Olahraga dan Pelukan Pemersatu

| dilihat 3491

AKARPADINEWS.COM| Perhelatan Asian Games 2018 telah usai. Acara penutupan atau closing ceremony juga sudah usai dilaksanakan. Tiap cabang olahraga telah diselenggarakan dengan sangat apik.

Indonesia tampil cukup cemerlang pada ajang kali ini. Meski tidak menjadi juara umum Asian Games 2018, namun torehan medali emas yang telah diraih Indonesia sudah cukup baik.

Pada Asian Games 2018, Indonesia meraih total 31 medali emas, 24 medali perak, dan 43 medali perunggu. Dengan torehan tersebut, Indonesia berada di posisi empat. Di posisi pertama selaku juara umum diraih oleh negara Tiongkok (China) dengan perolehan 132 medali emas, 92 medali perak, dan 65 medali perunggu.

Di bawah Tiongkok, bercokol Jepang dengan perolehan 75 medali emas, 56 medali perak, dan 74 medali perunggu. Di posisi tiga, diduduki oleh Korea Selatan dengan perolehan 49 medali emas, 58 perak, dan 70 perunggu.

Duduk di posisi keempat kiranya tidaklah buruk bagi prestasi olahraga Indonesia pada ajang Asian Games kali ini. Sebab, bila dibandingkan dengan ajang Asian Games sebelumnya, yakni pada tahun 2014, Indonesia hanya meraih 4 medali emas, 5 medali perak, dan 11 medali perunggu.

Tentunya, lonjakan prestasi ini merupakan hal yang patut disyukuri oleh segala elemen masyarakat Indonesia. Apalagi, pada ajang Asian Games 2018 ada beberapa momen bersejarah untuk bangsa Indonesia. Salah satu momen tersebut ialah rangkulan kebangsaan yang dilakukan oleh Hanifan Yudani Kusumah, Atlet Silat Indonesia.

Kejadian bersejarah itu terjadi selepas Hanifan memenangi laga tarung putra pencak silat kelas C 55-60 kilogram. Begitu ia dinyatakan telah memenangi laga, berselimutkan bendera merah-putih, Hanifan berkeliling lapangan dengan ekspresi haru di wajahnya.

Lalu, ia berlari menuju tribun penonton VVIP, di mana tempat Presiden Joko Widodo dan Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Prabowo Subianto. Hanifan mencium tangan Jokowi dan kemudian mencium tangan Prabowo dan memeluknya.

Kejadian bersejarah itu terjadi tatkala Hanifan menyatukan tangan Prabowo dan Jokowi lalu memeluk keduanya dalam rangkulan penuh kehangatan. Sontak, seluruh penonton riuh penuh haru melihat pelukan kebangsaan tersebut. Momen pelukan Hanifan, Prabowo, dan Jokowi itu pun langsung viral di media sosial.

Banyak yang mengapresiasi tindakan Hanifan. Sebab, kedua orang yang dipeluknya juga merupakan para Calon Presiden (Capres) yang akan berlomba pada ajang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

Satu Pelukan, Banyak Makna

Pelukan Hanifan tak hanya sekedar pelukan. Pelukannya mengisyaratkan banyak makna. Pertama, dua orang yang dipeluknya. Kedua orang tersebut, yakni Jokowi dan Prabowo merupakan sosok yang kerap dianggap bermusuhan satu dengan lainnya. Anggapan permusuhan itu dilatarbelakangi atas seringnya para pendukung dua Capres itu saling bermusuhan di dunia maya.

Ketika Hanifan memeluk Jokowi dan Prabowo, bahasa yang tertangkap secara nyata ialah keduanya tidak bermusuhan, seperti anggapan para pendukungnya di akar rumput. Jokowi dan Prabowo bisa berpelukan hangat tanpa ada tendensi politik yang memanas.

Makna kedua yang nampak ialah dari sosok Hanifan sebagai pemuda. Sebagai seorang pemuda, pria kelahiran Bandung, 25 Oktober 1997 itu menunjukkan bahwa pemudalah yang dapat menyatukan bangsa. Dengan aksinya merangkul Jokowi dan Prabowo, Hanifan memperlihatkan bahwa tidak perlu ada permusuhan di antara anak bangsa.

Hal itu pun diamini oleh Hanifan. Perihal makna pelukannya, Hanifan mengaku, ia melakukannya untuk menunjukkan bahwa antara Prabowo dan Jokowi tidak ada masalah apapun atau permusuhan. “Saya melakukannya biar masyarakat Indonesia semua tahu bahwa tidak ada masalah apa pun antara Jokowi dan Prabowo. Itu saja. Hanya ada segelintir orang yang tak suka terhadap kesuksesan mereka (berdua),” ujarnya.

Sebagai insan pesilat Indonesia, Hanifan menyatakan, dirinya ingin memperlihatkan silaturahmi antara kedua tokoh bangsa tersebut. “Sebagai insan pesilat Indonesia, saya ingin memperlihatkan silaturahmi mereka, jadi kita semua harus menjaga hati. Kita ini satu bangsa dan satu negara. Masa harus terpecah belah karena hal yang tidak penting,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Hanifan pun menegaskan, sudah menjadi tugasnya sebagai pesilat Indonesia untuk memperlihatkan bagaimana masyarakat Indonesia seharusnya bersatu. “Kebetulan pencak silat adalah khas dari Indonesia. Dengan pencak silat, Indonesia bisa semakin erat. Indonesia itu adalah negara yang tentram, aman, dan damai,” ujar Hanifan.

Makna ketiga nampak pada apa yang digunakan Hanifan. Dengan memeluk Jokowi dan Prabowo menggunakan baju silatnya, Hanifan menunjukkan bahwa, saat ini, salah satu hal yang bisa menyatukan bangsa Indonesia adalah olahraga.

Dalam olahraga, bangsa Indonesia tidak terpolarisasi. Baik itu dari segi suku, agama, ras, hingga pilihan politik. Semuanya menjadi satu mendukung para atlet Indonesia. Tidak memedulikan latar belakang si atlet, seluruh bangsa Indonesia bersatu mendukung untuk kejayaan Indonesia.

Makna keempat ialah bendera merah putih yang menyelimuti ketiganya. Bendera merah putih yang awalnya dibawa Hanifan itu kemudian seolah menyelimuti sosok ketiganya, Jokowi, Prabowo, dan Hanifan. Hal itu dapat dipandang bahwa sosok yang dapat menyatukan bangsa adalah pemuda.

Melalui tindakan spontan nan inspiratifnya, Hanifan menjadi representasi pemuda dengan pikiran yang luas dan visi yang jelas. Diperlukan sosok Hanifan-Hanifan lainnya yang dapat meredam potensi keretakan dalam tubuh Indonesia.

Belajar Dari Sebuah Pelukan

Pelukan itu kiranya menjadi kritik akan fenomena sosial yang saat ini tengah terjadi. Sering dijumpai, baik di media sosial maupun dalam kehidupan sebenarnya, ada permusuhan antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo.

Permusuhan antar kedua kubu itu terlihat sangat brutal di media sosial. Hal itu nampak dari banyaknya fitnah dan hoaks yang tersebar di media sosial yang disebarkan oleh kedua pendukung tersebut. Khususnya, bagi para buzzer dunia politik.

Kerap kali, akun-akun buzzer di media sosial-lah yang memberikan umpan lambung fitnah dan hoaks kepada masing-masing kubu pendukung. Akhirnya, mereka memiliki topik pembahasan yang berujung pada pertarungan kata dan komentar di media sosial. Tak jarang, pertarungan komentar itu berujung pada saling menghina.

Kelakuan minus itu menunjukkan bahwa banyak orang yang hanya bisa hidup di ranah virtual. Mereka merasa begitu bebas bisa mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya tanpa disaring. Anggapan kebebasan itu didasari dari kehidupan virtual dapat dipalsukan.

Meski begitu, bukan dengan bersembunyi di balik akun virtual seseorang tidak dapat terciduk dan terkena sanksi hukum. Perihal berpendapat di media sosial dan ranah virtual lainnya, pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pada Pasal 28 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang ITE mengatur mengenai informasi eletkronik. Pasal 28 Ayat 1 berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”

Sedangkan, Pasal 28 Ayat 2 berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Meski sudah diatur dalam pasal tersebut, namun nyatanya masih banyak yang menyebarkan kebencian hingga hoaks dari masing-masing kubu. Hal itu menunjukkan bahwa peraturan penggunaan informasi itu tidak diindahkan oleh mayoritas masyarakat Indonesia pengguna media sosial.

Selain itu, pasal tersebut juga belum mengakomodir tindakan yang terlarang dalam hal penggunaan informasi secara spesifik. Sehingga, pasal itu dapat ditarik dan dilekatkan dalam banyak permasalahan hukum.

Tentunya, persoalan ini akan selesai bila sudah muncul kesadaran untuk berinternet secara sehat dalam diri masing-masing. Perlu ada pemahaman bahwa internet, khususnya media sosial, merupakan ranah publik bukan lagi ranah privat. Apapun yang ditulis di media sosial tentu akan dapat dinikmati oleh orang lain dan orang lain itu punya hak untuk berkomentar.

Pelukan kebangsaan yang dilakukan Hanifan, Jokowi, dan Prabowo harus menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Di balik persaingan yang ada, tentu hal yang perlu dijunjung tinggi ialah rasa persaudaraan dan rasa saling memiliki.

Pelukan itu mengajarkan pada tataran pendukung akar rumput Jokowi dan Prabowo bahwa pertengkaran yang sering mereka lakukan tak ada artinya. Sebab, baik Jokowi atau pun Prabowo tidak memiliki rasa dendam dan permusuhan satu dengan yang lainnya.

Tentunya, pendukung akar rumput Jokowi dan Prabowo harusnya malu dan introspeksi diri dengan peristiwa pelukan tersebut. Ketika mereka susah payah saling serang dan saling menjatuhkan, justru orang yang mereka dukung malah berinteraksi hangat dan menyenangkan. Hal yang harus diingat oleh para pendukung keduanya ialah pandangan dan pilihan boleh berbeda, namun jangan sampai terpecah belah.

Muhammad Khairil Haesy

 

Editor : Muhamad Khairil | Sumber : berbagai sumber
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 102
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 518
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 446
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 244
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 423
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 317
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 272
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya