Resonansi Debat Pilpres 2024

Politik Bengis

| dilihat 319

Nota Cinge Zaidan

Setiap pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan tafsir yang mencerminkan keseimbangan akal budi, pasti paham makna hakiki dari bengis. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan, bengis bermakna, "bersifat keras tanpa belas kasihan kepada manusia atau binatang; suka berbuat aniaya; kejam."

Bengis juga dimaknai sebagai tindakan yang menyebabkan penderitaan (kesengsaraan) yang berat. Diamsalkan, antara lain, raja yang bengis kepada rakyatnya. Di sisi lain, bengis juga bisa dipahamkan sebagai perkataan yang tajam dan pedas dengan aksentuasi tertentu, meski dalam bentuk sindiran, seperti: "endasmu !"

Bengis adalah watak yang menyatu dalam pikiran dan tindakan. Sesuatu yang melekat di dalam jiwa dan raga manusia, dan tak pernah disadari oleh manusia yang bewatak bengis dan kawanannya.

Dalam politik, kebengisan mewujud dalam tindakan kejam dan aniaya yang menjadi bagian dari sistem kekuasaan yang mengendalikan hukum. Karenanya menjadi bagian tak terpisahkan dari tindakan dan perbuatan yang semena-mena dan tidak adil.

Belum kembalinya belasan korban penculikan dan tewasnya mahasiswa dalam peristiwa Semanggi tahun 1998, dan tewasnya Harun Al Rasyid (15), dalam peristiwa unjuk rasa 22 MEI 2019, aksi menggugat kecurangan dalam Pemilihan Presiden 2019, tewasnya sejumlah pendamping Habib Riziq Shihab di KM50 - Jalan Tol Jakarta Cikampek, dan tergusurnya masyarakat adat dari hutan konservasi adalah contoh kongkret politik bengis.

Membiarkan keluarga korban kebengisan mencari keadilannya dan terbiarkan tak memperoleh kradilan adalah kebengisan yang jauh dari keadilan nyata dalam penegakan hukum. Karenanya Tuhan melalui berbagai ayat dalam firman-Nya menugaskan para rasul-Nya -- yang mesti dilanjutkan para umat-Nya -- melakukan perubahan.

Mengubah praktik penegakan hukum menjadi praktik penegakan keadilan, mengubah praktik artistika - estetika - etika menjadi aksi peradaban, dan menyempurnakan hakikat cinta menjadi laku hidup kemanusiaan.

Verifikasi, Konfirmasi, Rejuvenasi

Pemimpin bangsa yang akan bertanggung jawab pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan, di mana saja, memiliki kewajiban memenuhi hak-hak keadilan seluruh warganya (tanpa peduli latar belakangnya). Mulai dari penataan dan penyempurnaan sistem pengadilan sampai perubahan besar sistem politik dan sikap kepemimpinan nasional.

Semua itu harus diuji dalam suatu mekanisme pemilihan Presiden - Wakil Presiden, tanpa kecuali melalui debat antar kandidatnya. Khasnya menguji para kandidat menyatakan dan menjanjikan aksi politik dan aksi penyelenggaraan yang wajib meninggalkan politik bengis.

Para kandidat bebas dan merdeka memilih siyasah -- metode dan formula -- untuk menyatakan komitmen mereka untuk mengakhiri politik bengis. Biarkan rakyat dan warga dunia menyaksikan dan atau berkesaksian atas pendapat -- sekaligus janji akselerasi visi kepemimpinan mereka.

Lepas dari formatnya, saya bersyukur menyaksikan sesi pertama debat kandidat dalam Pilpres 2024 (Selasa, 12/12/23). Debat pertama (antar Kandidat Presiden) mengambil tema : Pemerintahan, Hukum, HAM, Pemberantasan Korupsi, Penguatan Demokrasi, Peningkatan Layanan Publik dan Kerukunan Warga. Pada debat ini, saya melihat Kandidat Presiden No.1 (Anies Rasyid Baswedan) menggunakan strategi verifikasi, konfirmasi dan rejuvenasi.  Pendekatan yang mirip (konfirmasi dan rejuvenasi) juga dilakukan oleh Kandidat Presiden No.3. Akan halnya Kandidat Presiden No.2 (Prabowo Subianto) menggunakan pendekatan taktis abstraksi, defensi dan negleksi. Khasnya terkait dengan sub tema Hukum dan HAM.

Anies mengungkap data dan menghadirkan salah seorang pencari keadilan (Didin Wahyudin - ayah Harun Al Rasyid) sebagai salah satu cara menyatakan komitmen untuk melakukan perubahan dalam penegakan hukum dan HAM berbasis keadilan. Ganjar menggunakan aksi bertanya dan mempertanyakan perihal penyelesaian kasus penculikan Aktivis 1998, berujung pada muara tentang kehendak menyelenggarakan Peradilan Ad Hoc HAM. Apa yang dilakukan Anies dan Ganjar adalah kewajaran dalam debat untuk 'menerjang' lawan debat yang diduga mempunyai rekam jejak bertalian dengan masalah - masalah yang pernah terjadi.

Cermin Nelson Mandela

Kedua Kandidat Presiden (Anies dan Ganjar) secara serta-merta dalam perspektif penonton dan penikmat debat menempatkan posisi Kandidat No.2 (Prabowo) dalam posisi dilematis. Prabowo nampak sekali tak siap dan terpancing emosinya dan terseret dalam 'jebakan.' Antara lain, menunjuk sejumlah orang pernah menjadi korban penculikan aktivis 1998 berada di pihak pendukungnya.

Prabowo tak menunjuk purnawirawan perwira tinggi militer anggota Dewan Kehormatan Perwira --  antara lain ada di antara pendukungnya -- yang memberi rekomendasi pemberhentian dirinya dari dinas militer, karena dinilai telah melampaui kewenangan dengan menjalankan operasi stabilitas nasional.

Celakanya, salah seorang tim pendukung (juru bicara) Prabowo Subianto, Daniel Anhar Simanjuntak, menyebut, cara Anies menghadirkan pencari keadilan (Didin Wahyudin, ayah Harun Al Rasyid) ke pentas debat tersebut sebagai cermin watak yang bengis.

Kontan pendapat itu mendapat respon negatif berbagai kalangan (khasnya dari Tim Nas AMIN - kandidat No.1) dan menggelikan. Karena pernyataan atau pendapat Jubir Prabowo tersebut jauh dari pemahaman etimologis, bahkan menegaskan -- bila tak hendak dikatakan sebagai pengakuan -- bahwa dirinya menjadi bagian dari politik bengis. Dampak pernyataan tersebut adalah presumsi, bahwa Prabowo -- yang hendak dicitrakan sebagai politisi gemoy --adalah bagian tak terpisahkan dari politik bengis yang pernah terjadi. Padahal, Prabowo -- dalam debat -- sudah menyatakan persetujuannya untuk menggelar Peradilan Adhoc HAM -- bila terpilih kelak.

Bengis, kebengisan dan politik bengis adalah sesuatu yang harus dijauhkan dari praktik politik demokratis, dan harus diselesaikan dengan mengambil prioritas pada kebijakan nasional tentang Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang mengingatkan kita pada pejuang kemanusiaan Presiden Nelson Mandela di Afrika Selatan.

Konstitusi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan (1998) antara lain menyatakan, “Ketika kita telah mengetahui kebenaran, maka kita dapat mulai meninggalkan masa lalu, melupakannya, dan melangkah menuju masa depan yang damai.”

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Sejumlah negara memilih jalan yang sama dengan jalan yang ditempuh Nelson Mandela, antara lain: Argentina, Chili, El Salvador, Fiji, Ghana, Guatemala, Korea Selatan, Liberia, Maroko, Panama, Peru, Sierra Leone, dan Timor Leste. Indonesia sendiri sebenarnya sudah mempunyai UU No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Pada penjelasannya, UU 27/2004, antara lain mengungkapkan: "Untuk mengungkap pelanggaran hak asasi manusia yang berat, perlu dilakukan langkah-langkah konkret dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.  Selain amanat tersebut, pembentukan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini juga didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang menugaskan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dalam undang-undang.

Namun, dua tahun kemudian (7/12/2006) Mahkamah Konstitusi menyatakan undang-undang ini bertentangan dengan UUD 1945.

Apapun juga, rakyat tak menghendaki praktik-praktik bengis dalam berpolitik dan apalagi berbangsa dan bernegara terus berlangsung. Komitmen para kandidat Presiden 2024-2029 untuk mengakhirinya merupakan harapan. Menghadirkan orang tua pencari keadilan atas anaknya yang menjadi korban politik bengis dan kebengisan politik adalah langkah bijak dan menunjukkan keberpihakan kepada keadilan. Mencerminkan watak kepemimpinan yang manusiawi dan berpihak kepada keadilan.

Hanya mereka yang pandir secara ideologis dan 'taqlid buta' yang tidak melihat hal tersebut sebagai manifestasi dari kesadaran menghidupkan simpati, empati, apresiasi, respek, cinta, dan kemanusiaan. Lantaran 'bermata tapi tak melihat, bertelinga tapi tak mendengar, berhati tapi hatinya beku..' Pongah ! |

Editor : delanova
 
Humaniora
03 Mei 24, 10:39 WIB | Dilihat : 139
Pendidikan Manusia Indonesia Merdeka
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 559
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1096
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 319
Isyarat Bencana Alam
Selanjutnya
Energi & Tambang