Sembang Petang dengan Investor

Benahi Hukum dan Prasarana Utama Investasi

| dilihat 1370

Bang Sém

Penghambat utama investasi di Indonesia sarana - prasarana (antara lain sumberdaya listrik dan air bersih) yang belum kondusif di seluruh Indonesia, rantai birokrasi yang panjang, aturan yang terkesan belum terintegrasi antara Pusat dan Daerah. Juga kasus-kasus kriminal, antara lain penggelapan dana nasabah (seperti kasus BNI Ambon) dan tawaran investasi bodong.

Faktor utama yang menjadi hambatan terkait dengan masalah penegakan hukum.

Hal itu mengemuka dalan dialog saya dengan beberapa  mitra pengusaha dari Malaysia, Thailand, dan Jepang, ketika sembang-sembang (bincang) petang di Kuala Lumpur, beberapa hari lalu.

Berenam kami berbincang di salah satu hotel heritage (warisan). Perbincangan bermula dari penerapan prinsip-prinsip imagineering dalam perumusan visi bisnis merespon perubahan cepat yang bisa kapan saja berlaku di Asia Tenggara.

Saya melontarkan pertanyaan sederhana, ihwal arus investasi yang kian menguat ke Vietnam dan Laos. Mulai dari kemudahan dalam sewa pakai lahan karena kebijakan agraria yang memberikan profit dan benefit bagi investor asing, pengusaha mitra lokal, dan rakyat di sekitaran lokasi investasi (khasnya manufaktur dan industri substantif).

Mengapa tak ke Indonesia? Padahal di negeri khatulistiwa ini, potensi sumberdaya alam, infrastruktur jalan, bandar udara, pelabuhan, arus transportasi laut, sedang berkembang pesat. Pemerintah juga sedang berwajah sangat ramah terhadap investor.

Banyak hal, menurut pandangan mereka, yang belum tentu merepresentasikan sikap dan pandangan investor global. Terutama, karena Indonesia dalam konteks industri kuliner - food and beverages, industri keuangan, industri otomotif, industri perlengkapan rumah tangga, dan industri jasa lainnya sesuai dengan arus pemikiran globalisasi Soros atau glokalisasi Philiph Kotler sangat menjanjikan.

Dalam konteks belanja pegawai, meski sering terjadi aksi buruh, Indonesia masih menjanjikan keuntungan. Terutama untuk melakukan investasi di sektor industri manufaktur yang cenderung fokus pada pengolahan. Baik mengolah bahan baku yang bersumber dari asal investasi, maupun mengolah bahan baku yang bersumber dari Indonesia sendiri. Tak terkecuali investasi untuk sektor migas dan tambang yang mengolah bahan dasar menjadi bahan setengah jadi.

Dalam konteks investasi yang berhubungan langsung dengan pasar lokal, Indonesia sangat menarik. Terutama, ketika beberapa negara ASEAN lain sedang gencar menggerakkan penggunaan produk lokal mereka.

Sebagai pasar, Indonesia tiada banding dan tiada sanding. Terutama karena secara kultural, masyarakat Indonesia cenderung gamang, mudah ikut arus dalam hal selera dan gaya hidup. Tak bisa dipungkiri, memang, sebagai pasar, Indonesia sangat menjanjikan.

Di luar itu, banyak faktor yang membuat investor (setidaknya mereka) yang enggan dan masih memilih Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, dan Filipina sebagai destinasi investasi.

Dua teman dari Thailand dan Malaysia, menyebut Aceh merupakan destinasi investasi paling menarik. Untuk agribisnis dan industri pengolahan, Aceh berada di puncak. Apalagi kini sedang dibangun jalan tol yang diyakini bisa mempercepat proses delivery produk. Pemberlakuan qanun syariah yang khas di Aceh, memberi nilai tambah. Tapi, belum didukung oleh ketersediaan listrik, air bersih, dan anasir-anasir dasar yang memadai.  

Teman dari Jepang memandang, investor bisa membawa teknologi untuk mengatasi masalah tenaga listrik, air bersih, dan jaringan serta kecepatan akses internet. Dari aspek keuangan, belum berlakunya prinsip resiprokal dalam sistem perbankan, juga masih memungkinkan Indonesia menarik perhatian untuk investasi.

Persoalan yang dia soroti adalah mata rantai birokrasi yang masih menjadi 'portal penghambat,' walaupun sejumlah pemerintah daerah telah menyempurnakan dengan sistem perizinan satu pintu.

Teman dari Jepang ini juga mengemukakan, selama ini, Indonesia - Jepang sudah menjalani kerjasama pemagangan. Para kenshusei dari Indonesia dapat menjadi mitra bisnis dan diperkuat aksesnya melalui pelibatan bank-bank regional Jepang -- sekira 56 bank regional -- yang bisa masuk melalui bank-bank besar Jepang yang beroperasi di Indonesia.

Dari pengalaman Jepang di Indonesia selama ini, persoalan memang masih pada belum kuatnya jaminan pemerintah Indonesia atas keamanan dan kenyamanan investasi. Seringkali terjadi perubahan kebijakan di level provinsi dan kabupaten setiap kali usai pemilihan kepala daerah.

Hal lain yang menggusarkan dan sering juga membuat tak nyaman berinvestasi adalah masih munculnya kasus-kasus kriminal, seperti penggelapan dana nasabah dengan tawaran investasi, seperti yang terjadi di BNI Ambon.

Aksi banking fraud semacam, itu dan investment fraud seperti yang diumumkan Satgas Waspada Investasi (1/11/2019) terkait dengan penghimpunan deposito dari emiten properti yang dikendalikan Benny Tjokrosaputro - PT Hanson International Tbk (MYRX) telah menelan korban ribuan nasabah, juga membuat was-was.

Meskipun kasus, itu masih diteliti Kepala Satgas Waspada Investasi,  OJK masih meneliti jumlah nasabah yang menjadi korban. Jumlah nasabahnya ribuan, karena tergiur janji imbal hasil 12 persen per tahun, jauh di atas bunga deposito perbankan yang umumnya sebesar 6 persen.

Dengan jumlah nasabah (ritel) ribuan orang, dengan nilai satuan persorang miliaran rupiah, kasus itu bisa mencatat angka kerugian triliunan rupiah.

Pertanyaannya adalah, seberapa cepat pihak berwenang, khususnya Otoritas Jasa Keuangan dan Kepolisian Republik Indonesia bisa menuntaskan penyelesaian masalah kriminal semacam ini.

 Di soal lain, ketiga teman itu mengingatkan, kemampuan pemasaran investasi ke luar negeri juga relatif masih lemah. Beberapa kali mereka hadir dalam forum promosi investasi Indonesia, termasuk di Wall Street, New York, lebih banyak bicara soal potensi dan prospek. Tapi, begitu sampai pada kebijakan operasional, tak ada proposal yang lengkap untuk itu.

Teman saya dari Jepang mengemukakan, dari 34 provinsi di Indonesia yang melakukan promosi dengan jelas dan memberikan referensi terang bagi investor, relatif baru Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur. Selebihnya hanya menyampaikan informasi global tanpa detil. Lebih banyak menyajikan informasi tentang berbagai hal yang sudah diketahui para investor sejak generasi pertama berinvestasi di Indonesia.

Teman-teman saya, petang itu, masih memandang Vietnam, Laos, Thailand, dan Filipina masih menjadi prioritas utama untuk destinasi investasi. Indonesia, Kamboja, dan Myanmar, baru pilihan kemudian, bila layanan investasi yang diberikan bisa melebihi Vietnam, Laos, dan Filipina.

Terutama jaminan kepastian hukum. Pemerintah Republik Indonesia harus mendahulukan promosi investasi dengan mengedepankan panduan hukum untuk berinvestasi, khasnya tentang lingkungan hukum dan regulasi dari level Undang-Undang sampai Peraturan Daerah / Qanun.

Para calon investor memerlukan informasi tentang berbagai tajuk yang akan menjadi referensi pertimbangan mereka selama proses investasi. Mulai dari perlindungan investasi asing; struktur bisnis di bawah hukum Indonesia; hukum perburuhan; hak kepemilikan dan bisnis atas tanah; akses ke industri keuangan dan asuransi; hukum Lingkungan; hukum persaingan usaha; rezim pengadaan publik; dan perlindungan data pribadi dan korporasi.

Selebihnya adalah informasi terang tentang ketersediaan energi listrik, air bersih, jaringan internet dan kecepatan, bandwith policy dan lain-lain. Soal radikalisme dan ready-callisme bukan sesuatu yang istimewa. Karena mereka selalu mendapat informasi baru terbarukan soal itu.

Mau investasi mengarus ke Indonesia? Benahi hukum dan prasarana pendukung investasi. |

Editor : Web Administrator
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 246
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 425
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 318
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 274
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Energi & Tambang