Perlawanan Budaya Warga Sempur Bogor

| dilihat 3833

Catatan Sem Haesy

SIAPA bakal Walikota dan Wakil Walikota Bogor (2018-2023) biarlah rakyat kota Bogor yang menentukan. Saya tak punya kepentingan, karena kepentingan utama kita adalah bagaimana pemimpin kota yang baru harus mempunya kecerdasan budaya dalam menata-kelola kota yang pernah bernama Pakuan, Ibukota Kerajaan Pajajaran, itu.

Salah satu prinsip dasar pengelolaan suatu wilayah, bila merujuk pada prinsip yang dibawa dari Kerajaan Sunda Galuh ke Pakuan, adalah : “Gunung kudu pageuh, leuweung kudu hejo, walungan kudu herang, taneuh kudu subur, maka bagja rahayu sakabeh rahayatna.”  Harus ada kesadaran kolektif seluruh petinggi dan masyarakat se Bogor Raya, agar tidak mudah memberikan izin penambangan atau pembangunan kawasan secara serampangan.

Karena, gunung harus kokoh, hutan harus hijau, sungai harus jernih, tanah harus subur, sehingga tentram damai dan nyaman sejahtera semua rakyatnya.

Karena itulah, “Gunung teu meunang dirempag, leuweung teu meunang diruksak.” (Gunung tidak boleh dihancurkan, hutan tidak boleh dirusak). Karena, bila hal ini dilakukan, yang akan terjadi adalah bencana di atas bencana (maksudnya: bencana sosial akan datang selepas bencana alam).

Kata kuncinya adalah keteguhan pada keseluruhan konteks rencana tata ruang, termasuk rencana tata ruang wilayah, yang memungkinkan berlangsungnya proses interaksi manusia – alam dan Tuhan dalam satu tarikan nafas harmoni.

Dalam konteks budaya semacam ini, kita mencermati keseluruhan konteks penataan kawasan Sempur, Bogor. Suatu kawasan yang dirancang untuk di masanya, melampaui beberapa millenium ke depan.

Sejak Pajajaran sirna di abad ke 16 atau tahun 1501 saka, Scipio dan Adolf Winkler melakukan ekspedisi pada paruh akhir abad ke 17, menilisik sisa-sisa keruntuhan Pajajaran. Ini yang menandai, oleh pemerintah Hindia Belanda menemui basis rencana tata ruang untuk membangun Bogor ( dengan sebutan Buitenzorg = kawasan tenteram tanpa kecemasan) sebagai suatu kota permukiman, yang melengkapi Batavia.

Sejak itu, dibukalah lahan untuk permukiman dan peristirahatan, ditandai dengan pembangunan Istana Bogor sebagai tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kawasan-kawasan itu meliputi permukiman di Kota Paris, Taman Kencana, dan kawasan permukiman Sempur, dan lain-lain.

Riesz dalam De Geschiedenis van Buitenzorg (1887), mencatat sebuah nama, Tanuwijaya, seorang Sunda asal Sumedang untuk memimpin pembukaan lahan, sesuai penugasan dari Camphuijs (pimpinan permukiman). Dia juga yang memimpin pembukaan lahan untuk mendirikan Kampung Baru yang kelak menjadi de bakermat (cikalmuasal) Kabupaten Bogor berdiri kemudian, dan Cipinang.

Tanuwijaya, yang dalam catatan VOC disebut Luitenant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa) merupakan Letnan Senior,  memulai melakukan aksinya untuk mematangkan lahan bagi pembangunan kawasan permukiman Parung Angsana, yang kini dikenal bernama Tanah Baru. Tanuwijaya merujuk pada temuan Scipio yang menemukan Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar, dan kelak menjadi ‘pusat pemerintahan’ di kawasan Bogor.  

Di masa sebelumnya, Sempur terkoneksi dengan kawasan yang kini menjadi Kebun Raya, Leuwi Campaka Sukasari, Bantar Jati, Situ Duit, dan Warung Jambu. Ini merupakan kawasan inti yang multi fungsi. Di atasnya menjadi kawasan permukiman – yang kemudian dijadikan sebagai kawasan sains.

Sempur sendiri, selain dimanfaatkan sebagai permukiman, juga dimanfaatkan untuk menjadi tempat riset dan kamp militer. Fungsi utama ruangnya merupakan penyangga langsung Istana Bogor.

Di era pendudukan Jepun, kawasan permukiman dan kamp Sempur amat dijaga. Namun hanya delapan kamp saja yang diduduki Jepun di bawah komando Letnan Sonei, selebihnya dipertahankan sebagai kawasan permukiman. Termasuk sebagai guest house untuk tempat tinggal Tentara Korea yang bertugas memantau proses peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepun.  Mrs E. Th.Lease de Groot, mencatat, kamp itu tak berlangsung lama, hanya beberapa bulan saja, dari Oktober 1942 sampai Juli 1943.

Tatakelola Kota Bogor (termasuk Sempur) yang berada di bawah peraturan desentralisasi – Gementee Buitenzorg (1903). Tahun 1925, berlaku sistem pemerintahan baru, kala Bogor menjadi West Java Provincie, dan Bogor dikelola pemerintahan kotapraja, Stadsgemeente. Jepun melemahkan Bogor dengan menerapkan, dengan memperkuat karesidenan, sejak menduduki tahun 1942. Pada tahun 1950, ketika Buitenzorg menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1950, pun ketika nomenklatur pemerintahan diubah menjadi Kota Praja Bogor (1957), sesuai Undang-Undang nomor 1 tahun 1957, bahkan ketika berubah status menjadi Kotamadya Bogor, Sempur masih dipertahankan sebagai kawasan permukiman.

Ketika status berubah menjadi Kota Bogor pada tahun 1999 dengan berlakunya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, pun Pemerintah Kota Bogor masih ambil peduli untuk melindungi Sempur sebagai kawasan permukiman yang nyaman dan tenteram. Belakangan, sejak tahun 2000-an, Pemerintah Kota mulai berfikir lain. Izin membangun hotel di sudut Lapangan Sempur dikeluarkan.

Lapangan Sempur pun diposisikan sebagai community center terbuka, tanpa memperhatikan aspek mobilitas sosial yang berlangsung reguler. Penataan Taman Sempur yang semakin cantik, tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur parkir yang memadai.

Belakangan, bekas hotel yang berada di tubir tebing sudut lapangan Sempur, dirancang pula akan menjadi lokasi pembangunan apartemen. Sempur sebagai landskap kota, yang harusnya dipertahankan sebagai indikator tata kota bernilai Sunda:  ‘lemah lengkob’ dan ‘lemah padataranana,’ terancam oleh kondisi lingkungan yang tak lagi nyaman.

Karenanya, sangat wajar bila warga beraksi keras dan menolak pembangunan apartemen itu, dan menuntut balik Pemkot Bogor untuk menata kawasan ini secara berbudaya. Warga Sempur mengisyaratkan perlawanan kultural yang akan bedampak besar terhadap eksistensi kota Bogor ke depan.

Bila Walikota/Wakil Walikota mendatang meneruskan kebijakan Walikota Bogor sekarang, kota yang pernah berjuluk sebagai Garden City tempat memadu-harmoni kecerdasan dan kearifan budaya, akan kehilangan pesonanya. Dan peninggalan nilai Raja Pajajaran, yang telah memberikan ketentuan hukum secara demokratis bagi rakyatnya, untuk tetap dalam alur ketentuan yang baik dan benar, akan sungguh sirna. Terampas oleh hasrat pembangunan kota tanpa ruh budaya.

Raja Pajajaran, Surawiçesa, mewanti-wanti:  “Hirup kudu jeung aturan, jeung daek diatur ku anu ngatur tidituna.” Hidup dengan aturan (bernilai budaya dan berkeadaban), (agar warga) mau diatur oleh pemimpin (pemerintah) yang mengaturnya. Bila tidak, bencana akan tiba. “Diakhir baring dunya bakal ngagorolong meuntas Cihaliwung.” Terempas dan terampas oleh murka Ciliwung (semesta).

Dan.. warga akan terus melawan dengan perlawanan budaya. Bukan soal menang atau kalah dalam melindungi dan memelihara keseimbangan lingkungan. |


Baca Juga : Warga Sempur Bogor Tolak Pembangunan Apartemen

Editor : sem haesy | Sumber : berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1159
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 921
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1153
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1412
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1559
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya