Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi

| dilihat 364

Catatan Bang Sém

Berulang kali saya menonton film dokumenter Dirty Vote karya Dandhy Laksono yang menghadirkan pemeran utama, tiga pakar hukum populer: Bivitri Susanti, Fery Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar.

Film dokumenter yang digarap apik secara sinematografis dan konten, ini sebagian terbesar berisi dokumentasi  dari berbagai momen, peristiwa, dan pendapat berbagai petinggi negeri ihwal penyelenggaraan Pemilu yang sudah menjadi domain khalayak di berbagai media, channel, dan platform.

Tiga pemeran mengulasnya dan menghadapkannya dengan berbagai isu yang mengemuka, seputar dugaan kemungkinan terjadinya kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistemik, dan masif. Kelebihannya, di film ini tiga pemeran yang kerap menjadi narasumber acara gunem catur - temu bual - talkshow politik (termasuk podcast) secara lebih lengkap dan mendalam.

Film dokumenter ini mempunyai nilai pendidikan politik yang menyegarkan, dan kelak menjadi referensi penting dalam studi dan penelitian ihwal perkembangan aktual praktik penyelenggaraan negara dalam mengemban amanah konsolidasi demokrasi.

Seketika, selepas menonton film ini, membentang di benak saya, perjalanan panjang perjuangan kebangsaan Indonesia, sejak fase awal (1905 - 1908). Ketika politik merupakan aksi intelektualisme, dan kualitas politisi adalah intelektual.  Terbayang pula garis panjang perjuangan dengan azimuth-nya.  Sesuatu yang tetiba terindukan lagi di tengah gebalau perubahan dramatik (transformasi) abad ke XXI.

Saya merenung sejenak dan memahami ulang prinsip dasar "sebersih-bersih tauhid, ilmu pengetahuan, dan siyasah" sebagaimana diajarkan Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto sebagai pangkal perjuangan kebangsaan dan ke-Indonesia-an di awal pergerakan kebangsaan (1905-1916).

Terbayang juga kesadaran kebangsaan Soetomo, Ki Hadjar Dewantoro, KH Hasyim Asy'ari, KH Achmad Dahlan, KH Wahab Chasbullah, Nani Wartabone, Opu Daeng Risaju, dan para pejuang segenerasinya.

Indonesia Negara Hukum dan Kesejahteraan

Sebagaimana halnya Abdul Muis, Abdoel Moethalib Sangadji, Haji Agus Salim, nilai-nilai dasar perjuangan kebangsaan, ini juga diajarkan HOS Tjokroaminoto kepada Soekarno (Bung Karno), Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo dan murid-murid lainnya. Nasionalisme religius ditopang oleh sosialisme relijius, sosialisme kebangsaan, dan sosialisme kerakyatan.

Segera melintas di benak dialektika pemikiran kebangsaan Mohammad Hatta, Tan Malaka, Mohammad Yamin, Sjahrir, Mohammad Natsir, I.J Kasimo, J. Leimena, Anak Agung Gde Agung, dan lainnya.  Para pejuang kebangsaan yang gigih dengan cita-cita Indonesia sebagai negara hukum sekaligus negara kesejahteraan.

Intinya adalah keadilan berbasis pemerataan. Indonesia yang makmur, adil, demokratis, inklusif, toleran, moderat, modern, visioner,  kosmopolit, egaliter dan berkeadaban. Dalam politik praktis mewujud dalam Pemilihan Umum 1955.

Pemilihan Umum yang diselenggarakan 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante yang kemudian dikenal sebagai MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Inilah Pemilihan Umum yang diselenggarakan di atas landasan nilai dan norma langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Penyelenggaraan pemilihan umum mulai ternoda sejak Pemilu 1977 ketika Orde Baru di era kepemimpinan Presiden Soeharto menyederhanakan sistem multi partai dengan melakukan fusi partai. Pemilu 1977 diikuti oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) -- kelak menjadi PDI Perjuangan, dan Golongan Karya (Golkar) - kelak menjadi Partai Golkar.

Noda Pemilu: Reduksi Demokrasi

Noda pada Pemilu 1977 dipercikkan oleh Golkar melalui berbagai program Inpres (Instruksi Presiden) mulai dari pembangunan Pasar Inpres, Sekolah Dasar Inpres, Jalan dan Jembatan (Infrastruktur) Inpres, dan lainnya.

