Rumah yang Rapuh

| dilihat 1636

Cerita Pendek Charina Jumoyo

Rumah kokoh tempat kebudayaan dan peradaban itu tumbuh subur dengan akalbudi, kini sudah menjadi rumah yang rapuh. Tak seorangpun tahu, berapa lama masih akan ada.

Mungkin nasibnya akan seperti Pendopo di tepian jalan, yang kini hanya menjadi tempat orang menjemur lempengan bubur sampah kertas untuk dibuat kardus telur ayam.

Dua bersaudara yang memperebutkan hak untuk mengurus rumah, itu kini tak kuasa menghimpun semua ahli waris untuk menentukan masa depan di dalam rumah itu secara lebih baik.

Tak ada musyawarah dan mufakat untuk mendapatkan kesepakatan siapa paling berhak mengelola rumah itu.

Sudah lebih dari 50 purnama, DenMas Cung membiarkan sebagian ahli waris menebar benih-benih friksi dengan para ahli waris lain yang menghendaki DenMas Lem mengelola rumah itu.

Para ahli waris sudah terpolarisasi menjadi dua kelompok yang sulit disatukan lagi.

"Susah... Sudah susah kita menyatukan mereka," ujar Mbah Purwo kepada Lek Man, usai salat tarawih di musalla tua desa.

Aku diam saja ketika Lek Man berkata begitu. Mbah Purwo beringsut ke luar musalla, duduk di di beranda, bersandar pada salah satu tiang yang sudah lusuh.

"Kamu koq masih memikirkan rumah yang rapuh, itu Nduuk?" cetus Mbah Purwo sambil menampakkan senyum pahit. Jemarinya yang sudah nampak keriput terlihat melinting tembakau dalam gulungan daun kawung kering.

"Ya.. sebagai salah satu ahli waris, aku terpanggil untuk mencari solusi supaya rumah itu kembali urup, Mbah.. Supaya di rumah itu ada cahaya kembali," kataku.

Mbah Purwo hanya melirik. Cahaya remang dari lampu halaman musalla itu membuat wajah Mbah Purwo yang nampak gusar itu, terlihat. Aku menangkap, hati Mbah Purwo juga gelo. Sebenarnya Mbah Purwo juga sedih menyaksikan apa yang terjadi dengan rumah itu.

Belakangan, sebagian ahli waris, menyatakan, akan memisahkan diri, dan menyatakan diri mereka, bukan lagi bagian dari keluarga besar Mangkuduniyo, menyusul peristiwa pilu, ketika sejumlah orang dengan badan kekar, entah datang dari desa mana, memukuli ahli waris pendukung DenMas Lem.

Hasrat memisahkan diri itu kukuatirkan akan mengimbas yang lain.

 "Pedih rasanya melihat saudaraku dipukuli dan disiksa. Celakanya, DenMas Cung diam saja. Dia membisu dan tak mengambil inisiatif untuk menebar empati," kataku.

Mbah Purwo menoleh.

"Nduuk.. Nduuk.. jangan berharap terlalu jauh kepada DenMas Cung untuk bisa mengatasi persoalan ini. Dia persis seperti Mbok Trembesi yang selama ini mendidik, mengasuh, dan mangkon dia," ujarnya.

Den Mas Cung gak akan mikir sampai jauh.

"Mikir sejengkal wae pun dia ndak mau," tambah Mbah Purwo.

"Lalu siapa yang harus berperan mengatasi situasi konflik dalam keluarga, Mbah?"

"Mbuh..," ujar Mbah Purwo sambil menggeleng.

"Mestinya kan Mbok Trembesi yang mengambil inisiatif," kataku mendesak.

"Mestinya begitu. Karena perseteruan antara DenMas Cung dengan DenMas Lem ya bermula dari sikap Mbok Trembesi dengan sodara-sodaranya. Semua dimulai dari sikap Mbok Trembesi yang berjanji kepada DenMas Lem, tapi janji itu diingkarinya sendiri," kata Mbah Purwo.

"Ooowwh.. jadi gitu ta? Jadi bener cerita Bulik Tata, DenMas Lem mendukung DenMas Cung kemarin-kemarin itu lantaran ada perjanjian khusus yang diingkari Mbok Trembesi.." tanyaku.

"Yo.. betul itu. Perjanjian Bataputih antara Mbok Trembesi dengan DenMas Lem selepas ahli waris menolak memberikan amanah keluarga kepada Mbok Trembesi dengan DenMas Lem, dan lebih percaya kepada DenMas Tan dan DenMas Tar," jawab Mbah Purwo.

Sejak itu DenMas Lem menyiapkan diri. Makanya dia setuju membantu DenMas Cung menjalankan tugas keluarga untuk menata kamar Mbah Mulyo, terus membenahi beranda. DenMas Lem juga mendukung upaya Mbok Trembesi was-wes-wos ke sanak keluarga, ngebagusi DenMas Cung.

"Dasar DenMas Lem yang keras bicara tentang pilar-pilar rumah dan keadilan ahli waris, tapi lembut hati kalau sudah dihadapkan oleh muka melas sopo wae, jadinya gampang tertipu. Dan sekarang dia akan terus keras jadi batu, lantaran sebagian ahli waris mendorong dia untuk mengambil haknya," ungkap Mbah Purwo.

Matanya berkaca-kaca. Aku menangkap perasaan pilu yang tersimpan di hatinya, seperti kepiluanku menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang terjadi dan semuanya membuat rumah ini menjadi rapuh.

Aku tak ada urusan dengan DenMas Cung atau DenMas Lem. Aku juga tak ada urusan dengan Mbok Trembesi atau siapapun juga. Urusanku adalah bagaimana menjaga dan memulihkan rumah warisan yang diperoleh dengan susah payak oleh para leluhur kami, itu kembali menampakkan cahayanya seperti dulu.

Urusanku adalah bagaimana para ahli waris kembali bisa tersenyum. Untuk itu aku selalu bersedia menghapus airmata mereka, menghapus kesedihan dan kepedihan siapa saja. Cukuplah sudah derita yang dialami saudara-saudaraku yang tak tahu apa-apa tentang siapa paling pantas memimpin trah keluarga yang sudah merambah ke keturunan ke enam ini.

Aku tak mau trah yang terhormat karena budinya ini, lantak, hancur, hanya karena salah urus. Untuk itu, rumah peninggalaan para leluhur itu menjadi penting. Tak hanya untuk ditata kembali sesuai dengan tujuan mengapa dulu dibangun. Jauh dari itu adalah supaya di rumah ini setiap orang, setiap ahli waris merasakan kebahagiaan dan bangga menjadi bagian dari trah yang dibangun oleh cinta.

Mbah Purwo menatapku. Lalu berdiri.

"Nduk, antar Mbah pulang.." katanya.

Aku merangkul Mbah Purwo dan berjalan meninggalkan musalla tua itu. Jalan desa itu senyap. Mbah Purwo jalan perlahan, aku mengikutinya. Sepanjang jalan dia bergumam tentang kemuliaan manusia yang adanya mesti menggenapkan dan tiadanya mesti mengganjilkan.

"Urip iku urup. Hidup itu harus menyinari. Setiap manusia harus bermanfaat luas bagi manusia lain. Ingat Nduk.. itu wasiat leluhur kita dan cahaya itu sudah redup sekali di rumah yang rapuh itu. Kamu harus menyalakannya lagi.. bukan dengan saling salah menyalahkan, tetapi dengan saling menghargai..," ungkap Mbah Purwo begitu tiba di gerbang rumah.

Aku terkejut, ketika tiba-tiba Mbah Purwo tersungkur. Aku tak sanggup menahannya. Tanganku terlalu lemah. Aku berteriak meminta tolong. Tak seorangpun dari dalam rumah yang keluar. Hanya beberapa tetangga menghambur membantuku.

Mbah Purwo wafat. Angin malam menghantarkan pilu ke beranda rumah itu. Rumah yang rapuh.. |

Editor : Web Administrator
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 252
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 351
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Energi & Tambang