Debat Capres 2014

Temu Bual Politainment

| dilihat 1744

SAYA bersandar di sofa menyaksikan debat Calon Presiden dan Wakil Presiden, yang menghadirkan pasangan Prabowo – Hatta Rajasa (Prabowo Hatta) versus Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi – JK). Baru pada paparan awal masing-masing debateur sudah membuat saya gatal untuk lari ke channel stasiun televisi internasional.

Format debat yang dipilih sungguh tak menghormati Capres-Cawapres peserta debat dan moderator dari kalangan akademisi itu. Pertanyaan dan jawaban seputar penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum, itu sungguh tak menyentuh substansi. Suara gaduh para pendukung menjadikan acara itu noise.

Ironisnya, stasiun televisi menghadirkan pula komentator yang seolah-olah sedang menilai mereka. Bahkan dengan memberikan score pada setiap segmen. Acara itu, di Malaysia, tak lebih dari ‘Temu Bual.’

Tak ada hal substansial yang menonjol dan patut diberi apresiasi. Apalagi berulang kali kamera mencuri sosok-sosok tim sukses kedua kandidat yang berlaku, bak penonton gunem catur Bukan Empat Mata yang dipandu Tukul. Bahkan, cenderung bagai penonton acara kontes musik dangdut di studio.

Celakanya pada debat pertama itu, Jokowi yang pada deklarasi tampil bak ‘robot’ atau ‘satgas parpol yang diperintahkan harus bersikap sempurna,’ kali ini tampil laksana robot dalam kendali pemegang remote control.

Ketika Debat Calon Presiden menghadirkan Prabowo versus Jokowi, saya agak sedikit berharap, karena posisi moderator sudah diubah. Seorang professor dari Universitas Brawijaya dihadirkan sebagai moderator. Tapi, lagi-lagi pentas dan suasana mirip kontes juru dakwah belia yang disiarkan langsung pada jam sama di stasiun televisi lain. Panggung tetap terang benderang dengan dekor yang ramai, plus videotik pada giant wall yang biasa dipakai untuk kontes stasiun televisi.

Tak ada gradasi dan bahkan perbedaan cahaya, sehingga lagi-lagi, kita tak fokus menyaksikan kedua kandidat, bila kamera tak mengambil cover to cover dalam close up atau medium shot. Lagi-lagi, moderator tidak mempunyai ruang untuk melakukan depth content. Bahkan membiarkan kandidat bicara menceceh tak sesuai dengan pertanyaan yang diajukannya.

Referensi apa yang bisa didapat dari format debat Capres – Cawapres semacam itu? Pada debat kali kedua antara Prabowo – Jokowi kita tak mendapatkan hal-hal baru yang bisa digali dari pemikiran mereka. Jokowi masih mengesankan dirinya sebagai robotic figur (memegang patron yang disiapkan tim sukses) dan kerap memperkuat fantacy net. Prabowo masih mengesankan sebagai figur yang senang membuncahkan megalotika secara hiperbolis.

Satu-satunya referensi yang saya dapatkan pada debat kedua antara Prabowo – Jokowi hanyalah perbedaan leadership framework. Jokowi (mungkin karena kesalahan tim suksesnya) memperkuat dirinya sebagai manager yang mengurusi hal-hal teknis dan operasional pemerintahan. Prabowo memperkuat dirinya sebagai chief executive officer yang lebih banyak mengurusi gagasan-gagasan yang berjarak dengan kondisi obyektif lapangan.

Hanya itu. Selebihnya saya melihat, acara debat yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu laiknya temu bual, politainment. Hiburan politik yang tak menghibur. Dan saya, enggan menyaksikan lagi debat berikutnya... |

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1192
Rumput Tetangga
Selanjutnya