DENGAN PERUT KOSONG
Dengan perut kosong aku menemukan sidik jariku
Panjang usus yang melilit dalam perutku
Usus duabelas jari yang tak mampu menampung seribu piring pada puncak laparku
Dengan perut kosong aku menatap Indonesia Raya
Bangsa yang tergagap-gagap menuliskan remuk-redam sejarahnya
Manusia-manusia yang diselimuti amnesia pada tempurung tengkoraknya
Dengan perut kosong kusimak sesak nafasku
Membaca demokrasi yang lebam oleh ulahnya sendiri
Kedaulatan yang membisu pada rakyat jelata
Keadilan yang patah arang menjanjikan masa depannya
Dengan perut kosong demokrasi membuai mimpi
Satu kepala satu suara menjadi mercusuar di cakrawala
Satu suara menjelma angka yang murah harganya
Dengan perut kosong kusaksikan hukum rimba merayakan pesta
Dewi Yustisia menggeliat menggelinjang di ranjang para dewa
Jeruji penjara menjelma kuburan orang-orang teraniaya
Dengan perut kosong agama menjadi ompong
Antar agama diadu domba dengan pedang dalil dan sangkur fatwa
Sesama agama saling mencabik daging dan menyedot kebencian hingga tulang-sunsumnya
Kutanya kedalaman iman pada kedangkalan budi pekertiku
Pada akhlak yang rusak
Pada kemunafikan yang gegap-gempita
Pada adab yang kian biadab
Dengan perut kosong tak ada kawan seiring dalam langkahku
Tanpa saudara selapik seketiduran dalam ranjang kehidupanku
Dengan perut kosong aku terbata-bata membaca makna
Syiar kehilangan nalar
Dakwah yang kian gegabah
Iman dan takwa hanya hiasan bibir semata
Kenapa agama tak lagi digdaya
Pendidikan tak membuat manusia menemukan kemanusiaannya
Politik hanya comberan dan luapan banjir intrik yang picik
Kebudayaan hanya sebatas petatah-petitih yang penuh rintih
Kepadamu aku bertanya
Perut kosong siapa yang menjadikan bangsa ini terlunta-lunta?
Gus Nas Jogja, 9 Februari 2021
Memperingati Hari Pers Nasional
CAPITOL HILL
Apa yang kau cari, Amerika
Di wajah Donald Trump aku menyaksikan badai dan kelam
Demokrasi yang carut-marut dan matirasa pada manusia
Gedung Putih menghitam dalam biru puisiku
Magna Charta hanya menyisakan jelaga
Dimana kutemukan suara renta dari kerongkongan negeri Adidaya
Yang meneriakkan hak-hak asasi manusia sembari membantai kaum kulit hitam di seantero kota
Pemimpin buruk yang tanpa keteladanan
Yang menjadikan Palestina dan Afghanistan sebagai alas kaki
Yang menjadikan Irak dan Syiria hilang harga diri
Di Capital Hill kutatap satu demi satu para tamu
Tapi tak kujumpai wajah Suku Indian yang hadir di situ
Inikah makna Magna Charta dan gemulai Patung Liberty itu?
Tiba-tiba aku menyaksikan Amanda Gorman berdiri gagah di sana
Penyair belia berkulit hitam itu membelalakkan mataku
Ya, Amanda Gorman seakan sedang menyihir dunia dengan bait-bait puisi
Ia berteriak lantang tentang rusaknya akal sehat dan hati nurani
Tentang para pendemo yang mengepung Capital Hill dengan amarah dan rasa benci
Gus Nas Jogja, 22 Januari 2021
CAPITOL HILL, MENURUTKU
Capitol Hill, ooooh Capitol Hill.
Membacamu tak obahnya bak mendengar sebàit kesaksian. Tentang demokrasi mati rasa, magna charta yang tinggal je-laga. Tentang kekuasaan dan pemimpin tanpa keteladanan.
Buatku ini puisi yang jujur dan lantang. Puisi yang tak mèng-gantung dì awang-awang. Bila menunjuk, jelas siàpa yang ia tunjuk. Saat bersikap, tèrang-benderang posisi penyairnya. Bak seruan adzan, panggilan kemenangàn, subhanallaaah.
Yaaa kemenangan akal sehat dan hati nurani. Kemenan?an kaum hitam yang dibantai se-menamena. Kemenangan para Indian yang tak dijumpai si penyàir di Capitol Hill. Lantas puisi diakhiri dengan tampilan Amanda Gorman di tengah-tengah ribuan demònstran. ABG ìtu membacakan puisinya. Dia baca haknya, ia tampik kebatilan, puisinya tidak lagi semata rajutan kata-kata, tapi berubah menjadi tamen? sayap ribuañ malaikat yang turuñ mèwujùd ke dunià nýatà!.
Ahaiiii betu?-bêtul tèrbakar dan tèrgelorakan jiwa ràgaku ketìka membaca Capitol Hill.
Salam!.
MEMBACA SEMESTA
Membaca semesta menjadikan bola mataku terlempar ke cakrawala
Tanda-tanda alam semakin fasih berbicara
Kian lantang mengucap makna
Bacalah Martapura!
Kota seribu sungai itu tak cuma basah kuyup di sekujur tubuhnya
Laut berdiri merayakan nyeri
Sungai-sungai terusir saat banjir melintir menenggelamkan ibu bumi
Bacalah hutan Kalimantan dengan matahati
Jutaan hektar rimba yang dulu perkasa menjadi pilar bencana
Kini tamat menuai kiamat sambil menunggu tsunami berpesta
Jangan pernah salahkan El Nino dan La Nina
Gemuruh gergaji tiada henti berteknologi tinggi itu sudah lama bersaksi
Bencana ekologi itu bermula dari remuknya akal budi dan kemaruk kepongahan di dalam diri
Bacalah Borneo!
Jelajahi hutan tropis yang menumbuhkan gaharu dan ulin penuh lestari
Damar dan rotan yang begitu teguh mengikat bumi
Kini yang tersisa hanya bencana dan rongsokan jiwa manusia
Kucari suara Tuhan di dalam hutan
Tapi yang kutemukan hanya jerit rimba yang diperkosa entah oleh siapa
Kutanya pada daulat alam
Kususuri rahim Ibu Bumi untuk mencari makrifat diri
Tapi yang kutemukan hanya lubang Ozon yang kian menganga dari hari ke hari
Bacalah bencana dari seluruh kitab suci! Bacalah!
Itulah jawaban alam pada manusia yang semakin jumawa
Itulah takdir Tuhan saat manusia merasa digdaya lalu semena-mena
Gus Nas Jogja, 23 Januari 2021
KUSEBUT SUNGAI
Kusebut sungai pada detak jantungku
Ziarah mata air dari hilir ke hulu
Aliran cinta dan rindu yang bergelora di bening kalbu
Ribuan sungai berkisah pada sejarah bertabur kelu
Menjadi banjir zikir dan doa dalam helai sajadahku
Kini kusaksikan sungai-sungai itu tegak berdiri
Menjejaki aliran nadi dan pembuluh darahku
Sesudah banjir bandang kata-kata
Sumpah serapah dan taburan kebencian sesama anak bangsa
Sungai-sungai itu seakan merayakan pesta
Kutulis tangis dalam bait-bait langit
Pada genangan air mata yang berceceran dimana-mana
Aku menyaksikan lumpur menyembur dari jutaan tenggorokan putra-putri di negeri ini
Menenggelamkan rumah-rumah ibadah dengan bencana purbasangka
Apakah alam sedang merayakan pesta?
Ataukah bumi sedang menggaruk-garuk kepala menyaksikan manusia yang lalai dan khilaf atas kemanusiaannya?
Sungai-sungai itu kini berdiri
Mengencingi.samudera dengan banjir duka-cita
Gus Nas Jogja, 30 Januari 2021
FIRMAN
Ode buat Prof. Firmanzah, Ph.D
Antara akal dan tawakal
Kuziarahi takdir semesta pada sisa nafasku
Keabadian yang menyilaukan
Kematian yang mewartakan kesunyian
Sepagi ini engkau kembali
Dari kefanaan dunia yang bertabur jelaga
Engkaukah firman keabadian itu?
Ataukah elegi bulan Februari yang menyayat hati?
Di puncak Menara Paramadina
Aku melihatmu menenun keindahan senja
Indonesia Raya yang membutuhkan cinta
Sepagi ini engkau kembali
Meninggalkan sayap-sayap patah di langit tinggi
Gus Nas Jogja, 6 Februari 2021