Walaupun program-program tersebut merupakan program negara yang dibiayai APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), kesan yang mengemuka -- dengan mengerahkan seluruh aparatur negara dan pemerintah, termasuk Kepala Desa -- seolah-olah merupakan budi baik Presiden Soeharto dan Golkar. PPP dan PDI memainkan peran sebagai representasi rakyat di luar pemerintahan.

Inilah masa demokrasi direduksi, sampai berlangsung Pemilu 1987. Pada masa ini, PPP dan PDI tak terlepas dari campur tangan pemerintah. Terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI membuat partai ini tak putus dirundung represi dan tekanan, karena rezim Orde Baru menghendaki Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.

Keabsahan Megawati Soekarnoputri yang terpilih dalam Kongres PDI tak henti dirongroing dan mendapat tekanan penguasa, sampai terjadi penyerbuan atas kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 pada 27 Juli 1986 yang dikenal sebagai peristiwa 'Kudatuli' atau 'Sabtu Kelabu.'

Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa dari Komisi Nasional Hak Asasi Manuasia (KOMNAS HAM) yang memimpin investigasi atas peristiwa tersebut mengumumkan telah terjadi pelanggaran HAM berat: Pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat;  Pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut; Pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji; Pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan tidak manusiawi; Pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia; dan Pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.

Dalam peristiwa tersebut, 5 orang tewas; 149 orang luka; 23 orang hilang. Kerugian negara ditaksir sebesar Rp100 miliar. Megawati Soekarnoputri dan para pendukungnya berjuang habis-habisan dalam semangat, 'rawe-rawe rantas, malang-malang putung,' sehingga berdirilah PDI Perjuangan.

Megawati dan Reformasi

Pada masa itu, praktik demokrasi (dengan beragam pemahaman) berada di tengah arus gelombang besar dunia, ketika kapitalisme global ditandai dengan filantropi politik (dimotori George Soros - oligark Yahudi Jerman). Arus besar ini merontokkan sosialisme mondial yang ditandai dengan rontok dan bubarnya Uni Sovyet menjadi berbagai negara (balkanisasi).

Pemicunya adalah kebijakan politik Perestroika (reformasi birokrasi total) dan Glasnost (kebebasan dan keterbukaan total, termasuk kebebasan informasi) yang dilansir dan tak mampu dikendalikan oleh Presiden Mikhail Gorbachev di penghujung masa kepemimpinannya (1991).

Di Indonesia, gerakan Reformasi yang dimotori mahasiswa dan rakyat berhasil menumbangkan pemerintahan dan kekuasaan rezim Orde Baru, ditandai dengan pernyataan berhenti Presiden Soeharto. Spirit dasar penyelenggaraan negara berangkat dari semangat menyelenggarakan kekuasaan rakyat dan negara yang bersih, bebas dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisma) di atas adab berbangsa dan bernegara Pancasila sebagai 'the five moral principle.'

Sistem multi partai hidup kembali. Partai-partai politik kembali 'beranak-pinak' dan di tengah arus besar itu, semangat perubahan terus berlangsung.

Di tengah tekanan dan pembatasan ruang gerak, Megawati Soekarnoputri dan kawan-kawan sangat berhasil melakukan konsolidasi PDI Perjuangan. Hasilnya?  PDIP menjadi pemenang utama Pemilu 1999 di masa awal Reformasi, pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, setelah gerakan Reformasi. Namun masih terus diganggu oleh berbagai taktik dan muslihat politik praktis. Termasuk sistem pemilihan Presiden tidak langsung (melalui Sidang Umum MPR).

Sidang Umum MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) mengesahkan Amandemen Undang Undang Dasar 1945 tahap pertama (juga tahap-tahap berikutnya), sehingga memungkinkan sistem suksesi Kepemimpinan Nasional dilakukan secara langsung melalui Pemilihan Presiden - Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Konsolidasi Demokrasi SBY-JK

Pilpres 2004 mengawali perubahan sistem pemilihan untuk suksesi kepemimpinan nasional. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla yang hanya didukung oleh partai kecil (Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan, Partai Bulan Bintang) terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Memulai gerakan konsolidasi demokrasi. Antara lain dengan memperluas koalisi dengan masuknya Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pilpres 2009 dengan koalisi politik yang sama berhasil menghantar Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Budiono.

Konsolidasi demokrasi dilanjutkan, namun kepemimpinan Presiden SBY, kemudian badai besar korupsi menghempas Partai Demokrat. Koalisi relatif rapuh. Sampai kemudian hadir kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Yusuf Kalla (melalui Pilpres 2014) dan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin (melalui Pilpres 2019). Namun, koalisi yang semula solid, belakangan menjadi rapuh. Belum lagi hempasan badai nanomonster pandemi Covid 19. KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisma) yang datang mendera. Isu ambisius untuk melanggengkan kekuasaan (taktik Tiga Periode, Penambahan masa Jabatan, dan babynepotism) mengemuka.

Di penghujung masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo bahkan mengemuka berbagai idiom 'anak durhaka' : Malin Kundang, Si Tanggang dan Nakhoda Manis, menyusul kian berjarak hubungan khas Joko Widodo dengan Megawati Soekarnoputri dan PDI P yang menghantarnya ke puncak kuasa. Persoalan adab pun mengemuka.

Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024, khasnya Pilpres 2024 penuh dengan gebalau. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, Pilpres 2024 berlangsung di tengah arus besar - tsunami informasi yang bergerak bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi. Tanpa kecuali konversi dan konvergensi media yang bergerak secara multimedia, multi channel, dan multi platform.  Kala transformasi sosio budaya transpransi tampak sebagai bulucunan (ketelanjangan), sebagai konsekuensi logis menguatnya singularitas - dengan tingkat ketergantungan manusia terhadap gadget terus meluas.

Prinsip dasar ajaran HOS Tjokroaminoto ihwal nasionalisme religius (sebersih-bersih tauhid, ilmu pengetahuan, dan siyasah) semakin jauh dan tak lagi tampak pada praktik politik kebangsaan berbasis ideologi dan nilai. Khasnya etika atau fatsoen politik.

Pertarungan gagasan dan adab politik tak tercapai dalam Pilpres 2024 karena diwarnai oleh pelanggaran etik (Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum). Dalam kampanye politik, comment créer du bonheur - cara membahagiakan rakyat dipahami secara berbeda oleh para kandidat Capres - Cawapres.

Anies Kembalikan Kampanye Ajang Pendidikan Politik

Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar dan  Ganjar Pranowo - Mahfud MD memahami secara substantif, ideologis. Prabowo Subianto - Gibran memahami secara elementer dengan gimmick - gemoyans. Dua pasang kandidat ini, menjadikan kampanye sebagai ajang pendidikan politik rakyat.

Keduanya, nampak sadar dan berusaha serius untuk menguatkan konsolidasi demokrasi untuk menganggit kembali muruah bangsa (nation dignity) sesuai dengan proses perkembangan khalayak. Sekaligus memusatkan perhatian pada kualitas demokrasi. Tidak demikian dengan pasangan kandidat Prabowo - Gibran, yang dalam kampanye akbar (Gelora Senayan, 10/2/24) Prabowo bahkan membenarkan kehadiran konstituennya lebih ingin melihat dirinya berjoget, katimbang mendengarkan pidato (luah gagasan). Anies mengembalikan fungsi kampanye sebagai ajang pendidikan politik bagi rakyat.

Kini -- setidaknya ketika artikel ini ditulis -- hampir seluruh saluran media (mainstream dan media sosial) masih riuh oleh kegaduhan sistem penghitungan - rekapitulasi suara pemilih - rakyat yang tak sesuai antara fakta lapangan di TPS (Tempat Pemungutan Suara) dan hasil penghitungan yang dipublikasikan dalam situs resmi KPU.

Wajar bila rakyat berteriak pasal kecurangan dan lain-lain, termasuk sajian quick count (14/2/24) yang mengunggulkan pasangan Prabowo-Gibran sekaligus sangat merugikan Anies-Muhaimin dan Ganjar - Mahfud. Wajar juga bila Jusuf Kalla menyatakan, inilah Pemilu (khasnya Pilpres) yang paling buruk kualitasnya, sepanjang sejarah republik.

Dinamika kebangsaan dan demokrasi dari apa yang nampak dalam praktik Pemilu 2024 menyadarkan kita untuk melihat gerakan perubahan sebagai mission sacre kebangsaan. Bukan sekadar bagaimana memenangkan kontestasi dan kompetisi memperebutkan bilangan suara yang rentan dimanipulasi.

Gerakan perubahan merupakan perjuangan panjang untuk sepenuh kesadaran mengembalikan arah penyelenggaraan negara kembali ke garis cita-cita dan tujuan para founding fathers dan founding mothers bangsa ini dengan inti azimuth-nya: kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan untuk semua.  |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 241
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 466
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 458
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 429
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 231
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 331
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya