Menghadang Deforestasi

| dilihat 2952

BANG SEM

TAK bisa disangkal, kehidupan masyarakat tak bisa dilepaskan dengan hutan. Dalam banyak hal, bahkan, manusia bergantung hidup dengan hutan. Bahkan, Tuhan bersumpah ‘demi hutan’ untuk memandu manusia mengelola tata hidupnya: memelihara sumberdaya alam, mengelola wilayah permukiman dan kehidupan, dan meningkatkan kualitas hidupnya. Bahkan Tuhan bertegas-tegas, siapa yang tak mampu memelihara hutan dengan baik, mereka tergolong makhluk yang merendahkan dirinya sendiri. Berubah kualifikasi dari insan menjadi khayawanun naathiq (hewan yang berakal).

Berbagai kitab suci, sabda Rasul, dan kemudian konsep filosofi manusia tentang hutan, dari sudut pandang imagineering, memandu kita untuk memahami hakekat dreams govern yang sangat asasi. Bahkan dapat dideskripsikan hasil akhirnya: rimba hijau dengan sungai-sungai yang jernih airnya, permukiman hidup manusia aman – damai – sejahtera, hidup harmoni dengan flora dan fauna yang akhirnya membentuk lingkungan alam fisik dan lingkungan hidup sosial harmoni.

Imajinasi kita tentang pengelolaan hutan, tak hanya bertumpu pada upaya konservasi hutan sebagai sentra kepedulian utama. Apalagi di Indonesia dengan hutan hujan tropis disertai canopy yang memadai arealnya, tempat bercah sinar matahari menjadi asupan yang menghidupkan aneka potensi tetumbuhan amat berguna bagi manusia. Karenanya, pengelolaan hutan di Indonesia semestinya berlangsung secara kreatif dan inovatif. Apalagi kini, ketika teknologi pembenihan kian canggih, dan kemampuan mengelola bisnis lebih baik. Persoalannya tinggal, bagaimana menghidupkan kembali budaya hutan secara optimal, selaras dengan perkembangan peradaban manusia.

Sejak jauh masa, budaya hutan dengan berbagai isyarat filosofisnya, sudah memberikan isyarat, bahwa hutan akan menjadi bencana semesta. Dari kearifan Sunda, misalnya, kita dapati isyarat, bahwa bencana semesta itu amat terkait dengan eksploitasi sumberdaya mineral dan deforestasi secara tak terkendali. Gunung-gunung dibarubuh, tatangkalan dituaran, cai caah babanjiran, buwana marudah montah (gunung-gunung dieksploitasi tanpa reklamasi, deforestasi terbiarkan, banjir tak terkenali menerjang, dan bumi memuntahkan isi perutnya). Karenanya, perhatikanlah dengan seksama, di mana saja sumberdaya mineral dan hutan dieksploitasi dan dieksplorasi secara tidak bertanggungjawab, bencana alam amatlah karib menghampiri.

HUTAN YANG BOTAK DI SULAWESI TENGGARA

Di tengah kegelisahan umat manusia tentang perubahan iklim global, komitmen kemanusiaan dan peradaban yang harus dilakukan secara strategis adalah menghadang berlangsungnya deforestasi. Bila deforestasi tak terkendali, yang akan terjadi tidak hanya bencana fisik, melainkan juga bencana sosial. Deforestasi seperti ungkap Jaard Diamond, menimbulkan konflik (mulai dari konflik perut hingga konflik politik dan perang), sebagaimana dialami Ruwanda. Deforestasi menimbulkan bencana kemanusiaan, dan siklusnya tak bisa dikendalikan oleh umat manusia, karena deforestasi akhirnya mengundang bencana semesta. Mengubah rahmat menjadi laknat.

Dalam kaitan itulah, pengelolaan bisnis berbasis hutan, baik BUMN maupun private, harus terlebih dahulu melakukan perubahan tataminda bisnisnya. Jangan pernah menebang sebatang pohonpun, sebelum menanam sepuluh pohon. Karena itulah, dalam mengelola bisnis di sektor kehutanan pada dimensi kini dan mendatang, yang harus pertama sekali masuk ke dalam bussines plan adalah dimasukkannya program pembenihan, penyemaian, penanaman, dan konservasi ke dalam modal dasar. Dan tidak dimasukkan ke dalam budget operasional produksi.

Dengan demikian sejak awal sudah dapat direncanakan perkembangan budget (minimal 15 sampai 20 tahun) sebagai potensi kerugian, karena sepanjang masa itu, yang harus dilakukan memang lebih banyak pembiayaan dan pemasaran. Sepanjang masa itu, dikembangkan trend harga produksi, yang potensi keuntungannya baru akan dinikmati, minimal pada tahun ke 16 atau tahun ke 21. Apalagi kini, ketika kita memproyeksikan proses pendapatan yang mengalami penurunan rata-rata 15% per tahun hingga tahun 2027, dengan pertumbuhan pendapatan rata-rata 5% sampai 7% per tahun. Karena deforestasi yang terjadi selama ini, memang telah merampas seluruh potensi keuntungan kini dan masa depan.

Boleh jadi kita bisa belajar banyak dari negeri-negeri jiran yang memberlakukan moratorium, dan secara intensif mengembangkan riset dan pengembangan benih, sekaligus gencar melakukan proses pembenihan dan penanaman. Secara bersamaan mengembangkan berbagai kemampuan dan keandalan teknologi untuk mengganti (sementara waktu selama 15 tahun) kebutuhan terhadap kayu dengan sumberdaya lain. Termasuk menggiatkan import dari produsen kayu di belahan lain dunia, yang memasuki masa produksi dan penebangan.

Menghadang berlangsungnya deforestasi dengan moratorium, tidak akan membuat manusia berhenti menjalani kehidupannya. Bahkan, merupakan masa bagi setiap manusia di belahan bumi manapun, mendorong dayacipta insani. |

Editor : sem haesy
 
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 278
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 140
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 104
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 520
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 529
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 447
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya