Catatan Lingkungan Hidup Bang Sem (14)

Manifestasi Akhlak Kepada Alam

| dilihat 3170

BAGAIMANA manifestasi akhlak manusia ter­hadap alam?   Allah memandu manusia untuk meng­gunakan akal pikiran dan imajinasinya untuk memahami bagaimana seharusnya memperlakukan sumber daya alam. Dari sudut pandang akal dan pikiran, manusia di­pandu untuk memahami, bahwa sumber daya alam yang dieksplorasi dan dieks­ploitasi secara semena-mena akan berakibat buruk bagi manusia. Salah satunya, sebagai­mana sudah dijelaskan: bencana alam terjadi dan ber­ubah men­jadi bencana sosial, selalu disebabkan oleh ulah manusia. Baik karena kecerobohan maupun karena terbatasnya penguasaan ilmu pengetahuan dan tekno­logi.

Pembabatan dan pembakaran hutan yang semena-mena dan tidak disertai dengan kesadaran melakukan reforestasi, serta pengalihan fungsi lahan secara tidak benar, otomatis akan me­nimbulkan banjir. Allah sudah mengatur siklus ke­hidupan alamiah di mana air menjadi sumber ke­hidupan utama manusia atau justru menjadi bencana.

KETIKA AIR BERUBAH MENJADI OMBAK GANAS SAMUDERA MENGHEMPAS KEHIDUPAN, SIAPA MAMPU MENGATASINYA? 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib karamahu wajhah, dengan sangat fasih dan cendekia, menjelaskan tentang hal itu.  Pada salah satu khutbah­nya, beliau mengungkap tentang air, seperti ini:

“Allah mem­bentangkan bumi pada ombak-ombak yang mem­badai dan menggelora dan kedalaman laut-laut yang membengkak di mana ombak-ombak ber­benturan dengan se­samanya dan bergelombang tinggi saling me­lompati.

Mereka mengeluar­kan uap seperti unta betina pada saat birahinya. Maka gemuruh air yang memadai ditundukkan oleh bobot bumi; ketika bumi menekannya dengan dadanya, gejolak pancar­annya mereda; dan bila­mana bumi meng­gulung atasnya dengan tulang-tulang bahunya, air mereda dengan me­rendah. Maka setelah gelora dari gelombangnya, ia menjadi jinak dan takluk, dan menjadi suatu tawanan yang patuh dalam belenggu kehinaannya, sementara bumi mem­bentang­kan diri dan menjadi padat dalam kedalaman air­nya yang membadai.

(Dengan cara ini) bumi mengakhiri kesom­bong­an, takabur, kedudukan tinggi dan ke­unggulan air, dan memberangus keberani­an dari alirannya. Akibat­nya, ia berhenti dari mengalir­nya yang mem­badai dan mereda setelah bergelombang.

Ketika kegelisahan air mereda di bawah sisi bumi, dan di bawah bobot gunung-gunung tinggi dan agung yang diletakkan pada bahu­nya, Allah mengalirkan mata air dari puncak-puncaknya yang tinggi dan mem­bagi-bagikan­nya melalui lapangan-lapangan dan tempat-tempat yang rendah, dan me­redakan gerakan mereka dengan batu-batu yang tetap dan puncak-puncak gunung tinggi.  Kemudian gemetarnya berhenti karena pe­nembus­an gunung-gunung dalam (berbagai) bagian per­mukaan­nya, dan karena mereka telah di­tetap­kan di tempat - tempat kedalamannya, dan berdiri­nya mereka pada lapangan-lapangan­nya. Lalu Allah menciptakan ke­luasan antara bumi dan langit, dan me­nyediakan angin yang bertiup untuk penghuninya.

Ke­mudian ia meng­arahkan penghuni-peng­huni­nya menyebar ke se­luruh tempat-tempat yang sesuai. Se­sudah itu ia tidak membiarkan jejak-jejak bumi yang gersang di mana bagi­an-bagian tinggi ketiadaan sumber air dan di mana sungai-sungai tak memperoleh jalan­nya, tetapi mencipta­kan awan yang mengambang yang meng­hidup­kan tempat-tempat yang gersang dan menumbuh­kan tumbuh – tumbuh­an

Ia membuat awan yang besar dengan me­ngum­pul­kan semua awan, dan ketika air terkumpul di dalam­nya dan kilat mulai berpijar pada sisi-sisinya dan pijar-pijar itu berlanjut di bawah awan-awan yang berat, lalu menurunkan hujan lebat.

Awan bergantung ke arah bumi dan angin selatan memerahnya hingga mencurah­kan air­nya seperti unta betina membungkuk untuk di­perahi. Ketika awan tunduk ke bumi dan me­nyerah­kan semua air yang di­bawanya, Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuh­an di tanah datar, dan semak belukar di bukit-bukit kering. Sebagai hasilnya, bumi merasa senang dihiasi dengan kebun-kebun­nya dan mengagumi busananya dari tumbuh­an lembut dan hiasan-hiasan kembangnya. Allah men­jadikan semua ini sarana rezeki bagi manusia, dan makan­an bagi hewan. la telah membuka jalan-jalan raya dalam keluasaannya dan telah me­negakkan menara -menara (pe­tunjuk) bagi orang-orang yang melangkah pada jalan-jalan rayanya.”

Saya terkesan dengan ilustrasi seorang sahabat (Almarhum Ir. H. Setia Hidayat, seorang planolog), yang memadukan logika dan imajinasinya tentang air. Dikatakannya, cobalah sekali-sekala kita meng­ubah diri kita sebagai air. Boleh jadi, kita akan me­nyatakan seperti ini:

DIORAMA LIDAH OMBAK KETIKA TSUNAMI TERJADI DI ACEH 26 DESEMBER 2004 - MUSEUM TSUNAMI ACEH

Aku air. Aku berproses, ketika matahari me­manasi bumi, uap membubung dari air laut, kemu­dian meng­gumpal menjadi awan. Ber­gerombol-gerombol di udara. Gravitasi bumi menyebabkan aku tidak bisa ber­gerak lebih tinggi lagi. Angin me­niupku, membawaku ke wila­yah yang bertekanan udara rendah. Per­lahan aku men­cair, kemudian se­rempak men­jadi gerimis. Ke­tika angin dingin me­niup, aku menjadi hujan. Aku turun ke bumi men­cari rumahku.

Tapi hutan kalian tebangi, gunung-gunung kalian bongkar, tak bisa aku bersemayam lebih lama di gunung-gunung dan bukit-bukit. Aku ber­gerak mencari tempat persinggahanku. Se­bagian daripadaku bisa ter­serap di bukit-bukit dan hutan-hutan yang masih ter­sisa. Se­bagian lagi di antara kami, mengalir menuruni bukit-bukit menuju sungai-sungai. Aku meng­alir meng­ikuti lekuk liku relief bumi. Tapi lagi-lagi, kalian hadang aku. Kalian bangun rumah kalian di tempat-tempat yang seharusnya men­jadi rumahku.

Demi untuk kepentingan kalian, sungai me­nyempit. Demi untuk kepentingan kalian, sungai-sungai­ku kalian timbun dengan sampah, bahkan racunpun kalian buang ke sungai-sungaiku. Kalian tidak mengerti, akibat ulah kalian, aku tercemar. Racun dan bakteri menyatu dalam diriku. Wajar kalau aku marah. Karena telah kalian rampas, maka aku masuk ke dalam rumah kali­an, yang kalian sebut banjir. Karena kalian tak mem­beri tempat padaku, maka ribuan kaumku meng­gelon­torkan segalanya, menjadi banjir bandang, meng­hancur­kan apa saja. Kami bawa lumpur ke rumah-rumah kalian. Kami bongkar rumah kalian.

Dan racun yang kalian buang ke sungai-sungai kami hantarkan kepada sebagian kalian ketika mandi, men­cuci pakaian, mencuci bahan makanan kalian. Kami kembalikan kepada kalian semua bakteri yang kalian lemparkan ke rumah-rumah kami, termasuk yang kali­an buang bersama kotoran kalian.

Jangan salahkan aku dan saudara-saudaraku.  Aku air, bersama kaumku kulantakkan kali­an... Cobalah ber­sahabat padaku, aku akan datang kepadamu sebagai rahmat. Peliharalah rumah persemaianku, hingga mampu me­menuhi kebutuhanmu untuk kesehatanmu. Bersahabatlah padaku, aku akan menyubur­kan sawah ladangmu. Menyehatkan kehidup­anmu. Jangan ganggu jalanku menuju ke muara, tak akan pernah kuganggu rumahmu. Bila kalian memusuhiku, merusak kaumku, kalian tak akan pernah mampu menolak bencana yang datang bersama kehadiran kaumku. Aku air.. ber­sahabat­lah denganku.”

Manusia tak akan pernah bisa hidup tanpa air. Air me­rupakan unsur utama dalam kehidupan manusia di bumi. Di padang-padang pasir, air me­rupakan sesuatu yang sangat luar biasa manfaat bagi kehidupan manusia. Air membuat manusia bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu. Namun manusia akan segera sampai ke­pada ajalnya, bila tanpa air, dalam beberapa hari saja. | BERSAMBUNG

 

Editor : sem haesy | Sumber : CAWANDATU N. SYAMSUDDIN CH. HAESY (BANG SEM)
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya