BAGAIMANA manifestasi akhlak manusia terhadap alam? Allah memandu manusia untuk menggunakan akal pikiran dan imajinasinya untuk memahami bagaimana seharusnya memperlakukan sumber daya alam. Dari sudut pandang akal dan pikiran, manusia dipandu untuk memahami, bahwa sumber daya alam yang dieksplorasi dan dieksploitasi secara semena-mena akan berakibat buruk bagi manusia. Salah satunya, sebagaimana sudah dijelaskan: bencana alam terjadi dan berubah menjadi bencana sosial, selalu disebabkan oleh ulah manusia. Baik karena kecerobohan maupun karena terbatasnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembabatan dan pembakaran hutan yang semena-mena dan tidak disertai dengan kesadaran melakukan reforestasi, serta pengalihan fungsi lahan secara tidak benar, otomatis akan menimbulkan banjir. Allah sudah mengatur siklus kehidupan alamiah di mana air menjadi sumber kehidupan utama manusia atau justru menjadi bencana.
KETIKA AIR BERUBAH MENJADI OMBAK GANAS SAMUDERA MENGHEMPAS KEHIDUPAN, SIAPA MAMPU MENGATASINYA?
Sayyidina Ali bin Abi Thalib karamahu wajhah, dengan sangat fasih dan cendekia, menjelaskan tentang hal itu. Pada salah satu khutbahnya, beliau mengungkap tentang air, seperti ini:
“Allah membentangkan bumi pada ombak-ombak yang membadai dan menggelora dan kedalaman laut-laut yang membengkak di mana ombak-ombak berbenturan dengan sesamanya dan bergelombang tinggi saling melompati.
Mereka mengeluarkan uap seperti unta betina pada saat birahinya. Maka gemuruh air yang memadai ditundukkan oleh bobot bumi; ketika bumi menekannya dengan dadanya, gejolak pancarannya mereda; dan bilamana bumi menggulung atasnya dengan tulang-tulang bahunya, air mereda dengan merendah. Maka setelah gelora dari gelombangnya, ia menjadi jinak dan takluk, dan menjadi suatu tawanan yang patuh dalam belenggu kehinaannya, sementara bumi membentangkan diri dan menjadi padat dalam kedalaman airnya yang membadai.
(Dengan cara ini) bumi mengakhiri kesombongan, takabur, kedudukan tinggi dan keunggulan air, dan memberangus keberanian dari alirannya. Akibatnya, ia berhenti dari mengalirnya yang membadai dan mereda setelah bergelombang.
Ketika kegelisahan air mereda di bawah sisi bumi, dan di bawah bobot gunung-gunung tinggi dan agung yang diletakkan pada bahunya, Allah mengalirkan mata air dari puncak-puncaknya yang tinggi dan membagi-bagikannya melalui lapangan-lapangan dan tempat-tempat yang rendah, dan meredakan gerakan mereka dengan batu-batu yang tetap dan puncak-puncak gunung tinggi. Kemudian gemetarnya berhenti karena penembusan gunung-gunung dalam (berbagai) bagian permukaannya, dan karena mereka telah ditetapkan di tempat - tempat kedalamannya, dan berdirinya mereka pada lapangan-lapangannya. Lalu Allah menciptakan keluasan antara bumi dan langit, dan menyediakan angin yang bertiup untuk penghuninya.
Kemudian ia mengarahkan penghuni-penghuninya menyebar ke seluruh tempat-tempat yang sesuai. Sesudah itu ia tidak membiarkan jejak-jejak bumi yang gersang di mana bagian-bagian tinggi ketiadaan sumber air dan di mana sungai-sungai tak memperoleh jalannya, tetapi menciptakan awan yang mengambang yang menghidupkan tempat-tempat yang gersang dan menumbuhkan tumbuh – tumbuhan
Ia membuat awan yang besar dengan mengumpulkan semua awan, dan ketika air terkumpul di dalamnya dan kilat mulai berpijar pada sisi-sisinya dan pijar-pijar itu berlanjut di bawah awan-awan yang berat, lalu menurunkan hujan lebat.
Awan bergantung ke arah bumi dan angin selatan memerahnya hingga mencurahkan airnya seperti unta betina membungkuk untuk diperahi. Ketika awan tunduk ke bumi dan menyerahkan semua air yang dibawanya, Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di tanah datar, dan semak belukar di bukit-bukit kering. Sebagai hasilnya, bumi merasa senang dihiasi dengan kebun-kebunnya dan mengagumi busananya dari tumbuhan lembut dan hiasan-hiasan kembangnya. Allah menjadikan semua ini sarana rezeki bagi manusia, dan makanan bagi hewan. la telah membuka jalan-jalan raya dalam keluasaannya dan telah menegakkan menara -menara (petunjuk) bagi orang-orang yang melangkah pada jalan-jalan rayanya.”
Saya terkesan dengan ilustrasi seorang sahabat (Almarhum Ir. H. Setia Hidayat, seorang planolog), yang memadukan logika dan imajinasinya tentang air. Dikatakannya, cobalah sekali-sekala kita mengubah diri kita sebagai air. Boleh jadi, kita akan menyatakan seperti ini:
DIORAMA LIDAH OMBAK KETIKA TSUNAMI TERJADI DI ACEH 26 DESEMBER 2004 - MUSEUM TSUNAMI ACEH
“Aku air. Aku berproses, ketika matahari memanasi bumi, uap membubung dari air laut, kemudian menggumpal menjadi awan. Bergerombol-gerombol di udara. Gravitasi bumi menyebabkan aku tidak bisa bergerak lebih tinggi lagi. Angin meniupku, membawaku ke wilayah yang bertekanan udara rendah. Perlahan aku mencair, kemudian serempak menjadi gerimis. Ketika angin dingin meniup, aku menjadi hujan. Aku turun ke bumi mencari rumahku.
Tapi hutan kalian tebangi, gunung-gunung kalian bongkar, tak bisa aku bersemayam lebih lama di gunung-gunung dan bukit-bukit. Aku bergerak mencari tempat persinggahanku. Sebagian daripadaku bisa terserap di bukit-bukit dan hutan-hutan yang masih tersisa. Sebagian lagi di antara kami, mengalir menuruni bukit-bukit menuju sungai-sungai. Aku mengalir mengikuti lekuk liku relief bumi. Tapi lagi-lagi, kalian hadang aku. Kalian bangun rumah kalian di tempat-tempat yang seharusnya menjadi rumahku.
Demi untuk kepentingan kalian, sungai menyempit. Demi untuk kepentingan kalian, sungai-sungaiku kalian timbun dengan sampah, bahkan racunpun kalian buang ke sungai-sungaiku. Kalian tidak mengerti, akibat ulah kalian, aku tercemar. Racun dan bakteri menyatu dalam diriku. Wajar kalau aku marah. Karena telah kalian rampas, maka aku masuk ke dalam rumah kalian, yang kalian sebut banjir. Karena kalian tak memberi tempat padaku, maka ribuan kaumku menggelontorkan segalanya, menjadi banjir bandang, menghancurkan apa saja. Kami bawa lumpur ke rumah-rumah kalian. Kami bongkar rumah kalian.
Dan racun yang kalian buang ke sungai-sungai kami hantarkan kepada sebagian kalian ketika mandi, mencuci pakaian, mencuci bahan makanan kalian. Kami kembalikan kepada kalian semua bakteri yang kalian lemparkan ke rumah-rumah kami, termasuk yang kalian buang bersama kotoran kalian.
Jangan salahkan aku dan saudara-saudaraku. Aku air, bersama kaumku kulantakkan kalian... Cobalah bersahabat padaku, aku akan datang kepadamu sebagai rahmat. Peliharalah rumah persemaianku, hingga mampu memenuhi kebutuhanmu untuk kesehatanmu. Bersahabatlah padaku, aku akan menyuburkan sawah ladangmu. Menyehatkan kehidupanmu. Jangan ganggu jalanku menuju ke muara, tak akan pernah kuganggu rumahmu. Bila kalian memusuhiku, merusak kaumku, kalian tak akan pernah mampu menolak bencana yang datang bersama kehadiran kaumku. Aku air.. bersahabatlah denganku.”
Manusia tak akan pernah bisa hidup tanpa air. Air merupakan unsur utama dalam kehidupan manusia di bumi. Di padang-padang pasir, air merupakan sesuatu yang sangat luar biasa manfaat bagi kehidupan manusia. Air membuat manusia bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu. Namun manusia akan segera sampai kepada ajalnya, bila tanpa air, dalam beberapa hari saja. | BERSAMBUNG