KH Nasruddin Anshary alias Gus Nas adalah penyair, pelukis, penulis buku, dan pemimpin Desa Kebangsaan di Yogyakarta. Buku terbarunya tentang silat, pelukis Affandi, dan pemuda millenia. Ia juga menulis monolog, termasuk monolog tentang Panca Dharma yang terpercik dari pandangan dan pemikiran Ki Hajar Dewantara, yang dibacakannya bersama artis Olivia Zalianty. Belakangan, Gus Nas rajin melukis tokoh.
Beberapa puisinya dibacakan Deddy Mizwar, antara lain ketika berkampanye. Ia juga berkolaborasi dengan Maya Hasan, pemetik harpa yang sangat piawai. Puisinya bertajuk Ibu Bangsa, digubah menjadi lagu oleh Endang Caturwati.
Berikut adalah serangkaian puisinya.
DI RUMAH KARTINI
Di Rumah Kartini hanya ada gelap gulita
Tembok hitam berdiri tegak tanpa jendela
Kamar pengap tanpa udara dan tanpa cahaya
Kasur dapur sumur melebur dalam ruang waktunya
Beku bisu kelu menyekap dadanya
Di Rumah Kartini ada pagar tradisi menjulang tinggi
Tata-tertib dan tata-krama menjadi penjara bagi kaumnya
Kartini tak bisa memilih cintanya
Rindu-rindunya berdebu dalam deburan ombak pantai Jepara
Secangkir madu telah direguknya dalam pahit yang begitu sempurna
Itulah kenapa Kartini memilih pena untuk mempuisikan takdirnya
Surat-suratnya merayap ke cakrawala menjelma cahaya
Dengan tatapan mesra di kedua bola matanya
Kartini mengerling pada dunia
Fajar pun tiba
Dan sinar matahari menerobos di bening kain kebayanya
Gus Nas Jogja, 21 April 2020
BUMI BERKALUNG PANDEMI
Bumi adalah Ibu Kandung masa kini dan masa lalu
Titipan anak-cucu yang pantang dilukai walau hanya seujung kuku
Bumi berkalung pandemi itu kini sedang menggali kuburnya sendiri
Sesudah ebola mencakar Afrika dan mers merenggut ribuan maut di Jazirah Saudi Arabia
Kini corona mengganyang jutaan jiwa di seluruh dunia
Bumi berkalung pandemi tak henti-henti menjadi saksi bagi manusia yang antri mati
Dalam kesendirian ini aku bertanya padamu
Apakah Tuhan sedang melempar dadu?
Lalu kenapa papan catur keserakahan manusia ini tak hanya mengorbankan bidak-bidaknya saja?
Rahim bumi memuncratkan duka lara dalam murka corona entah pada siapa
Berabad-abad lamanya bumi menggigil sendiri
Kepada gunung dam samudera ia kisahkan resahnya
Kepada hutan dan rawa-rawa ia taburkan perihnya
Kini virus corona merayakan pesta dengan tarian Izrail pencabut nyawa
Maka sebelum senja menggulung rindunya
Sebelum bumi menutup pintu bagi tamu abadi di liang lahatnya
Berilah kening dan hidungmu dalam sujud terindah bagi Tuhan yang penuh pesona
Gus Nas Jogja, Selamat Hari Bumi, 22 April 2020
AKULAH PENCURI KAIN KAFAN ITU
Dalam dingin cinta dan kematian yang terus mengejarku kemana saja, akulah pencuri kain kafan itu.
Ayat-ayat syariat telah lama sekarat, doa demi doa kian binasa, tausiyah bercipratan ludah, hanya kain kafan kusam yang sanggup membungkus takaburku.
Dunia yang rusak oleh hati yang koyak-moyak oleh Maha Sombong Sang Manusia, kepada siapa kupersembahkan bunga rampai dosa-dosaku yang telah lasak oleh gelak-tawa para pemuka agama di panggung dunia?
Kucuri kain kafan usang para Nabi, sebab selimut dunia hanya penuh basa-basi.
Dan agama ini, tarekat ini, makrifat ini, hakikat ini, sudah begitu lama kukafani.
Gus Nas Jogja, 6 Mei 2020
BERLAYAR DI LAUT ISTIGHFAR
Berlayar di laut lapar kuarungi ombak iatighfar
Puasa dikepung pandemi membuatku menata hati
Inikah pesiar terindah di musim lapar ini?
Merebus batu-batu yang begitu keras di kepalaku
Kedunguan yang tak pantas ditiru oleh anak-cucu
Akankah kutemukan merah mawar pada kelopak rinduku?
Waktu berlalu menajamkan pisau kasihku
Lapar dan rindu semakin bengis melinggis nafasku
Kemanakah pesiar istighfar ini akan membawa laparku?
Tuhan,
Hidangkan sepotong puisi pada cawan suci cintaku
Gus Nas Jogja, 7 Mei 2020
BETAPA TEDUH KUTEMPUH SUBUH
Betapa teduh kutempuh subuh
Langit lembayung menyelimuti malamku
Betapa jauh kurengkuh suluh
Sujud syukurku bersimbah rindu
Malam bertabur cahaya menerangi ramadlanku
Hening dan kudus memesrai tadarusku
Tuhanku
Tak akan ada keluh di sisa nafasku
Sebab nikmat rakaat dalam tahajudku telah menyatu pada permata kalbu
Terima kasih untuk rahmat dan ampunanMu
Keindahan yang bertabur kemesraan
Ketaatan yang menyemaikan bait-bait puasa ke dalam ibadah puisiku
Gus Nas Jogja, 13 Mei 2020
PENGANTIN RAMADLAN
Tuhanku
Jika mawar cinta memekar dengan sempurna
Untuk apa bicara duri dan luka
Tuhanku
Jika rindu terus menderu di kedalaman kalbu
Seluruh waktuku hanya denyutMu
Sunting aku menjadi pengantinMu
Mempelai berkalung embun
Tuhanku
Aku tenggelam dalam lautan madu
Aku tercebur dalam samudera susu
Sembah sujudku
Sajadah sembahyangku
Hanyalah Cahaya
Sunting aku menjadi pengantinMu
Mempelai bermahkota seribu bulan
Tepat di Malam Lailatul Qadar yang memabukkan itu
Gus Nas Jogja, embun ramadlan #6 2018-2020
LUKISAN PUASA
Melukis puasa telah membuatku kehabisan warna
Kubentangkan kanfas putih pada sisa-sisa nafasku
Pasir waktu membisu membisikkan kata-kata rindu
Melukis puasa membuatku berlinang cahaya
Sebab kanfas dan kafan sama-sama putihnya
Di penghujung ramadlan ini
Kembali kulukis lapar dengan warna-warni istighfar
Lukisan lapar ini akan kujadikan mahar pada cinta fitriku
Garis-garis tangis di sepertiga malam
Lengkung rindu di masa lalu
Telah menyatu dalam sapuan kuas hidupku
Kujadikan senja sebagai figura
Sebab hitam-putih letih di hidup ini asal-muasalnya adalah air mata
Hingga pada akhirnya menjelma goresan warna
Kulukis puasaku ini dengan cinta setulusnya
Antara mengadu nasib dan memanjatkan doa terus berlomba meraih pahala
Gus Nas Jogja, 14 Mei 2020
IKTIKAF
Duduk bersila mengarungi waktu hingga rindu membeku
Iktikafku membara mengerami telur cinta hingga menetaskan rasa syukur di kedalaman kalbu
Di masjid ini kutemukan diriku yang dulu
Tangis bayi dalam pelukan ibu
Tanpa dosa tanpa cela tanpa kemunafikan dalam diriku
Dalam iktikaf ini telah kuremukkan tengkorak kepalaku
Kucuci dengan air suci dengan iktikaf ini
Menjaga cahaya dan kebeningan dalam kolam kesucian kekanakanku
Tuhanku
Sayap-sayap Asmaul Husna ini telah menerbangkan kerinduan dan doa-doaku
Langit dan bumi bertemu dalam jejak iktikafku
Ijinkan kugali kuburan tua yang telah begitu lama mengubur cintaku
Gus Nas, Jogja, 17 Mei 2020