Chrisye Film Religiomusikal Indonesia Yang Keren

| dilihat 5490

Catatan N. Syamsuddin Ch. HAESY

KITA terlalu banyak mengenal dan mendapat cerita tentang Chrisye (Chrismansyah Rahadi) sebagai seorang musisi dan penyanyi legendaris Indonesia, khas, yang belum ada penggantinya, sejak wafat pada 30 Maret 2007.

Setarikan nafas, kita nyaris hanya mendapat sedikit kisah kehidupan Chrisye sebagai sesosok insan, yang beroleh hidayah Ilahi dan menjalani kehidupannya secara wajar. Terutama dari sumber pertama, Damayanti (Yanti) Noor, isterinya.

Film bertajuk CHRISYE yang disutradarai Rizal Mantovani, mengawali jawaban atas pertanyaan sederhana kita: siapa sungguh Chrisye sebagai sesosok insan. Film produksi MNC Picture yang diputar perdana bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW (12 Rabi’ul Awal 1480 H – 1 Desember 2017), itu bercerita tentang Chrisye apa adanya, dan mentransfer begitu banyak kesadaran kita tentang bagaimana manusia menjalani kehidupan.

Secara pribadi saya melihat film yang dibintangi Vino G Bastian (sebagai Chrisye), Velove Vexia (Yanti), dan kawan-kawan itu, refleksi terang manusia Chrisye serta lingkungan kreatif dan personalnya yang saya kenal. Film dengan skenario yang ditulis Alim Sudio, ini menjadi narasi menarik: plot yang ‘deskriptif,’ pola presentasi yang ‘naratif,’ dan menghadirkan pesan spiritual mendalam, tanpa harus ‘penetratif’ dan menempatkan penonton sebagai bagian lingkungan sosial Chrisye yang karib.

Mengalir Sampai Surah Yaasin

CERITA film dari tangan pertama (isteri Chrisye, Yanti Noor) ini, sangat manusiawi.

Diawali dengan penampilan Gipsy Band yang dimotori Gauri dan Chrisye di pesta ulang tahun belia Menteng – Jakarta, dekade 70-an (kala masih berlangsung demam disco rumahan tiap Sabtu malam) bercerita banyak bagaimana situasi batin Chrisye yang bercita-cita jadi musisi, tapi tak mendapat persetujuan orang-tuanya. Hanya Vicky yang menjadi ‘pendukung’ Chrisye berkarir sebagai musisi dan penyanyi.

Mimpi besar Chrisye menjadi musisi dan penyanyi, juga membubung ketika Gauri mengabarkan, Gipsy Band dikontrak setahun sebagai home band resto Ramayana (milik Pertamina) di NewYork. Mimpi itu hampir kandas karena penolakan keras ayah Chrisye yang melihat kehidupan profesional sebagai musisi atau penyanyi, tak memperoleh apresiasi baik di negeri ini (kala itu).

Ketika akhirnya mendapat restu, dan karir sedang beranjak di New York, kabar duka datang: Vicky, yang memberi spirit di dalam keluarga, wafat.  Chrisye kembali ke tanah air dan diajak Guruh Soekarnoputra bergabung dalam Swara Mahardhika, untuk salah satu pergelarannya. Di situ, Chrisye jumpa lagi dengan Yanti.

Lantas, Radio Prambors lewat Imran dan Sys NS, meminta Chrisye menyanyikan Lilin Lilin Kecil ciptaan James F Sundah di pergelaran Lomba Cipta Lagu Remaja. Lalu mengalirlah cerita hidup yang tak pernah diketahui banyak orang, di balik popularitas Chrisye. Dan yang menonjol di film ini adalah perjalanan spiritual Chrisye yang ditampilkan soft, tetapi mendalam.

Mulai dari Chrisye menjadi muallaf, lalu menikah dengan Yanti. Pernikahan yang menghadapkan Chrisye dengan pemahaman baru tentang realitas kehidupan kedua (fantasi) dengan realitas kehidupan pertama sehari-hari. Perjuangan panjang yang tidak ringan, termasuk bagaimana Chrisye dan Yanti berbagi peran. Intinya adalah kejujuran untuk menjalani kehidupan yang juga secara jujur, realistis, dan apa adanya. Jauh dengan kebiasaan hidup mereka sebelumnya.

Kegelisahan, kegalauan, bahkan (nyaris) apatisme menghadang mereka, sampai dia ingin memilih jalan lain ke bisnis kargo di pelabuhan. Tapi, Allah menarik kembali Chrisye ke jalurnya: musik dan musik.

Kesadaran spiritual terus bertumbuh dengan keberadaan Surya (sepupu Yanti) yang menjadi ‘mitra spiritual’ dalam memahami hakekat manusia dan Allah dalam keseharian yang kongkret. Di jalur itulah, Chrisye bertemu dan berinteraksi dengan penyair Taufik Ismail yang sangat muslim dan juga terkenal tawaddu,’ memilih jalur sastra sebagai pilihan hidup, setelah sebelumnya berkarir sebagai profesional.

Ujung cerita, kolaborasi Chrisye dan Taufik Ismail, menghadirkan lagu populer yang sangat religius dan mengungkit kesadaran kolektif tentang hari akhir manusia. Lagu itu bertajuk “Ketika Tangan dan Kaki..” yang merupakan tarjamah puitik dari penggalan Al Qur’an, Surah Yaasin.

Berbekal hidayah dengan karya yang bermanfaat bagi orang banyak, Chrisye pulang ke alam abadi, menjumpai Sang Maha Pencipta, setelah sakit beberapa waktu. Surya, mitra spiritualnya, kemudian menyusul Chrisye.

Film Religiomusikal

KEHADIRAN Prsashatya Chrismansyah (putera Chrisye) yang memerankan sosok Vicky, adik yang memberi spirit kepada Chrisye dan wafat lebih awal, telah memperkuat gambaran tentang situasi batin Chrisye di awal karirnya sebagai musisi. Pun, demikian dengan  Rifnu Wikana pemeran Gauri Nasution – mengambarkan kedalaman persahabatan di Gipsy Band yang menjadi salah satu pondasi karir almarhum Chrisye.

 Cholidi Achmad pemeran Surya, dalam banyak hal juga memperkuat cerita khas tentang perjalanan spiritual Chrisye sebagai seorang muslim yang tak hanya taat, tetapi juga tawaddu’ (rendah hati). Dan, Fuad Idris pemeran Taufik Ismail, berhasil menghantarkan pesan religius yang memikat: ketika manusia berhadapan dengan tembok keterbatasan kreatif, di situ Allah ada dan memberi solusi dahsyat, yang tak terbayangkan sebelumnya.

Tentu saja, Vino dan Velove harus dipujikan. Keduanya terlihat bermain total menghadirkan sosok Chrisye dan Yanti. Bagi yang mengenali Chrisye dan Yanti secara pribadi, akting Vino dan Velove berhasil menghadirkan keduanya nyaris sempurna. Akting keduanya mengalir dan mengekspresikan ulang dua pribadi yang santun, rendah hati, berani hidup, dan religius.

Film dengan setting masa dekade 70-an, 80-an, dan 90-an ini, boleh disebut biopict yang memadukan dokudrama dan features secara proporsional. Pendekatan Rizal ini, jarang dipakai orang. Beberapa caption di awal dan jelang akhir film, serta voice over Chrisye (menjelang wafat) membuat penonton terpaku sampai credit tittle bergerak.

Kemampuan Rizal mengelola akting para pemainnya mengikuti plot cerita yang ‘landai’ tanpa harus mengikuti fase-fase pencapaian akting (action – rising action – climax) diperkuat dengan tata artistik yang juga pantas dipujikan, terutama: set, wardrop, property, make up, tata lampu, dan sound.

Pun begitu halnya dengan tata musik. Suara adzan, ilustrasi musik – dari beberapa lagu  (Lilin Lilin Kecil, Sendiri, Aku Cinta Dia, Ketika Tangan dan Kaki) – dan sound effect pada perpindahan adegan secara cut to cut, dieksekusi dengan tepat dan jernih.

Yang pasti : pesan moral yang menjadi gagasan besar film ini, bahwa hidup adalah perjalanan menuju batas, dari ketiadaan kembali kepada ketiadaan, memungkinkan manusia itu ada dan selamanya ada. Itulah eksistensi manusia, yang dicintai Rasulullah Muhammad SAW. Karena itu, saya menyebut film ini sebagai film religiomusikal pertama yang digarap secara wajar dan tanpa pretensi dakwah. Film ini menjadi medium syiar religius yang indah.

Dan Chrisye bersama mitra spiritualnya, Surya (aselinya: Gusti Suryanata), insyaAllah husnul khatimah.. |

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1182
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 940
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1169
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1430
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1578
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya