Puisi Gus Nas Ihwal Pers sampai Bencana

| dilihat 739

DENGAN PERUT KOSONG

 

Dengan perut kosong aku menemukan sidik jariku

Panjang usus yang melilit dalam perutku

Usus duabelas jari yang tak mampu menampung seribu piring pada puncak laparku

 

Dengan perut kosong aku menatap Indonesia Raya

Bangsa yang tergagap-gagap menuliskan remuk-redam sejarahnya

Manusia-manusia yang diselimuti amnesia pada tempurung tengkoraknya

 

Dengan perut kosong kusimak sesak nafasku

Membaca demokrasi yang lebam oleh ulahnya sendiri

Kedaulatan yang membisu pada rakyat jelata

Keadilan yang patah arang menjanjikan masa depannya

 

Dengan perut kosong demokrasi membuai mimpi

Satu kepala satu suara menjadi mercusuar di cakrawala

Satu suara menjelma angka yang murah harganya

 

Dengan perut kosong kusaksikan hukum rimba merayakan pesta

Dewi Yustisia menggeliat menggelinjang di ranjang para dewa

Jeruji penjara menjelma kuburan orang-orang teraniaya

 

Dengan perut kosong agama menjadi ompong

Antar agama diadu domba dengan pedang dalil dan sangkur fatwa

Sesama agama saling mencabik daging dan menyedot kebencian hingga tulang-sunsumnya 

 

Kutanya kedalaman iman pada kedangkalan budi pekertiku

Pada akhlak yang rusak

Pada kemunafikan yang gegap-gempita

Pada adab yang kian biadab

 

Dengan perut kosong tak ada kawan seiring dalam langkahku

Tanpa saudara selapik seketiduran dalam ranjang kehidupanku

 

Dengan perut kosong aku terbata-bata membaca makna

Syiar kehilangan nalar

Dakwah yang kian gegabah

Iman dan takwa hanya hiasan bibir semata

 

Kenapa agama tak lagi digdaya

Pendidikan tak membuat manusia menemukan kemanusiaannya

Politik hanya comberan dan luapan banjir intrik yang picik

Kebudayaan hanya sebatas petatah-petitih yang penuh rintih

 

Kepadamu aku bertanya

Perut kosong siapa yang menjadikan bangsa ini terlunta-lunta?

 

Gus Nas Jogja, 9 Februari 2021

Memperingati Hari Pers Nasional

 

CAPITOL HILL

Apa yang kau cari, Amerika

Di wajah Donald Trump aku menyaksikan badai dan kelam

Demokrasi yang carut-marut dan matirasa pada manusia

 

Gedung Putih menghitam dalam biru puisiku

Magna Charta hanya menyisakan jelaga

 

Dimana kutemukan suara renta dari kerongkongan negeri Adidaya

Yang meneriakkan hak-hak asasi manusia sembari membantai kaum kulit hitam di seantero kota

 

Pemimpin buruk yang tanpa keteladanan

Yang menjadikan Palestina dan Afghanistan sebagai alas kaki

Yang menjadikan Irak dan Syiria hilang harga diri

 

Di Capital Hill kutatap satu demi satu para tamu

Tapi tak kujumpai wajah Suku Indian yang hadir di situ

Inikah makna Magna Charta dan gemulai Patung Liberty itu?

 

Tiba-tiba aku menyaksikan Amanda Gorman berdiri gagah di sana

Penyair belia berkulit hitam itu membelalakkan mataku

 

Ya, Amanda Gorman seakan sedang menyihir dunia dengan bait-bait puisi

Ia berteriak lantang tentang rusaknya akal sehat dan hati nurani

Tentang para pendemo yang mengepung Capital Hill dengan amarah dan rasa benci

 

Gus Nas Jogja, 22 Januari 2021

 

CAPITOL HILL, MENURUTKU

 

Capitol Hill, ooooh Capitol Hill.

Membacamu tak obahnya bak mendengar sebàit kesaksian. Tentang demokrasi mati rasa, magna charta yang tinggal je-laga. Tentang kekuasaan dan pemimpin tanpa keteladanan.

Buatku ini puisi yang jujur dan lantang. Puisi yang tak mèng-gantung dì awang-awang. Bila menunjuk, jelas siàpa yang ia tunjuk. Saat bersikap, tèrang-benderang posisi penyairnya. Bak seruan adzan, panggilan kemenangàn, subhanallaaah.

Yaaa kemenangan akal sehat dan hati nurani. Kemenan?an kaum hitam yang dibantai se-menamena. Kemenangan para Indian yang tak dijumpai si penyàir di Capitol Hill. Lantas puisi diakhiri dengan tampilan Amanda Gorman di tengah-tengah ribuan demònstran. ABG ìtu membacakan puisinya. Dia baca haknya, ia tampik kebatilan, puisinya tidak lagi semata rajutan kata-kata, tapi berubah menjadi tamen? sayap ribuañ malaikat yang turuñ mèwujùd ke dunià nýatà!.

Ahaiiii betu?-bêtul tèrbakar dan tèrgelorakan jiwa ràgaku ketìka membaca Capitol Hill.

Salam!.

 

MEMBACA SEMESTA

 

Membaca semesta menjadikan bola mataku terlempar ke cakrawala

Tanda-tanda alam semakin fasih berbicara

Kian lantang mengucap makna

 

Bacalah Martapura!

Kota seribu sungai itu tak cuma basah kuyup di sekujur tubuhnya

Laut berdiri merayakan nyeri

Sungai-sungai terusir saat banjir melintir menenggelamkan ibu bumi

 

Bacalah hutan Kalimantan dengan matahati

Jutaan hektar rimba yang dulu perkasa menjadi pilar bencana

Kini tamat menuai kiamat sambil menunggu tsunami berpesta

 

Jangan pernah salahkan El Nino dan La Nina

Gemuruh gergaji tiada henti berteknologi tinggi itu sudah lama bersaksi

Bencana ekologi itu bermula dari remuknya akal budi dan kemaruk kepongahan di dalam diri

 

Bacalah Borneo!

Jelajahi hutan tropis yang menumbuhkan gaharu dan ulin penuh lestari

Damar dan rotan yang begitu teguh mengikat bumi

Kini yang tersisa hanya bencana dan rongsokan jiwa manusia

 

Kucari suara Tuhan di dalam hutan

Tapi yang kutemukan hanya jerit rimba yang diperkosa entah oleh siapa

 

Kutanya pada daulat alam

Kususuri rahim Ibu Bumi untuk mencari makrifat diri

Tapi yang kutemukan hanya lubang Ozon yang kian menganga dari hari ke hari

 

Bacalah bencana dari seluruh kitab suci! Bacalah!

Itulah jawaban alam pada manusia yang semakin jumawa

Itulah takdir Tuhan saat manusia merasa digdaya lalu semena-mena

 

Gus Nas Jogja, 23 Januari 2021

 

KUSEBUT SUNGAI

Kusebut sungai pada detak jantungku

Ziarah mata air dari hilir ke hulu

Aliran cinta dan rindu yang bergelora di bening kalbu

 

Ribuan sungai berkisah pada sejarah bertabur kelu

Menjadi banjir zikir dan doa dalam helai sajadahku

 

Kini kusaksikan sungai-sungai itu tegak berdiri

Menjejaki aliran nadi dan pembuluh darahku

 

Sesudah banjir bandang kata-kata

Sumpah serapah dan taburan kebencian sesama anak bangsa

Sungai-sungai itu seakan merayakan pesta

 

Kutulis tangis dalam bait-bait langit

Pada genangan air mata yang berceceran dimana-mana

 

Aku menyaksikan lumpur menyembur dari jutaan tenggorokan putra-putri di negeri ini

Menenggelamkan rumah-rumah ibadah dengan bencana purbasangka

 

Apakah alam sedang merayakan pesta?

Ataukah bumi sedang menggaruk-garuk kepala menyaksikan manusia yang lalai dan khilaf atas kemanusiaannya?

 

Sungai-sungai itu kini berdiri

Mengencingi.samudera dengan banjir duka-cita

 

Gus Nas Jogja, 30 Januari 2021

 

 

FIRMAN

Ode buat Prof. Firmanzah, Ph.D

 

Antara akal dan tawakal

Kuziarahi takdir semesta pada sisa nafasku

Keabadian yang menyilaukan

Kematian yang mewartakan kesunyian

 

Sepagi ini engkau kembali

Dari kefanaan dunia yang bertabur jelaga

 

Engkaukah firman keabadian itu?

Ataukah elegi bulan Februari yang menyayat hati?

 

Di puncak Menara Paramadina

Aku melihatmu menenun keindahan senja

Indonesia Raya yang membutuhkan cinta

 

Sepagi ini engkau kembali

Meninggalkan sayap-sayap patah di langit tinggi

 

Gus Nas Jogja, 6 Februari 2021

Editor : delanova
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1155
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 216
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 428
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 428
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 398
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya