Indonesia Perlu Pemimpin yang Konsisten Menegakkan Kedaulatan Energi

| dilihat 1655

Di masa depan, perlu pemerintah yang berorientasi kedaulatan energi, yang sungguh konsisten menyelamatkan masa depan dan tidak berbohong. Sekaligus berani membebaskan tata kelola energi dari kepentingan politik sesaat dan 'mafia' pemburu rente. Karena itu, UU Migas perlu dirombak.

Kesimpulan ini mengemuka di penghujung seminar sehari akhir tahun Perkumpulan Usaha Memajukan Anakbangsa (UMA), bertajuk "Ketahanan Energi Terancam, Mengurai Masalah - Menemukan Solusi, yang digelar di Jakarta, Senin (17/12/18).

Selain itu, Pusat dan Daerah perlu memberikan dukungan kepada perusahaan migas nasional (BUMN & Swasta Nasional) diantaranya melalui kemudahan pemberian perizinan dan pemberian insentif investasi untuk meningkatkan keekonomian lapangan bilamana diperlukan.

Seminar yang dipandu moderator, Sofhian Mile, mantan Anggota DPR RI, itu menghadirkan pembicara: Said Didu, mantan sekretaris Menteri BUMN/ staf ahli Menteri ESDM; Kurtubi, Anggota DPR RI/ pengamat energi; Satya Widya Yudha, anggota DPR RI; Marwan Batubara, mantan anggota DPD/Direktur IRESS; Surya Darma, Ketua METI (Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia); dan, Khomaedi Notonegoro, Direktur Reforminer Indonesia.

Kurtubi mengungkapkan, seluruh anggota Komisi VII dari seluruh fraksi yang membawahi bidang energi, sudah sepakat melakukan perubahan Undang Undang Migas 22/2001.

"Kita sudah sepakat melakukan perubahan, sehingga tata kelola migas sesuai dengan konstitusi, tetapi di Badan Legislasi (Baleg) masuk angin," ungkapnya.

Kurtubi mengemukakan, penataan energi untuk mencapai kedaulatan, harus dimulai dengan perubahan Undang Undang yang sungguh berpihak kepada ketahanan energi. Perubahan yang dia maksudkan adalah perubahan yang benar secara logika dan konsisten dilaksanakan.

Menurut Kurtubi, ketahanan energi Indonesia sudah sampai titik nadir. Produksi migas kita tidak mencapai target dan karenanya impor terus banyak porsinya.

Akan halnya Said Didu yang mengawali pembicaraan dalam seminar, bertegas-tegas mengatakan, selama tatakelola migas masih kuat dicampuri oleh kepentingan politik dan berbagai pihak yang hendak mendominasi, ketahanan energi akan selalu terancam dan kedaulatan energi akan terus menjadi masalah. Apapun solusi yang diberikan.

Masalah energi, ungkap Said Didu, tersebab oleh vested interest, politic populis, dan cara pandang myopic. "Selama kebijakan energi selalu dihubungkan dan dipergunakan untuk kepentingan politic populis yang berujung pada pencitraan, jangan berharap ada kedaulatan energi," cetusnya.

Said Didu mengemukakan, 7 (tujuh) mitos penghalang kedaulatan energi dihadapi dan coba dibenahi. Ketujuh mitos itu adalah : Subsidi adalah hak rakyat miskin, dan harus selalu diberikan;  Pencarian sumber atau ladang baru migas sangatlah mahal, sehingga tak perlu dikembangkan; Petral tak boleh disentuh, karena mafia migas akan selalu menguasai penguasa; Membangun kilang dan infrastruktur tidak ekonomis, biarkan republik bergantung pada impor; Pembangunan listrik 35.000 MW banyak yang tidak beres; Pembangunan energi baru terbarukan tidak memungkinkan, karena lebih mahal dari harga energi fosil; Konservasi energi hanya akan jadi slogan.

Ketika Sudirman Said mengemban amanah sebagai Menteri ESDM melawan ketujuh mitos itu, baru saja satu mitos dibenahi (Petral), tak lama kemudian, langsung diberhentikan.

Seirama dengan pandangan Said Didu, Marwan Batubara mengemukakan, ketahanan dan kedaulatan energi, kata kuncinya adalah konsisten dan jangan bohong.

Dia mengemukakan, pemerintah yang sekarang, ketika kampanye tahun 2014 bertekad ingin menerapkan energi nabati, tapi sudah empat tahun pemerintahan, belum ada satupun yang diwujudkan.

Marwan menyoroti khusus soal pembangunan kilang. Dia mengemukakan, saat melantik Nicke Widyawati menjadi Dirut Pertamina (29/8/2018), pemerintah meminta Pertamina mempercepat revitalisasi dan pembangunan kilang baru agar impor BBM bisa berkurang.

Ungkap Marwan, keprihatinan pemerintah kembali muncul saat Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pembangunan kilang untuk mengolah minyak di dalam negeri berjalan lambat.

Marwan mengutip pernyataan Luhut dalam Pertamina Energy Forum (29/11/2018), “Presiden pun galau, karena sudah 4 tahun jadi Presiden belum ada yang jadi pembangunan kilang.”

Marwan mengemukakan, kita menjadi ragu apakah keprihatinan pemerintah atas keterlambatan kilang memang benar diungkap secara sadar, serta bebas dari pengaruh mafia dan kepentingan asing.

"Terserah sadar atau tidak, kami sebagai anak bangsa menuntut agar seluruh kebijakan yang menghambat, terutama beban subsidi demi pencitraan dan signatory bonus yang inkonstitusional harus segera dikoreksi," ungkap Marwan.

Yang juga penting dan mendesak, tambahnya, adalah koreksi atas kebijakan yang mempermudah asing menjalankan bisnis di dalam negeri sambil membunuh secara perlahan usaha BUMN milik bangsa yang eksistensinya dijamin konstitusi.

Pengamat energi yang muda dalam usia tapi matang dalam pemikiran, Khomaidi Notonegoro mengemukakan, tata kelola energi sangat berhubungan erat dengan upaya merawat kesehatan bangsa ini. Seperti kesehatan manusia, sangat bergantung dengan suhu tubuh. Kalau stabil suhu tubuh, maka sehatlah.

Karena itu, segala hal yang mempengaruhi naik-turunnya suhu tubuh harus dibenahi. Dia mengemukakan, ekonomi global diproyeksikan tumbuh positif terkait pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan ekonomi di sejumlah wilayah.

Setarikan nafas, negara-negara berkembang, khususnya di wilayah Asia Pasifik diproyeksikan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan sekaligus konsumen energi utama dunia.

Dalam konteks itu, menurut Khomeidi, minyak dan gas bumi diproyeksikan masih akan mendominasi bauran energi primer global, masih sekitar 50 persen pada 2040 mendatang.

Indonesia berada pada wilayah (Asia Pasifik) dengan tingkat persaingan perebutan pasokan energi –khususnya migas- yang sangat ketat dan oleh karenanya memerlukan perencanaan pasokan yang lebih baik.

"Penurunan kinerja sektor hulu migas tidak hanya berimplikasi pada ketahanan energi, tetapi memberikan dampak bagi fiskal, moneter, dan ketahanan perekonomian Indonesia secara keseluruhan," kata Khomeidi.

Pasalnya, iklim investasi hulu migas Indonesia belum cukup kompetitif dan kurang menarik bagi PMA (Penanaman Modal Asing), oleh karenanya menurut Khomeidi, peran dan peningkatan kapasitas perusahaan nasional perlu ditingkatkan.

Untuk peningkatan kapasitas nasional, menurut Khomeidi, perlu dilakukan sinergi antara BUMN dan Swasta Nasional yang telah teruji kemampuannya baik dalam aspek teknis dan keuangan di dalam mengelola Wilayah Kerja Migas domestik.

Beberapa solusi harus dilakukan pemerintah. Yakni, mengalihkan orientasi energi pada energi terbarukan. Kecuali Kurtubi yang menegaskan esensi 'baru terbarukan,' sehingga dapat mengakomodasi nuklir sebagai sumber energi, seluruh pembicara sepakat untuk mendorong pemerintah konsisten dengan energi terbarukan.

Surya mengemukakan 4 (empat) isu utama terkait energi, yaitu aksesibilitas rakyat terhadap energi, affordabilitas terkait dengan produktivitas energi, harga BBM dan listri, serta harga gas bumi, ketersediaan energi, dan akesptabilitas terkait dengan efisiensi energi, peranan energi baru terbarukan dan intensitas emisi gas rumah kaca.

Bila keempat isu tersebut tak dikelola dengan baik, menurut Surya, sesuai penelitian BPPT (Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi), Indonesia akan menjadi net importir pada tahun 2046.

Indonesia, kata Surya, tak bisa terus bergantung pada energi fosil yang akan habis itu. Akan ada tantangan rumit yang harus dihadapi, mengingat posisi geografis Indonesia. Antara lain, penyediaan energi di daerah terluar dan pedalaman, mengingat biaya transportasi yang mahal. Padahal daerah-daerah itu, mempunyai potensi energi terbarukan.

Untuk pengembangan Energi Terbarukan, Surya mengemukakan beberapa rekomendasi. Yaitu, bangsa ini perlu pemimpin yang punya komitmen kuat untuk melakukan transformasi energi yang mampu menegakkan kedaulatan energi.

Dalam konteks itu, menurut Satya Widya Yudha, masyarakat mesti mendorong upaya bersinergi lintas kementerian atau lembaga untuk mencapai tujuan pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions Indonesia serta pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Setarikan nafas, mendorong aksi-aksi mitigasi NDC di 5 sektor emisi, khasnya emisi energi, limbah, IPPU, pertanian, LULUCF) agar mencapai pengurangan emisi 29 persen (unconditional) atau 41persen (conditional) pada tahun 2030. Sekaligus mempromosikan potensi pasar nasional untuk teknologi pro-lingkungan.

Pasar Indonesia berada pada peringkat 7 dari 50 negara, US$6,3 miliar di tahun 2016. Satya juga merekomendasikan pemerintah untuk mengkaji dan mendorong Circular Economy berbasis reuse, refurbish, remanufacture, recycle (zero waste) sebagai pengganti Linear Economy berbasis Take, Make, Dispose (wasteful). Kemudian, menginisiasi RUU Circular Economy agar menjadi payung hukum serta mengikat lintas kementerian atau lembaga.

Tak lupa, dia mengemukakan, pemerintah perlu mendukung peran swasta dalam upaya pendauran ulang dan diseminasi teknologi pro-lingkungan. Termasuk meningkatkan kerja sama internasional untuk saling tukar dukungan, komitmen, ide dan praktik terbaik (best practices).

Sofhian Mile menyebut selama dua dasawarsa, kebijakan dan aksi pemerintah soal kedaulatan energi masih seperti orang menarik poco-poco, maju mundur, bergerak ke kiri dan ke kanan, tanpa menyadari, sesungguhnya berjalan di tempat.

Ketua Umum Perkumpulan UMA, Tigor Sihite mengemukakan, sebelum seminar ini, organisasinya sudah menggelar diskusi tentang dana haji. Perkumpulan ini didirikan oleh para mantan aktivis mahasiswa, kalangan profesional berbagai bidang, termasuk mantan penyelenggara negara dari mantan menteri, mantan anggota parlemen, mantan Bupati dan mantan direktur BUMN. | Fathimah

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 520
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1609
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1392
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 224
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 320
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya