Tragedi Kemanusiaan di Kanjuruhan

| dilihat 1687

Catatan Bang Sèm

127 tewas, 180 luka-luka. Begitu kabar resmi disampaikan pihak kepolisian daerah Jawa Timur, terkait kerusuhan antara suporter Aremania - Malang yang dipandang mengancam keselamatan petugas kepolisian di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Kerusuhan itu menyusul kemenangan Persebaya atas Arema FC dengan score 3:2. Suporter Aremania tidak terima klub 'Singa Edan' kesayangannya dikalahkan Persebaya di kandang sendiri, dalam putaran pertandingan Liga I Indonesia.

Mereka menghambur dan merangsek ke lapangan, usai wasit meniup peluit panjang, tanda pertandingan usai.

Tak ada Bonek - suporter Persebaya di stadion itu. Mereka berada di beberapa titik lokasi tempat acara nobar (nonton bareng) di kota Surabaya dan sekitarnya.

Bonek bahkan membatalkan rencana mereka mengarak pemain Persebaya, dan memilih pulang ke rumahnya masing-masing, menunjukkan simpati dan empati kepada seluruh korban tewas dan cedera di stadion itu.

Berbagai media lokal, nasional, dan internasional melalui berbagai saluran dan platform, memberitakan, polisi anti huru hara merespon kerusuhan, itu dengan menggunakan gas air mata di dalam stadion.

Gais air mata itu yang dikabarkan menjadi salah satu pemicu korban jatuh, berjuang untuk bernafas, dan tewas mengenaskan. Meski, tersiar juga kabar, kematian itu juga disebabkan oleh kekacauan dalam kesesakan, sehingga banyak yang jatuh, terinjak-injak dan mati lemas.

FIFA - federasi sepakbola dunia, melarang penggunaan gas air mata, peluru karet, dan granat kejut, dalam menangani kekacauan di stadion, baik di luar maupun di dalam stadion.

Larangan itu berlaku sejak berlangsung Piala Konfederasi di Brazil, menjelang Piala Dunia 2014.

Tragedi Kanjuruhan adalah tragedi kemanusiaan yang mengenaskan, melampaui bencana di stadion Hillsborough di Sheffield, Inggris (15/4/1989), yang menewaskan 97 orang dan ratusan luka-luka.

Peristiwa itu menyusul pertandingan antara Liverpool versus Nottingham Forest. Sekitar 53.000 suporter dua kesebelasan, itu memenuhi stadion.

Untuk mencegah hooliganisme, suporter kedua tim diarahkan masuk melalui sisi stadion yang berbeda. Pendukung Liverpool harus masuk di sepanjang Leppings Lane, dengan melewati tujuh pinu putar.

Malangnya, jumlah pintu putar terbatas, kemacetan terjadi kala sekitar 10.100 penggemar berusaha memasuki stadion di sisi Leppings Lane.

Setengah jam sebelum kick off, untuk mengurangi kemacetan yang sesak, Kepala Inspektur Polisi Yorkshire David Duckenfield, yang sedikit pengalaman mengawasi pertandingan sepak bola di Hillsborough, menyetujui pembukaan salah satu pintu keluar.

2000 pengunjung yang akan menonton pertandingan, itu merangsek masuk. Saat itulah para penonton bergegas masuk dan terjadi saling dorong, sehingga peristiwa mematikan, itu terjadi.

Pertandingan dihentikan, setelah lima menit berlangsung. Namun, polisi yang berjaga di staion Hillsborough tersebut tidak pernah “sepenuhnya mengaktifkan prosedur insiden besar.”

Komunikasi dan koordinasi yang buruk, ungkap laporan media di lokasi, memperumit upaya penyelamatan, dan dalam banyak kasus, para penggemar memberikan bantuan dan perhatian medis.

Polisi lantas menyalahkan suporter Liverpool, yang tidak tertib sebagai penyebab tragedi, itu? Setelah peristiwa itu terjadi, sejumlah polisi diperiksa, namun tak satupun yang dinyatakan bersalah. Tragedi kemanusiaan, itu dianggap sebagai insiden yang terjadi tidak sengaja.

Setelah melalui proses penjang bertahun-tahun, pada tahun 2015, baru Kepala Inspektur Polisi Duckenfield bersaksi bahwa dia telah berbohong tentang penonton yang membuka paksa salah satu gerbang.

Dia mengakui, kegagalannya menutup jalur utama yang dimasuki penonton secara bersamaan, merupakan penyebab langsung  kematian 97 korban tewas, itu.

Pada tahun 2016 juri di pengadilan menyatakan, bahwa 97 korban, itu telah “dibunuh secara tidak sah.” Tahun 2017, enam orang petugas dituntut pidana terkait tragedi tersebut. Khususnya, Duckenfield diadili kemudian, pada tahun 2019, tetapi pengadilan menyatakan dia tidak bersalah. Satu-satunya orang yang dihukum atas tragedi kemanusiaan, itu hanya Graham Mackrell, petugas keamanan stadion.

Bagaimana dengan Tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan?

PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) segera membentuk tim investigasi, dan bersama Kepolisian Daerah Jawa Timur akan melakukan pengusutan atas peristiwa yang mencoreng persepakbolaan di tanah air, itu.

Akankah kasusnya sama dengan periswa di Hillsborough yang memilukan, itu? Kita ikuti saja proses investigasinya, meski bermunculan analisa tentang watak suppoter yang kehilangan daya kendali emosi dan kemarahan mereka.

Kita tentu berduka. Kita berharap, sepakbola di Indonesia dikelola secara tepat dan benar, diselenggarakan di lingkungan yang aman dan steril, dan tragedi kemanusiaan Kanjuruhan sungguh dijadikan sebagai pelajaran pilu yang tak mudah dilupakan. Tragedi yang sering tersebab oleh mudahnya melupakan peristiwa pedih, sehingga alpa membenahi diri.

Cukuplah sekali ini saja tragedi kemanusiaan, itu terjadi di lapangan sepakbola. Apalagi, bila alasannya kelak adalah situasi di luar kendali.

Tragedi kemanusiaan di stadion Kanjuruhan, kita harapkan juga menjadi pintu masuk utama untuk belajar lebih banyak dan mendalam tentang bagaimana mengelola sepak bola secarea multi dimensi. Termasuk bagaimana PSSI dan klub-klub sepakbola berkolaborasi dengan berbagai pihak, mendidik para pendukung.

Kita bisa belajar pada kasus di stadion Glanfood Park yang dibangun 1988 atau Manchester United dekade 1990-an, atau bahkan Hillsborough yang sepenuhnya all seater dan tak mengizinkan orang berdiri dengan sistem jalur penonton masuk dan keluar, namun petugas keamanan pertandingan tidak mematuhi sistem yang dibuat manajemen stadion. Demikian pula halnya dengan apa yang terjadi di stadion Bradford yang menewaskan 56 orang.

Tom Mullen, mengungkap di laman BBC (29.5.2015), untuk generasi penggemar sepak bola modern yang difasilitasi oleh stadion all-seater dan liputan televisi yang dipoles, pasti sulit membayangkan bahwa satu hari di pertandingan bisa menjadi masalah hidup dan mati.

Dia menyebut, dekade 1980-an merupakan dekade kelam untuk klub-klub sepakbola di Inggris, karena dilarang berlaga di seantero Eropa selama lima tahun, karena reputasi suporter Inggris yang semakin preman  dan buruk pada saat itu.

Proses mendidik suporter yang dilakukan klub-klub sepak bola, dan secara penetratif hipodermis mengungkap tragedi kemanusiaan yang terjadi di stadion, menghidupkan rasa bersalah.

Suporter tak lagi membiarkan dirinya pada kegamangan dengan sikap saling menyalahkan yang bercokol di antara mereka selama bertahun-tahun.

Suporter Liverpool, misalnya, memegang kartu berwarna yang mengeja kata "Amicizia" (Persahabatan), dan gerakan itu mendapat applaus dari banyak pendukung Juventus.

Adalah Dr Rogan Taylor, dosen studi sepak bola di University of Liverpool, yang mengemukakan, serangkaian perasaan kompleks seputar tragedi kemanusiaan, menimbulkan rasa malu dan tidak nyaman dengan hooliganisme.

Dengan proses edukasi yang intensif terhadap para suporter, mudah-mudahan, dari tragedi kemanusiaan Kanjuruhan, para Aremania mampu mengakui dan mau menyatakan, bahwa peristiwa 1 Oktober 2022 itu merupakan 'hari kelam' bagi mereka dan kota Malang.

Kita tidak berharap pemerintah setempat abai terhadap tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan, ini.  Rasa malu mesti ditebar sekaligus menghidupkan kesadaran kolektif untuk mengubah keadaan, sehingga menghadirkan watak baru Aremania yang elegan dan sportif.

Duka dan derita keluarga korban, bersama pemerintah setempat dapat menjadikannya sebagai peristiwa kelam yang terus diingat untuk membangun kesadaran baru, menjadi suporter sepakbola yang berakal budi.

Apa yang dilakukan keluarga korban stadion Hillsborough bersama pemerintah setempat selama 26 tahun, mengungkapkan kebenaran dan memercikkan optimisme dengan kampanye mengembalikan sepak bola sebagai sesuatu yang membahagiakan (bukan horor dan teror).

  Kesadaran utama yang dihidupkan adalah kemauan dan kemampuan mendidik yang dilakukan secara antusias, seraya menebar apresiasi, respek, dan sportivitas. Jangan biarkan kemalangan abadi di Malang, mulai dengan kolaborasi kolektif menghidupkan sukacita masa depan di Kanjuruhan, Malang. |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 246
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 425
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 318
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 274
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 104
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 520
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 529
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 447
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya