Hidupkan Kesadaran Mitigasi Bencana

| dilihat 1174

Anomali cuaca sepanjang tahun 2022, tak membuat hujan bulan Desember terasakan sebagai pusaran musim yang normal sebagaimana di masa lalu. Perubahan ekosistem dan ekologi yang dipicu dan dipacu oleh ulah manusia, seperti deforestasi dan alih fungsi lahan, memungkinkan terjadinya perubahan musim yang tetap waktu.

Dalam banyak hal, isu-isu tentang perubahan musim, termasuk pemanasan global, cenderung dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Dalam banyak hal, situasi ini mengurangi kewaspadaan manusia. Akibatnya, meski sudah didukung oleh sains dan teknologi yang memudahkan, tetap saja, mitigasi bencana alam tak mendapatkan prioritas negara. Bahkan Undang Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mengikat semua orang dan mengamanatkan peringatan dini, termasuk mitigasi bencana (Pasal 34 huruf b) cenderung terabaikan.

Akibatnya, bencana bisa terjadi kapan saja dengan korban yang tak kecil bilangannya, lantas dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Berbagai diksi dan narasi tentang realitas kita hidup di kawasan rawan bencana seringkali hanya dipandang sebagai hiasan retoris dalam pidato para petinggi. Bukan sebagai pengingat yang menyadarkan kita untuk senantiasa waspada bencana.

Hujan penghujung bulan Desember yang seringkali disertai dengan angin ribut, badai, dan gelombang pasang laut, sekali lagi memang diterima sebagai fenomena alam yang lumrah. Karenanya, kebijakan-kebijakan yang melanggar rencana tata ruang wilayah terus saja berlangsung, sampai bencana tiba dan memakan korban.

Benar yang dikemukakan Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang dari daerah pemilihan Gorontalo, Rachmat Gobel, (Ahad, 25/12/22) mengatakan, musibah bisa datang kapan saja. Namun musibah adalah akibat perbuatan manusia. Musibah bukan hukuman atau kutukan dari Tuhan.

Gobel menyampaikan hal tersebut dalam kegiatan bakti sosial di masa reses DPR RI, yang dilakukan  di Piloliyanga, Tilamuta, Kabupaten Boalemo, yang beberapa waktu berselang diterjang banjir. Rumah-rumah penduduk terendam banjir akibat sungai meluap.

Gobel mengingatkan penduduk agar menjaga dan tidak melakukan penggundulan  hutan. Bagi Gorontalo dan berbagai wilayah di kepulauan Indonesia, dikelilingi perbukitan. Beberapa masa lampau, bukit-bukit itu dipangkas dan ditanami jagung. Sebagian bukit-bukit itu juga berubah menjadi lahan perkebunan sawit.

Perlakuan manusia atas bukit-bukit itu, tentu mengundang bencana, karena hujan yang turun deras 'mengundang' bencana, lantaran tak terserap bumi. Rachmat, sebagai wakil rakyat, hanya bisa memberi peringatan dan memotivasi konstituennya menjaga dan merawat lingkungan alam. Dia tak punya kewenangan untuk mengambil keputusan menghutankan kembali bukit-bukit tersebut, dan menyetop alih fungsi lahan.

Rachmat Gobel juga tak bisa mengubah pandangan dan orientasi pemerintah Provinsi dan Kabupaten di Gorontalo untuk mengatasi masalah secara asasi. Batas fungsional dia, hanya sampai pada mengimbau dan memotivasi rakyat agar selalu bersiap diri menyikapi dan menghadapi bencana. Sama halnya dengan dia tak bisa menolak, ketika orientasi pikir pemerintah setempat lebih cenderung kepada persoalan hilir, seperti menurap sungai.

Dalam konteks menghidupkan kesadaran mitigasi bencana, memang harus dilakukan serempak, dimulai dengan upaya-upaya lebih kongkret menghentikan segala kebijakan dan aksi yang menjadi penyebab utama bencana (persoalan hulu). Prinsip 'mencegah bencana lebih utama dari merehabilitasi kawasan bencana.' Sebenarnya, prinsip inilah yang mesti menjadi prinsip asasi seluruh aksi mitigasi.

Dalam konteks itu, Rachmat Gobel dan para wakil rakyat di DPR RI, mestinya lebih harus memusatkan perhatian pada pengawasan terhadap pelaksanaan Undang Undang No. 24/2007 tersebut, serta merumuskan dengan jelas dan gamblang politik Ekonomi berbasis sumberdaya alam, sesuai dengan amanat konstitusi Undang Undang Dasar 1945.

Politik Ekonomi sedemikian adalah keharusan dan bukan pilihan. Karenanya diperlukan kesungguhan untuk menunjukkan komitmen yang kuat dan konsisten mencegah terjadinya bencana alam pada umumnya. Untuk itu, harus terus menerus dihidupkan kesadaran para penyelenggara negara dan pemerintahan, bahwa bencana alam akan selalu menimbulkan bencana sosial yang lebih luas.

Persoalan bencana alam, bukan hanya persoalan perubahan iklim, tetapi persoalan asasi yang harus dibenahi dengan perubahan minda (mindset) penyelenggaraan pembangunan yang berdimensi kemanusiaan secara luas. Akademi Jakarta (AJ) telah mengingatkan (25/2/22) telah merekomendasikan, diperlukan  perubahan  cara  berpikir  dan  pola kebijakan  dengan  menjadikan  kualitas  hidup  berbasis  budaya ramah  lingkungan  sebagai  tolok  ukur  kemajuan  bangsa,  tanpa mempertentangkan pendekatan modern dan tradisional.

Para pemikir kebudayaan di AJ juga mengingatkan perlunya negara memberi perhatian kepada pengetahuan lokal di setiap daerah. Menurut AJ, pengetahuan lokal untuk hidup berselaras dan merawat alam, yang disesuaikan dengan kemajuan sains dan teknologi, perlu menjadi landasan  kebijakan  lingkungan.  Kebijakan  ramah  budaya  dan lingkungan  tersebut  perlu  dilaksanakan  melalui  tata  kelola  yang tepat dan pantas berdasarkan asas demokratis, keberpihakan pada komunitas budaya atau adat, dan sanksi tegas bagi perusak lingkungan.

Dalam rekomendasi yang dirumuskan setelah melakukan diskusi dengan berbagai ahli tersebut, AJ mengemukakan, kerusakan lingkungan telah meningkatkan risiko munculnya penyakit menular baru. Keserampangan pengelolaan sumber daya alam, selain telah mengakibatkan deforestasi dan penambangan tak terkendali yang menghancurkan daya dukung Planet Bumi, mengancam keragaman hayati, dan mengusik habitat hewan yang semula hidup berjauhan dengan manusia. Sementara beberapa spesies cenderung punah, lainnya yang bertahan berpotensi menjadi inang bagi penyakit berbahaya yang dapat melompat ke manusia.

Risiko penyebaran penyakit semakin besar di tengah ketimpangan pembangunan yang memaksa warga miskin  hidup  di  pemukiman  sangat padat tanpa akses yang memadai ke air bersih dan sanitasi. Kerusakan lingkungan juga menghadapkan Indonesia masa depan pada risiko bencana yang lebih besar akibat krisis pangan, energi, air.

Kerusakan lingkungan, menurut AJ, tidak dapat dilepaskan dari praktik ekonomi perburuan rente dan cara pandang yang menciutkan alam sebagai sekadar modal ekonomi (natural capital). Aspek alam yang tidak langsung terkait dengan ekonomi seperti hubungan masyarakat adat dengan alam, keragaman hayati dan lanskapnya, dikalahkan dalam berbagai manipulasi untuk menumpuk keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, biaya kerusakan justru menjadi tanggungan sebagian besar masyarakat. Pemihakan kepada pemilik modal atas nama pembangunan mengalahkan pemihakan pada hak ekonomi-sosial-budaya kelompok rentan.

Perampasan tanah adat dan pengalihan hutan adat untuk kepentingan industri, yang tidak jarang disertai dengan penindasan oleh aparatur pemerintah, telah mengakibatkan kehidupan masyarakat adat mengalami kerusakan yang tidak terpulihkan. Hubungan masyarakat adat dengan alam yang membentuk identitas budaya, spiritualitas, riwayat asal usul, sistem pengetahuan dan nilai-nilai, terputus. Berbagai komunitas dan masyarakat adat yang berupaya mempertahankan lingkungan dan budayanya semakin terpinggir oleh cara pandang keliru yang menganggap kebajikan lokal-tradisional menghambat pembangunan modern.

Belajar dari pengalaman pahit dan tragis selama dua - tiga tahun terakhir, khasnya pandemi Covid-19, mestinya kita melihat bahwa dunia merupakan ekosistem yang setiap aspeknya saling terhubung dan saling pengaruh. Masalah lingkungan yang dipecahkan secara terkotak-kotak terbukti memunculkan persoalan baru, seperti antara lain terlihat dalam penanganan masalah polusi: Polusi padat (sampah domestik dan industri) dialihkan menjadi polusi air (pembuangan limbah ke sungai/laut) atau udara (pembakaran).

Setiap perubahan struktural tidak bisa tidak perlu ditujukan untuk mencapai keseimbangan baru dalam interaksi manusia dengan alam, dan tidak dapat dipisahkan dari pengnembangan jangka panjang peradaban Indonesia. Untuk itu diperlukan pendekatan kultural yang mengubah praktik pemanfaatan alam menjadi pengayaan alam melalui budidaya keragaman hayati, penghijauan dan penghutanan kembali, serta penanaman perilaku peduli lingkungan mulai dari tataran pribadi hingga seluas bangsa, melalui kerja sama inovatif semua pihak. Perubahan struktural tanpa perubahan perilaku sehari-hari hanya akan melahirkan kebijakan indah tanpa wujud konkret.

Dalam konteks tersebut, siasat budaya perlu diarahkan untuk memulihkan daya lenting alam, mempertangguh ekosistem, dan perubahan gaya hidup serta konsumsi. Pendekatan budaya perlu mengawal agenda pembangunan berkelanjutan yang memanusiakan manusia, pemajuan teknologi yang manusiawi dan ramah lingkungan, ekonomi yang ekologis dan tertanam dalam pengembangan komunitas, serta politik yang berkeadilan. | Masybitoch

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1208
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Humaniora
03 Mei 24, 10:39 WIB | Dilihat : 94
Pendidikan Manusia Indonesia Merdeka
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 557
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1092
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 317
Isyarat Bencana Alam
Selanjutnya