa yang bisa melembutkan hati saya yang galau, risau, dan kecewa, bahkan hampir marah tak terbendung.
Pada tanggal 16 Oktober tahun 2012, saya harus pulang ke Bandung dari Bandara Maguwo Yogyakarta, untuk menguji mahasiswa bimbingan saya S2 ISBI Bandung. Pagi hari saya siap berangkat dari Bandara Maguwo, setelah pada malam sebelumnya, menghadiri Penutupan ‘International Ramayana Festival’ di Candi Prambanan (15/10/12).
Ujian akan diselenggarakan pukul 10 pagi, saya menghitung waktu, apabila pesawat take off pukul 06.00 masih keburu. Akan tetapi tiba-tiba ada pengumuman, pesawat delayed karena ada kerusakan mesin. Saya menunggu hingga lima jam, tidak juga ada tanda-tanda pesawat akan diterbangkan. Betapa saya sangat kecewa, karena mahasiswa bimbingan saya tidak jadi saya uji.
Akhirnya saya ambil amplop tiket pesawat, saya tumpahkan kekecewaan saya dengan tulus dan ihkas dari hati yang paling dalam, dengan menulis kata-kata, memohon kepada Allah, dan bersyukur, kerusakan pesawat terjadi di darat, bukan di udara. Semua karena kehendak Allah. Saya membayangkan, seandainya kejadian tersebut terjadi ketika di udara, tidak ada lagi nama Endang Caturwati hingga saat ini.
Hikmah di balik itu semua, mengusik dan melembutkan hati saya untuk bersyukur dan munculah syair dan bait-bait kata-kata, yang entah darimana asalnya, semua mengalir begitu saja, menjadi sebuah syair sekaligus dengan nada-nada, yang kemudian saya gubah menjadi sebuah lagu, saya beri judul “Kasih tak Bertepi. Merupakan hikmah, betapa besar kasih sayang Tuhan kepada manusia, tetapi seringkali manusia tidak pandai bersyukur.
Dalam membuat lagu, sebagian besar syair dan lagu saya ciptakan sendiri, yang terkadang saya sendiri heran, ide dapat muncul kapanpun, di manapun (di pesawat, bandara, stasiun kereta, ketika melihat pemandangan alam yang sangat indah, melihat matahari muncul), sebagai refleksi batin mensyukuri ciptaan Tuhan yang sangat indah dan lain-lain.
Selain itu ada beberapa lagu yang saya buat dari puisi orang lain (yang diberikan kepada saya, dan saya tertarik dengan untaian kata yang sangat indah, penuh makna, terutama mempunyai nilai-spiritual), kemudian saya minta izin kepada si pembuat syair untuk digubah menjadi lagu.
Lagu-lagu gubahan saya, sering diminta untuk dinyanyikan pada acara, Seminar, Stadium General, Wisuda, terutama di berbagai perguruan tinggi, termasuk perguruan-perguruan tinggi Islam di Jawa Barat, antara lain, Kasih Tak Bertepi, Mentari, Di Ambang Biru, Hanyalah Dia, Setetes Embun, dan Swara Insani.
Di antara syair lagu yang saya gubah, adalah karya Dr.K. H. Aswin R. Yusuf, seorang ulama Pembina Jami'iyyatul Islamiyah (Jakarta) berjudul ‘Sebuah Renungan’; Syair Budayawan Syam Haesy (Jakarta), berjudul ‘Hanyalah Dia’ dan ‘Swara Insani’; Syair karya Gus Nas 'Setetes Embun' dan 'Meraih Mimpi.
Ketika lagu-lagu tersebut dilantunkan, sebagian pendengar mengatakan, sangat menyentuh rasa, mereka meneteskan air mata, dan terinspirasi tentang makna dan hakekat hidup.
Beberapa Ulama, dan Guru Besar Agama, mengatakan lagu-lagu saya merupakan syiar estetik, artistik berbalut etik. Menggugah dan memandu muhasabah. Dalam bahasanya Agustian, Penyiar Salam Radio Streaming (Jakarta), yang setiap pagi mengudarakan lagu-lagu saya dalam Acara ‘Dari Udara Kita Bersama Lawan Corona,’ lagu lagu karya saya ‘menyentuh rasa, menghentak kalbu’. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya, karena poroses menggubah semua lagu itu, saya lakukan mengalir sebagai ekspresi hati di sela-sela kesibukan belaka.
Penyakit Hati
Berkaitan dengan lagu yang menyentuh rasa, pada hari Jum’at tanggal 17 April 2020, saya diundang untuk mengikuti Ceramah Live Streaming Dr. Aswin, pada pukul 19.00 - 21.00. Peserta yang mengikuti ceramah, itu sekitar 400 orang, berasal dari 27 daerah di Indonesia, mulai Jambi hingga Nusa Tenggara Barat.
Ada metoda yang sangat bagus dari ceramah Dr. Alwin, adalah materi yang dibahas diperoleh dari pertanyaan–pertanyaan para perserta, yang diminta langsung olehnya. Beruntung saya mendapat kesempatan bertanya, di antara lima orang penanya lainnya.
Saya penanya kedua yang diberi kesempatan mengungkapkan masalah dan pertanyaan terkait dengan nilai-nilai kebajikan. Saya tidak menyangka, diberikan kesempatan ini, mungkin karena saya satu-satunya peserta berlatar pendidikan Seni Budaya. Sebagian besar mereka bersal dari Perguruan Tinggi Agama, sejumlah guru besar, Rektor, pejabat, serta dosen dari perguruan tersebut. Saya bertanya tentang ‘rasa, hati, dan harmoni’, yang terkait dengan cermin jiwa dan rasa nyaman.
Bagi orang seni, semua itu merupakan modal utama untuk mengolah suatu kreativitas karya seni. Apalagi yang melakukannya adalah seniman tari atau seniman musik, harus bisa menari dengan rasa, menari dengan hati, menyanyi dengan rasa, menyanyi dengan hati, serta bermusik dengan hati.
Ada kesinambungan antara lagu dan musik, dan seluruh unsur yang terkait sehingga, menjadi karya seni yang indah dan harmoni. Kaitannya dengan kehidupan sehari-hari bagi umat bersosial, hal tersebut sangatlah penting. Bertutur kata dengan kata-kata yang indah dan beretika, bersikap dengan santun dengan hati yang tulus, dan lain sebagainya.
Sebelum ke topik pertanyaan, saya ungkapkan terlebih dahulu realita yang banyak terjadi, di masyarakat, bahwa pada saat ini, masih banyak orang yang tidak bisa menjaga hati dan rasa. Dia hanya menggunakan pikiran tanpa menggunakan akal sehat, yang kaitannya dengan hati dan rasa, sehingga sering menjadikan ‘luka hati’ pada personal atau kelompok. Akhirnya hubungan personal dan kelompok menjadi tidak nyaman dan tidak harmonis karena 'penyakit hati.'
Padahal sejak dulu, orang tua kita selalu memberi contoh yang baik, dengan tutur kata yang lembut. Terlebih dalam budaya kita di Indonesia, kearifan lokal di berbagai daerah mengajarkan, nilai-nilai yang disebut “ngaji diri, ngaji rasa, tepo sliro, silih asih, asah dan asuh (mengkaji diri, mengkaji rasa, Intropeksi, saling mengasihi, saling mendukung sama-sama berbagi kepandaian, saling menjaga, atu mengasuh).”
Dalam bahasa Jawa ada istilah “Ajining diri gumantung seko obahing lati” (harga diri orang tergantung apa yang dikatakannya) , dalam arti perkataan orang yang punya hati dan punya rasa, selalu tidak akan tega mengatakan kata-kata yang akan menyinggung dan melukai hati orang lain. Terkait juga dengan Syair Sebuah Renungan’ karya Dr.Aswin yang telah saya buat lagu.
Mengapa saya tertarik membuat lagu dari syair karya Dr. Aswin, karena dari syairnya, setiap kata mempunyai pesan yang mendasar bagi kehidupan manusia, paling tidak untuk diri saya pribadi. Terutama kunci pertama adalah “ Tuhan memberi akal pikiran, dan “ilmu di dalam dada”.
Terkait dengan pernyataan mengenai orang yang tidak menggunakan hati dan rasa, adalah : “Bagaimana menurut pendapat Dr. Alwin, untuk menyikapi fenomena ini” yang sama sekali tidak sesuai dengan apa yang diembannya sebagai orang-orang yang mempunyai amanah. Padahal dalam syair ‘Sebuah Renungan,” sangat jelas menguraikan tentang akal dan pikiran, tentu yang harus digunakan adalah akal dan pikiran yang sehat dan rasional, sehingga akan terpancar pada rasa dan hati.
Pertanyaan saya, diperkuat oleh pendapat cendekiawan muslim Indonesia, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, seorang filsuf, ilmuwan, pakar Hermertika (Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga - Yogyakarta), yang menuturkan “Pertanyaan Prof. Endang memang betul adanya, pada saat ini terkait dengan Pendidikan Karakter di sekolah-sekolah yang semakin memudar, yang berkaitan dengan penurunan Akhlak dan Budi.
Menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, Dr. Aswin mengemukakan, Science dan knowledge atau ilmu pengetahuan sudah sejak lama ingin berperan atau intervensi terhadap bagaimana tingkah laku manusia, dengan berbagai dampak yang tidak baik. Dimulai dari pertikaian yang sederhana kemudian menimbulkan permusuhan, apabila masuk ke ranah seminar akan terjadi perdebatan, pertikaian, perbantahan, yang tidak pernah habis-habisnya. Mereka memulainya dengan berfikir memakai nalar yang objektif, namun kemudian menimbulkan suasana yang kurang baik. Kadangkala manusia yang merasa pintar, di saat galau tidak bisa menjawab darimana sumber kegalauan tersebut, dan bagaimana menyelesaikannya. Mengapa mereka menjadi tidak senang kepada orang lain, mereka tidak mau menyadari dari mana datangnya, mereka pun tidak dapat menyelesaikannya, dan hatinya tertutup.
Pada saat ini, banyak manusia yang menutup hati, menutup rasa, karena pikirannya gelap, tingkahnya sombong, congkak, yang akhirnya begitu mudah menebar fitnah, galau, tidak jelas, penggunjing, sak wasangka. Banyak orang Besar, orang yang seharusnya telah selesai dengan dirinya tidak lagi mengurusi yang kaitannya dengan penyakit hati, yang seharusnya menjadi model bagi anak-anaknya, keluarganya, mahasiswanya, koleganya, dan juga karyawannya, sama sekali lupa dengan amanah.
Coba kita renungkan, garam tidak bisa mengatakan asin, gula tidak bisa mengatakan manis, buah asem tidak bisa mengatakan masam. Yang bisa mengatakan asin, manis, dan masam adalah rasa. Orang yang tidak berbudi, dia tidak punya rasa dan tidak punya hati. Hal tersebut disebut sebagai penyakit hati.
Penyakit hati membelenggu diri, karena selalu mendengarkan bisikan setan. Seharusnya setiap hari kita merenung, berapa kali hari ini kita membuat kesalahan atau kejahatan, berapa kali kita telah melukai hati orang, berapa kali tidak menggunakan akal, berapa kali pikiran kita digunakan tidak sesuai dengan seruan hati, berapa kali kita meninggalkan sholat.
Selanjutnya masih harus bertanya kepada diri sendiri: apakah kita telah memberikan zakat, sedekah, apakah kita telah menolong orang lain, apakah kita mengajar dengan benar, apakah kita bekerja dengan sunguh-sunguh, apakah kita menolong dengan hati yang tulus, apakah kita merasakan penderitaan orag lain dan mau berbagi. Apakah kita telah menepati janji. Apakah kita mengabaikan nasihat orang tua, istri, atau suami. Apakah mata kita telah dipakai dengan sebaik baik-baiknya, telinga kita, mulut kita digunakan untuk meluapkan amarah dengan kata-kata yang pedas?
Akhlak dan Akal Budi
Semua ini akhirnya berkaitan dengan ‘akhlak dan budi’ atau perangai manusia. Sifat dan watak yang telah melekat pada diri pribadi manusia, maka menjadi kebribadian. Walaupun kita berpendidikan Tinggi dengan gelar Profesor, di rumah tetap menjadi seorang ayah dari anak-anaknya, dan suami dari istrinya yang harus bisa menjaga hati dan rasa, menjaga kenyamanan.
Ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk. Adapun budi, adalah yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran rasio dan karakter. Pekerti, adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh hati, yang disebut behavior. Jadi Budi Pekerti , adalah merupakan perpaduan dari rasio dan rasa yang termanifestasikan pada karsa dan tingkah laku.
Rasa memiliki kecenderungan pada keindahan yang terletak pada keharmonisan susunan sesuatu, harmoni antara unsur jasmani dan rohani, harmonis antara cipta, rasa, dan karsa, harmoni susunan keluarga, harmoni hubungan antar keluarga. Hal ini tentu akan menciptakan rasa nyaman dalam hati. Padahal Pancaran budi itu berasal dari Nur atau Cahaya yang terbit dari nikmat atau rasa , itulah bathin bernama Akhlak.
Oleh karenanya, manusia yang tidak tidak bisa menciptakan rasa nyaman dalam hati, mereka adalah manusia yang tidak berakhlak, manusia yang belum selesai dengan dirinya. Orang yang tidak berakhlak, tidak menggunakan akal, pikir, khayal, paham, dan ilmu dengan baik.
Firman Allah dalam Al Qur'an (QS 61 : 2-3): “Hai orang-orang yang beriman jangan kamu memperkatakan sesuatu yang tidak kamu ketahui, besar sekali benci Allah lantaran mereka memperkatakan barang sesuatu, hukumnya tidak dia perbuat”; (QS 75 : 2) : “dan aku bersumpah dengan jiwa yang menegor diri,” dan (QS 12 : 53):”dan aku tidak membebaskan diriku (berbuat kesalahan), sesungguhnya nafsu itu menyuruh kepada kejahatan”.
Dr. Aswin mengatakan, sebetulnya kalau memahami makna ibadah sholat dengan benar, sebagaimana syair yang telah dibuat lagu oleh Prof. Endang, “Walau sembahyang seribu kali, Biar berzikir sepanjang hari,” akan menghindari perlakuan melukai hati orang, congkak, atau sombong, karena Keutamaan sholat bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar. Perbuatan tersebut harus dihindari karena dibenci oleh Allah SWT.
Orang yang dibenci Allah, karena tidak punya Iman dan Taqwa. Hidup tanpa didasari dengan Iman dan Taqwa kepada Tuhan YME, tidak akan punya arti apa-apa sebab, kekayaan dan kebahagiaan di dunia ini hanyalah titipan semata. Berbagai fenomena alam yang terjadi di muka bumi ini hanyalah sebagian kecil dari apa yang Allah SWT perlihatkan kepada umat manusia agar kita selalu ingat kepada-Nya.
Penangkal Penyakit Hati
Apa yang disampaikan Dr. Aswin terdapat pada nilai-nilai kearifan Lokal di Indonesia. Dalam Budaya Sunda ada pepatah: ulah satempo tempona mun lain tempoeunana, ulah saomong-omongeunana mun lain omongeunana, ulah sadenge-dengena mun lain dengeunana, ulah ngagugu nafsu, hirup katungkul ku pati paeh teu nyaho di mangsa. Artinya; apabila kita tidak melihat langsung, mendengar langsung, jangan menebar fitnah, bergunjing apalagi menuduh, jangan mengumbar nafsu, senantiasa harus selalu ingat, bahwa hidup tidak abadi hanya sementara, karena kematian tidak tahu kapan waktunya.
Dalam budaya Minang dikenal dengan Peribahasa “Bungkuak saruweh tak takadang sangik hiduang tagang kaluan”. Peribahasa Minang tersebut memiliki arti, “Seseorang yang tidak mau menerima nasehat dan pendapat orang lain, meskipun orang tersebut berada di pihak yang benar sekalipun.” Dalam hal ini, seseorang harus membuka pikirannya sendiri untuk bisa menerima pendapat dan nasihat dari orang lain, dan tidak mementingkan egonya sendiri. Dalam budaya Bugis : Harus menghargai satu dengan lainnya dengan pendekatan rasa dan hati yang dikendalikan oleh nalar dan pikir. Ketulusan dan kesabaran menjadi kunci, Kebaikan setinggi gunung semua akan runtuh apabila manusia masih menciptakan rasa iri dan dengki.
Seni mengajarkan banyak hal, terutama keindahan, kesabaran, toleransi, gotong royong, sabar, mandiri, percaya diri, kejujuran, ketrampilan, kecerdasan, motorik, yang semuanya menuju pada harmoni.
Sebagai contoh, ketika orang mempelajari seni tari tradisional, sebetulnya tengah mempelajari banyak nilai, karena tidak hanya sekedar menyesuaikan gerak dengan musik, tetapi juga, menyesuaikan ketaatan terhadap pakem, keuletan dalam berlatih, mengajarkan ‘pendidikan rasa’, percaya diri, kosentrasi, toleransi, etika, dan estetika.
Tari tradisional memiliki keunikan, dan ciri khas tertentu, juga menyajikan keindahan, menawarkan filosofi kehidupan, menawarkan nilai-nilai kebajikan yang termuat pada simbol-simbol ekspresi gerakan tarian. Nilai-nilai pendidikan karakter, tercermin selain dari gerakan yang indah, juga unggah-ungguh yang diungkapkan dengan lima simbol karakter sifat manusia, misalnya pada tari Topeng Cirebon, mulai dari manusia yang bersifat amarah (topeng Klana yang berwarna merah) hingga menjadi manusia mulya dan bijaksana (topeng Panji yang berwarna putih). Tari topeng merupakan simbol perjalanan hidup manusia.
Begitu pula pada lagu-lagu Tembang Macapat Jawa dan Pupuh Sunda, serta lagu-lagu yang memiliki syair yang memuat pesan kebajikan, mengajarkan manusia memahami makna-makna yang terdapat dalam syair lagu, terlebih diiringi dengan arrasemen musik yang indah, lebih memberikan suasana yang dapat memberikan rasa nyaman dan menyentuh hati. Lagu Ininnawa dari Bugis, antara lain syairnya: Ininnawa sabbara’e (Ketulusan Kesabaran), menggambarkan orang yang selalu bersabar akan memperoleh kebahagiaan. Sebagai pesan moral mengajarkan manusia untuk selalu bersabar dan bersyukur dan apabila kita mendapat kebahagiaan, janganlah lupa kepada Sang Pencipta.
Pada dasarnya setiap seni yang otentik, adalah tumbuh sebagai ekspresi masyarakat pendukungnya, yang bisa memenuhi sebuah fungsi sosial, berarti nilai kualitatifnya tidaklah lenyap di dalam fungsinya (Arnold Hauser: 1985: 308). Seni pertunjukan yang berkembang di Indonesia, pada kenyataannya banyak yang tumbuh sebagai ekspresi masyarakat, yang lebih komunikatif serta sarat dengan nilai interaktif.Pembelajaran seni tari, seni musik, seni vokal (lagu), mampu menjadi media penanaman nilai-nilai kehidupan secara kontekstual sehingga sangat membantu proses terbentuknya kepribadian.
Dengan demikian seni, dapat menjadi ‘Penangkal Penyakit Hati,’ karena dengan mempelajari seni, melatih manusia untuk selalu mengutamakan keselarasan, antara akal, nalar, pikir, hati, jiwa, raga, jiwa, dan dria.|
Prof. Dr. Endang Caturwati, MS adalah guru besar seni budaya pada Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) - Bandung